Penurunan angka kemiskinan pada Maret 2025, dari 14,23 % ke 12,33?lam setahun, adalah capaian penting.
Ini penurunan tercepat selama satu dekade.
Tetapi sekali lagi, fenomena ini lebih banyak ditopang oleh bantuan sosial seperti BLT Dana Desa dan bansos lainnya.
Bukannya tidak penting, tetapi sejarah tidak akan mencatat siapa yang banyak memberi bantuan.
Ia akan bertanya, mengapa bantuan itu terus dibutuhkan?
Gubernur baru, Muzakkir Manaf, menghadapi warisan kompleks.
Ia memimpin dalam masa transisi fiskal dan transisi politik.
Ia bukan hanya harus menjawab soal masa depan fiskal Aceh, tetapi juga meyakinkan publik bahwa kepemimpinan berbasis sejarah konflik bisa juga memproduksi kebijakan rasional dan inklusif.
Tiga pertanyaan besar
Muzakir Manaf atau Mualem harus menjawab tiga pertanyaan besar yang akan ditinggalkan Otsus, terutama bila Dana Otsus diperpanjang.
Pertama, bagaimana mengubah kemakmuran fiskal menjadi kemandirian ekonomi?
Kedua, bagaimana menciptakan struktur sosial yang lebih egaliter, terutama ketimpangan kemiskinan antar kabupaten yang sangat mencolok?
Ketiga, bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat terhadap politik sebagai alat perbaikan hidup, bukan sekadar pertunjukan kuasa?
Jawaban-jawaban itu tidak ada dalam naskah lama.
Ia harus ditulis ulang.
Banyak yang berharap ia membawa semangat rekonsiliasi bukan hanya ke dalam narasi politik.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat.
Tapi sejarah sering kali tidak melihat panjang pendeknya masa, melainkan kedalaman dampaknya.
Otonomi Khusus pernah menjadi proyek harapan, untuk perdamaian, untuk keadilan, dan untuk mempercepat pembangunan.
Dalam praktiknya, Otonomi Khusus lebih sering menjadi arena tarik menarik kepentingan elite, jauh dari urusan publik.
Ketika tinta sejarah mulai ditorehkan, mungkin tulisan akan berkata bahwa Aceh telah berhasil menjaga perdamaian.
Bahwa senjata sudah diam, bahwa bendera tak lagi menjadi alasan darah ditumpahkan.
Tapi sejarah juga akan bertanya.
Mengapa dengan semua kewenangan dan uang yang tersedia, Aceh masih tertinggal dalam pendidikan dasar dan menengah, masih mencatat tingginya kematian ibu, dan masih menggantungkan nasib ekonomi pada kemurahan pusat?
Sejarah bukanlah hakim, tapi ia juga bukan penghibur.
Sejarah hanya mencatat apa yang ada, dan meninggalkan pertanyaan bagi generasi berikutnya.
Jika dulu kalian diberi semua yang dibutuhkan untuk bangkit, lalu apa yang kalian lakukan dengan kesempatan itu?
Dan sejarah, sebagaimana biasa, akan mencatat dengan tajam, tanpa belas kasihan bagi mereka yang diberi peluang namun gagal menggunakannya.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.