“Bau limbahnya sangat menyengat, dan suara bising dari mesin pabrik juga mengganggu. Kami seperti dikepung pencemaran di rumah sendiri,” ujar Nurdin Harun warga Desa Tampak.
Laporan Maulidi Alfata | Aceh Timur
SERAMBINEWS.COM, IDI – Sejak mulai beroperasi tiga bulan lalu dalam masa uji coba, keberadaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Alam Sawit Indo di Desa Tampak, Kecamatan Rantau Peureulak, Aceh Timur, mulai menimbulkan keluhan serius dari warga sekitar.
Diduga kuat, limbah dari aktivitas pabrik itu mengeluarkan bau busuk yang menyengat dan menimbulkan kebisingan, mengganggu kenyamanan serta kualitas hidup masyarakat.
Berdasarkan sejumlah laporan dan keterangan masyarakat yang diterima Serambinews.com pada Selasa (6/5/2025), aroma tak sedap itu menjalar hingga ke tiga desa sekaligus, Desa Tampak, Desa Alur Bate, dan Desa Bhom.
Warga menyebut bau tersebut hampir tidak tertahankan dan berlangsung hampir setiap hari selama dua bulan terakhir.
“Bau limbahnya sangat menyengat, dan suara bising dari mesin pabrik juga mengganggu. Kami seperti dikepung pencemaran di rumah sendiri,” ujar Nurdin Harun warga Desa Tampak.
Ia menerangkan bahwa kolam limbah PT Alam Sawit Indo tersebut berada sekitar 150 meter dari rumahnya.
Semenjak saat itu, ia bersama keluarga selalu terpapar bau limbah dari pabrik tersebut dan membuat mereka tidak nyaman.
Nurdin juga menuturkan bahwa saat pabrik itu berdiri tidak ada sosialisasi apapun.
Warga di situ juga kecewa kepada kepala desa karena tidak berkoordinasi dengan masyarakat, saat mengetahui adanya pembangunan pabrik kelapa sawit.
Baca juga: Dua Prodi Politeknik Indonesia Venezuela Dapat Program Beasiswa Sawit untuk 90 Mahasiswa
Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait perizinan dan kepatuhan terhadap aturan lingkungan hidup, khususnya soal kelengkapan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), atau bahkan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang lebih ketat.
“Sejauh yang kami tahu, tidak pernah ada sosialisasi kepada masyarakat sebelum pabrik berdiri. Kami juga tidak pernah dimintai pendapat atau persetujuan,” ujar tokoh masyarakat setempat.
Jika benar dokumen UKL-UPL menjadi dasar izin operasional, maka muncul pertanyaan besar tentang kualitas kajian dan proses evaluasi yang dilakukan.
Apalagi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL.
Warga berharap pemerintah daerah dan instansi lingkungan hidup segera turun tangan menyelidiki dugaan pencemaran ini.
Mereka menuntut transparansi izin usaha serta penindakan tegas, jika ditemukan pelanggaran dalam prosedur perizinan dan pengelolaan limbah.(*)
Baca juga: Bupati Aceh Besar Muharram Idris Sangat Mendukung Investor Kelola Limbah di Aceh Besar