SERAMBINEWS.COM, MEDAN - Bonaerges Marbun, seorang aktivis mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Politeknik Medan, mengaku mengalami kekerasan saat mengikuti sidang putusan kasus tembak mati pelajar berinisial MAF (13) di Pengadilan Militer I-02, Kota Medan.
Dalam sidang yang berlangsung pada Kamis (7/8/2025), Bonaerges melakukan protes terhadap putusan hakim dengan berdiri dan membentangkan bendera One Piece.
Aksi protesnya tersebut memicu reaksi dari sejumlah prajurit TNI yang hadir di dalam ruang sidang.
Bonaerges mengeklaim bahwa ia ditarik dan dibawa ke ruang sel tahanan.
"Saya digebukin hingga kepala saya memar. Baju saya kancingnya hilang. Di sel, saya dikeroyok ramai-ramai sama TNI," ungkapnya.
Setelah insiden tersebut, keluarga korban menjemput Bonaerges dari sel tahanan.
Ia menegaskan, kejadian ini mencerminkan ketidakadilan yang terjadi di pengadilan militer. Hal serupa juga dialami Muhammad Ilham, abang MAF.
Ia mengaku dipiting dan ditarik keluar ruang sidang setelah berteriak mengenai ketidakadilan yang terjadi.
"Saya ditarik keluar, dipukuli, sampai memar bagian perut. Saya bersama Bonaerges sempat dibawa ke sel," ucap Ilham.
Baca juga: Putranya Usia 13 Tahun Tewas Ditembak TNI, Fitriyani Tuntut Keadilan, Ingin Pelaku Dihukum Setimpal
Sebelumnya, Pengadilan Militer I-02 menggelar sidang putusan terhadap dua prajurit TNI, Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu, yang terlibat dalam kasus tembak mati MAF.
Dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Hakim, Letkol Djunaedi Iskandar menyatakan, kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian.
"Memutuskan, Serka Darmen dipidana pokok penjara 2 tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan sementara," kata Djunaedi.
Putusan serupa juga dijatuhkan kepada Serda Hendra, yang dijatuhi pidana 2 tahun dan 6 bulan penjara, denda Rp 200 juta, serta dipecat dari dinas militer. Keduanya dikenakan Pasal 76 c Jo Pasal 80 ayat 3 UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No 23 Tahun 2002 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHPidana Jo Pasal 26 KUHPM.
Sebelumnya, Serka Darmen dituntut 18 bulan penjara, sedangkan Serda Hendra dituntut 1 tahun penjara.
MAF sendiri ditembak mati pada Sabtu (1/9/2024) dini hari dan meninggal dunia di RSU Sawit Indah Perbaungan.
Dalam insiden tersebut, Serka Darmen dan Serda Hendra beraksi bersama empat warga sipil: Agung Pratama, M Abdillah Akbar, Eduardus Jeriko Nainggolan, dan Paul M Sitompul.
Keempatnya telah menjalani persidangan, di mana Agung dan Abdillah divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan penjara, sedangkan Eduardus dan Paul divonis penjara 10 bulan dengan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan.
KontraS: Preseden Buruk!
KontraS Sumatera Utara mengkritisi putusan hakim terhadap dua prajurit TNI yang terlibat dalam kasus penembakan pelajar berinisial MAF (13) di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Kritik ini disampaikan setelah hakim menjatuhkan hukuman yang dinilai terlalu ringan bagi terdakwa.
Ady Kemit, Staf Advokasi KontraS Sumut, menilai hukuman yang dijatuhkan kepada Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan. \
"Memang putusan hakim sesuai dengan tuntutan jaksa. Namun, mengingat pasal yang digunakan, seharusnya hakim dapat menghukum lebih berat," ungkap Ady kepada Kompas.com melalui saluran telepon pada Kamis (7/8/2025).
"Hakim menerapkan Pasal 76 c Jo Pasal 80 ayat 3, yang dalam aturan, hukuman penjara maksimal 15 tahun. Namun, putusannya hanya 2,5 tahun penjara," tambah dia.
Melukai Perasaan Keluarga Korban
Ady menegaskan, keputusan tersebut melukai perasaan keluarga MAF dan berpotensi menciptakan preseden buruk dalam mencegah kekerasan oleh prajurit TNI terhadap warga sipil.
KontraS Sumut juga menyoroti bahwa majelis hakim tidak memasukkan hak restitusi bagi keluarga korban.
Menurut Ady, hal ini penting untuk mengatasi penderitaan moral, psikologis, dan material yang dialami keluarga MAF.
Selain itu, Ady mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan prajurit TNI terhadap Muhammad Ilham, abang MAF, serta aktivis mahasiswa, Bonaerges Marbun, saat persidangan.
"Tindakan itu berlebihan dan menunjukkan arogansi prajurit militer terhadap masyarakat sipil. TNI seharusnya merespons kemarahan keluarga korban dengan cara yang lebih manusiawi," tegasnya.
Dugaan Pelanggaran Etika
Sebagai respons, KontraS Sumut mendesak Dewan Pengawas Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi dan mengambil tindakan terhadap pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran.
Mereka juga meminta Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk menyelidiki dugaan pelanggaran etika oleh majelis hakim yang menangani kasus ini.
"Kami mendesak Ombudsman Republik Indonesia untuk memeriksa kurangnya transparansi dalam layanan administrasi publik di Pengadilan Militer Medan," ujar Ady.
Ia juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia untuk melakukan studi dan memperhatikan tindakan kekerasan yang terjadi di Pengadilan Militer I-02 Medan.
Baca juga: Semarak HAN Ke-41, Bunda PAUD Aceh Besar Buka Lomba Sambung Ayat Pendek hingga Mewarnai
Baca juga: Nelayan Aceh Barat Diimbau Waspadai Gelombang Tinggi Capai Dua Meter
Artikel ini telah tayang di Kompas.com