Oleh: Zainal Arifin M Nur*)
TIGA pesan masuk ke WhatsApp di handphone saya pada, Senin (25/8/2025). Pengirimnya adalah Dr. Tgk. Teuku Zulkhairi, MA. Beliau adalah Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Dalam ketiga pesan itu, Tgk Zulkhairi meminta saya untuk membuat sebuah video testemoni tentang sosok almarhum Tgk Muhammad Yusuf A. Wahab atau biasa disapa Tu Sop Jeunieb atau Ayah Sop oleh para muridnya.
Tgk Zulkhairi yang saya kenal sebagai salah satu murid utama Ayah Sop, mengatakan bahwa video itu akan diputar pada malam peringatan Haul Ke-1 almarhum Ayah Sop pada, Senin (25/8/2025) malam ini.
Sementara puncak acara peringatan Haul Ke-1 Tu Sop Jeunib akan berlangsung pada, Selasa (26/8/2025).
Baca juga: Puluhan Ribu Jamaah Bakal Hadiri Haul Pertama Tusop Jeunieb
Saya sempat menolak dengan halus, karena saya merasa tidak cukup kapasitas membuat video testimoni untuk tokoh sekaliber Ayah Sop.
Tapi Tgk Zulkhairi meyakinkan saya. Menurutnya, saya adalah salah satu pimpinan media di Aceh, yang paling dekat dengan almarhum Ayah Sop.
Selain itu, kami juga sama-sama berada dalam satu kepengurusan organisasi, yaitu PW Nahdlatul Ulama Provinsi Aceh.
Selain itu, Tu Sop juga salah satu guru dayah yang paling sering mengisi kajian pada pengajian rutin yang dilaksanakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI).
Ayah Sop bukan Sekedar Ulama
Setelah diyakinkan oleh Tgk Zulkhairi, saya akhirnya menuju ke Studio Serambinews.com yang berada di Kantor Harian Serambi Indonesia, di Meunasah Manyang Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Saya seperti merasakan aura berbeda saat berada di studio Serambinews.com, untuk membuat video testemoni tentang sosok Tu Sop atau Ayah Sop.
Dalam kenangan saya dengan Tu Sop, tempat ini bukan sekadar studio.
Ia menjadi saksi dari banyak perjumpaan kami dengan Ayah Sop: ruang diskusi, ruang belajar, ruang menyerap hikmah dari seorang ulama yang tak pernah berhenti memberi.
Di sinilah, salah satu dan beberapa tempat kami berinteraksi dengan Ayah Sop. Bagi kami, Ayah Sop bukan sekedar ulama.
Beliau adalah jembatan antara tradisi dan modernitas, antara nilai-nilai dayah dan semangat kewirausahaan, antara suara rakyat dan panggung kekuasaan.
Yang membedakan Tu Sop bukan hanya sanad keilmuannya, melainkan keberaniannya menafsirkan ulang peran ulama di era digital dan demokrasi.
Ayah Sop bagaikan kolam ilmu yang mengalir dari dayah kepada kami, di tengah riuhnya transformasi sosial dan politik Aceh pasca-konflik.
Baca juga: Biografi dan Perjalanan Hidup Tu Sop, Cawagub Aceh yang Miliki Visi ‘Berlomba-lomba Dalam Kebaikan’
Satu hal lain yang membuat kami sangat terkesan, Ayah Sop yang dalam pandangan kami merupakan salah satu ulama paling berpengaruh di Aceh, nyaris tak pernah merasa lebih hebat dari teman diskusinya.
Saya yang bukan siapa-siapa, beliau perlakukan bagaikan seorang sahabat.
Saat pertama berjumpa pada sekira tahun 2017 lalu, beliau sudah memanggil saya dengan sapaan “Bang”.
Sebuah penghargaan besar bagi saya yang bukan siapa-siapa.
Saat itu, kami diundang datang ke dayah beliau, berdiskusi bagaimana menghadirkan warna “dayah multimedia” di Kompleks Babussalam Al-Aziziyah.
Dari sini kami melihat, Ayah Sop membangun Dayah ini lebih dari sekedar lembaga pendidikan.
Beliau menciptakan ekosistem dakwah yang terintegrasi dengan media, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.
Radio Yadara dan produk air minum Ie Yadara adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai dayah bisa hidup dipadukan dengan inovasi bisnis.
Beliau mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi adalah bagian dari keinginan dakwah.
Pembawa harapan baru
Kiprah Ayah Sop di ranah publik semakin kuat saat dipercaya memimpin Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Di sana, Ayah Sop menjadi suara moderat yang merangkul perbedaan, memperkuat posisi ulama dalam kebijakan publik, dan mendorong kolaborasi antara dayah dan pemerintah.
Dalam berbagai forum, Ayah Sop tampil sebagai komunikator ulung--tegas dalam prinsip, namun lembut dalam pendekatan.
Puncak keterlibatannya di ranah politik terjadi saat ia maju sebagai Calon Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2024.
Meski tak semua sepakat dengan langkah politiknya, banyak yang mengakui bahwa Ayah Sop membawa harapan baru: bahwa ulama bisa menjadi aktor perubahan, bukan sekadar penonton sejarah.
Tapi takdir berkata lain.
Pada tanggal 6 September 2024, Allah memanggil kembali hambaNYA.
Kepulangan Ayah Sop meninggalkan duka mendalam bagi Aceh.
Puluhan ribu orang mengiringi jenazahnya pulang ke Jeunieb, bukan hanya sebagai penghormatan, tapi sebagai pengakuan atas warisan yang beliau tinggalkan, warisan keberanian, keterbukaan, dan cinta yang tak henti-hentinya pada Aceh dan rakyatnya.
Kini, nama Tu Sop bukan hanya dikenang di dayah dan masjid, tapi juga di ruang-ruang diskusi, di lembaran kebijakan, dan di hati mereka yang percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari satu suara yang jernih dan satu langkah yang tulus.
*) PENULIS adalah Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia. Anggota PWNU Aceh, dan aktivis KWPSI.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI