Nurdin Hasan, Jurnalis di Banda Aceh
PADA 15 Agustus mendatang, tepat dua dekade usia perdamaian Aceh yang diwujudkan dalam MoU antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.
MoU Helsinki telah mengakhiri konflik berdarah di Aceh selama puluhan tahun, dan membuka lembaran baru yang menjanjikan bagi pembangunan di Serambi Mekkah.
Namun, menjelang tahun 2027, saat dana otonomi khusus (Otsus) yang melimpah akan berakhir, Aceh dihadapkan pada persimpangan jalan krusial.
Tantangan untuk memakmurkan rakyat semakin kompleks, karena selama ini penggunaan dana belum sepenuhnya menyentuh rasa keadilan masyarakat.
Kondisi itu diperparah lagi dengan belum tuntasnya pemenuhan hak-hak korban konflik dan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang terus menghantui.
Secara kasat mata, Aceh memang telah menorehkan kemajuan signifikan.
Stabilitas keamanan adalah mahkota keberhasilan utama dari perjanjian Helsinki, memungkinkan roda perekonomian berputar dan aktivitas sosial masyarakat kembali normal.
Pembangunan infrastruktur fisik, didukung dana Otsus yang melimpah dan bantuan pascatsunami 2004, telah mengubah wajah Aceh.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rakyat Aceh juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, menandakan akses yang lebih baik pada pendidikan dan kesehatan.
Tapi, di balik narasi keberhasilan ini, terdapat catatan kritis yang tak bisa diabaikan.
Pembangunan infrastruktur seringkali dinilai tak merata, kurang berkualitas dan malahan dianggap tidak tepat sasaran sehingga belum difungsikan atau kualitasnya buruk.
Belum lagi disparitas mencolok terlihat antara perkotaan dan pelosok.
Kualitas layanan publik, pendidikan dan kesehatan, khususnya di beberapa daerah terpencil, masih menjadi pekerjaan rumah.
Meskipun konflik bersenjata telah usai, potensi gesekan dan polarisasi sisa-sisa konflik masih terasa.
Hal ini kadang kala dibangkitkan oleh kepentingan politik, terutama ketika menjelang pesta demokrasi, atau bahkan perebutan sumber daya alam yang kerap kali tidak melibatkan masyarakat lokal.
Tahun 2027 menjadi deadline yang terus membayangi.
Berakhirnya dana Otsus yang selama ini menjadi tulang punggung APBA akan menciptakan defisit fiskal yang masif jika tak diantisipasi.
Faktanya selama ini, ketergantungan Aceh pada dana pusat sangat tinggi.
Kemampuan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan masih dipertanyakan.
Sejak pertama kali digelontorkan pada 2008 hingga 2025, total alokasi dana Otsus yang diterima Aceh mencapai lebih dari Rp110 triliun.
Ini jumlah yang fantastis, setara dengan anggaran pembangunan banyak provinsi lain di Indonesia selama puluhan tahun.
Aceh harus realistis, karena dana Otsus selama ini sangat vital.
Pertanyaannya, apa rencana konkret untuk mandiri secara finansial setelah 2027?
Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi juga kemandirian ekonomi secara keseluruhan.
Dalam menghadapi tantangan ini, Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Bolanya sekarang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah Pusat.
Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah permintaan perpanjangan masa berlaku dana Otsus, serta penambahan persentase alokasinya dari 2 persen menjadi 2,5?ri plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Permintaan ini jelas mencerminkan kekhawatiran mendalam akan kemampuan fiskal Aceh jika dana Otsus dihentikan sepenuhnya.
Namun, upaya revisi UUPA juga memicu perdebatan.
Di satu sisi, perpanjangan dan penambahan dana dianggap vital untuk keberlanjutan pembangunan Aceh.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan tentang efektivitas penggunaan anggaran selama ini, terutama terkait tidak tepat sasaran dan dugaan korupsi yang membayangi pengelolaan dana Otsus.
