100 Tahun Hasan Tiro
100 Tahun Hasan Tiro: Proklamator Aceh hingga Tokoh Kaya Imajinasi yang Mengguncang Dunia
"Hasan Tiro memberikan jawaban melalui perjuangan dan pemikiran strategisnya," kata Ketua PC ISNU Pidie dan Kandidat Doktor...
Penulis: Muhammad Nazar | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Muhammad Nazar I Pidie
SERAMBINEWS.COM, SIGLI- Tepat tanggal 25 September 2025, menandai satu abad kelahiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
Di mana Hasan Tiro sosok yang tidak hanya dikenal sebagai pencetus Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, tetapi juga sebagai tokoh yang menulis ulang sejarah Aceh melalui narasi dan imajinasi politik.
Seratus tahun bukan sekadar angka, melainkan momentum refleksi.
Bagaimana seorang individu mampu menjadikan cerita sebagai senjata, aspirasi sebagai peta perjalanan serta imajinasi sebagai alat mobilisasi rakyat?
"Hasan Tiro memberikan jawaban melalui perjuangan dan pemikiran strategisnya," kata Ketua PC ISNU Pidie dan Kandidat Doktor Universitas Sebelas Maret, Tgk Nanda Saputra, MPd, kepada Serambinews.com, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya, Hasan Tiro lahir dalam rahim sejarah Aceh yang telah teruji oleh kolonialisme dan gejolak politik.
Deklator GAM itu memahami, bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan formal, tetapi kemampuan membentuk persepsi, menggerakkan hati dan menyalakan kesadaran kolektif.
Kata Tgk Nanda, Filosof kontemporer Yuval Noah Harari menyebutkan, bahwa kekuatan manusia terletak pada kapasitasnya menciptakan, menyebarkan, dan mempercayai cerita bersama—“realitas intersubjektif” yang mampu menggerakkan jutaan manusia.
Hasan Tiro adalah manifestasi dari prinsip itu. Dia menjadikan narasi sebagai alat pendidikan, motivasi hingga legitimasi politik.
Dikatakan, kehadiran Hasan Tiro tidak luput dari kritik dan ketidak setujuan di beberapa sisi. Namun, yang menjadi penting adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran positif.
Juga menjadikan teladan moral dan strategi yang bisa menjadi kiblat bagi generasi baru. Sebagaimana Plato menegaskan, kecerdasan tanpa karakter ibarat pedang di tangan anak kecil—tajam, mematikan, tetapi tanpa arah moral.
Hasan Tiro mampu menyeimbangkan imajinasi, strategi, dan akhlak untuk membentuk narasi Aceh yang berpengaruh.
Senjata Moral dan Sosial
Di sisi lain, kata Tgk Nanda, refleksi terhadap satu abad Hasan Tiro mengajarkan bahwa kepemimpinan efektif memerlukan narasi yang etis. Narasi mampu menjadi cahaya jika diarahkan oleh moral, atau menjadi api jika disalahgunakan.
"Kita mengutip perkataan Gus Dur yang menekankan pentingnya toleransi dan keseimbangan.
Seorang pemimpin sejati harus mampu menempatkan narasi sebagai alat pemersatu, bukan pemecah. Kekuatan kata dan cerita harus melindungi kemanusiaan, bukan melanggengkan permusuhan," jelasnya.
Hasan Tiro menunjukkan bagaimana imajinasi politik mampu menembus batas geografis dan memengaruhi persepsi global. Kisah Aceh yang dibingkai melalui Tiro mengguncang dunia, tetapi tetap ada pihak yang berbeda pandangan.
Di sinilah pentingnya menyeleksi yang positif—mengambil contoh keberanian, visi strategis, dan kepemimpinan moralnya—sementara sisi kontroversial dijadikan refleksi, agar generasi baru tidak mengulang kesalahan masa lalu.
Menurutnya, dalam perspektif Imam Al-Ghazali, manusia harus menyeimbangkan intelektualitas dan akhlak. Ilmu tanpa akhlak bisa merusak, sama seperti pedang tanpa kendali.
Hasan Tiro menunjukkan bahwa kreativitas naratif harus selalu disertai etika, tanggung jawab sosial, dan visi keadilan. Di tangan pemimpin bijak, narasi bisa mendidik, mempersatukan, dan membangkitkan semangat kolektif; di tangan yang salah yang bisa menghancurkan.
Masa Depan Aceh
Satu abad Hasan Tiro juga menjadi ajakan reflektif bagi generasi Aceh kini: siapa “the great storyteller” baru yang akan menulis Aceh masa depan?
Sosok atau kelompok semacam itu harus mampu menulis ulang sejarah Aceh tanpa luka, tanpa dendam, tetapi dengan optimisme, keadilan, dan keberanian menghadirkan masa depan damai.
Plato menekankan bahwa pendidikan moral lebih penting daripada kecerdasan semata. Dalam konteks Aceh, ini berarti generasi baru harus memahami sejarah, menginternalisasi nilai, dan menggunakan narasi untuk membangun identitas kolektif.
Gus Dur menambahkan, bahwa toleransi, kebebasan berpikir, dan kemanusiaan harus menjadi dasar cerita kolektif: “Tanpa itu, narasi akan menjadi senjata perpecahan.”
Imam Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang tidak dibarengi akhlak akan menjerumuskan. Hasan Tiro, dalam perjalanan hidupnya, menunjukkan keseimbangan antara kreativitas imajinatif, strategi politik, dan tanggung jawab moral.
Dia mampu menyalakan api semangat Aceh tanpa kehilangan prinsip keadilan dan integritas.
Kini, seratus tahun setelah kelahirannya, generasi Aceh diingatkan, narasi adalah kekuatan, imajinasi adalah senjata, tetapi kebijaksanaan adalah kunci.
Narasi harus menjadi cahaya pembangunan, pendidikan, dan perdamaian. Tantangan terbesar adalah menulis sejarah hari ini agar masa depan menjadi sumber inspirasi, bukan trauma.
Baca juga: 100 Tahun Hasan Tiro, Bukan Perang, Ternyata Ini Poin Penting yang Paling Diperjuangkannya
Hasan Tiro menulis bagi zamannya, kini generasi Aceh menulis bagi zaman mereka. Menulis bukan sekadar catatan sejarah, tetapi membentuk masa depan. Menulis bukan sekadar kata, tetapi menanamkan nilai. Menulis bukan sekadar cerita, tetapi menyalakan semangat kolektif yang abadi.
Satu abad Hasan Tiro mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah pencipta makna, penenun cerita, dan penabur inspirasi. Generasi hari ini memiliki tugas memastikan narasi Aceh berputar pada keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan—sebuah penghormatan sejati bagi warisan Hasan Tiro.
Mengambil yang positif dari sosok kontroversial sekaligus menjadikannya teladan moral adalah kunci untuk menyeimbangkan sejarah, imajinasi, dan masa depan. Lantas sudahkah kita berkontribusi demi Aceh dan negeri ini menjadi lebih baik?
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.