Dengan aliran dana belasan triliun rupiah setiap tahunnya, laporan dan indikasi penyelewengan anggaran sering muncul ke permukaan, seperti kerap disuarakan para aktivisi antikorupsi.
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 2018, misalnya, terkait dugaan suap dari proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), menjadi bukti nyata betapa rentannya dana ini terhadap praktik rasuah.
Contoh lain adalah kasus korupsi yang melibatkan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri, yang telah divonis 9 tahun penjara.
Belasan miliar yang seharusnya diperuntukkan bagi para korban konflik untuk meningkatkan perekonomian mereka, malah dikorupsi.
Dugaan korupsi dana Otsus seperti penyakit kronis yang menggerogoti.
Bagaimana mungkin dana sebesar Rp110 triliun tidak memberikan dampak maksimal pada kemakmuran rakyat, jika banyak yang akhirnya masuk kantong pribadi atau proyek fiktif?
Pengelolaan kurang transparan dan akuntabel tak hanya menghambat pembangunan yang seharusnya bisa melompat jauh dengan dana sebesar itu, tapi juga mengikis kepercayaan publik.
Jika praktik ini tak dihentikan dan para pelakunya ditindak tegas, maka upaya Aceh untuk mandiri bila dana Otsus tidak diperpanjang akan semakin berat, karena modal kepercayaan dan integritas telah terkikis.
Lalu, mau dibawa kemana Aceh kalau sampai usulan penambahan dan perpanjangan dana Otsus ditolak Pemerintah Pusat?
Luka lama
Satu noda hitam yang terus membayangi perdamaian Aceh adalah belum tuntasnya isu hak-hak korban konflik dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ribuan korban dan keluarga mereka masih menanti keadilan, kompensasi, dan rehabilitasi yang telah dijanjikan.
Impunitas terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat terus menghambat proses rekonsiliasi sejati dan penyembuhan luka sejarah.
Para korban sudah 20 tahun menunggu. Janji-janji pemenuhan hak mereka hanya sebatas janji manis di mulut, apabila ada seremoni.
Bagaimana bisa bicara perdamaian seutuhnya jika hak-hak mereka sebagai korban belum terpenuhi dan para pelaku kejahatan masa lalu masih bebas?
Upaya rekonsiliasi yang dulu pernah didengungkan, kian redup ditelan waktu.
Ketidakpuasan para korban bagaikan bom waktu.
Tanpa penyelesaian yang adil dan transparan, rasa ketidakadilan akan terus membayangi, berpotensi menggerogoti kepercayaan publik pada pemerintah dan mengganggu stabilitas sosial jangka panjang.
Mekanisme penyelesaian dan pemenuhan hak korban lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang efektif dan akuntabel menjadi desakan krusial dari berbagai pihak.
Tetapi, selama ini bisa dilihat kinerja komisioner KKR Aceh terkesan seperti kehilangan arah.
Mereka seharusnya lebih lantang lagi menyuarakan kepentingan korban.
Di luar isu dana Otsus, dugaan korupsi dan keadilan, tantangan makroekonomi juga menanti.
Angka kemiskinan dan pengangguran, terutama di kalangan pemuda, masih menjadi masalah serius.
Makanya beberapa tahun terakhir, Aceh menempati posisi sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Diversifikasi ekonomi Aceh yang masih sangat bergantung pada sektor primer dan minimnya industri pengolahan, menjadi hambatan utama.
Perjalanan 20 tahun perdamaian adalah fondasi berharga.
Namun, tanpa keberanian untuk menuntaskan janji-janji keadilan, memberantas korupsi yang masih menggerogoti, dan merumuskan strategi ekonomi berkelanjutan, masa depan Aceh bisa menjadi sebuah ujian berat.
Akankah Aceh mampu melompat maju, atau justru tetap terjebak dalam lingkaran masalah yang sama?