Selamat Hari Ayah
Ayah, Pilar Kokoh dalam Sunyi, Membaca Pengorbanannya yang Sering Terlupakan
Padahal, perhatian sederhana seperti bertanya “Ayah, bagaimana kabarmu hari ini?” Dapat menjadi bentuk penghormatan yang membuatnya
Oleh: Muhammad Yasir Yusuf, dosen Pasca Sarjana UIN Ar Raniry, Prodi S3-Ekonomi Syariah
KETIKA berbicara tentang pengorbanan orang tua, memori kolektif kita lebih sering mengarahkan perhatian pada sosok ibu.
Kesalehan budaya dan keagamaan menempatkan ibu pada puncak penghormatan, sebagaimana hadis Nabi SAW yang menyebut ibu sebanyak tiga kali sebelum ayah.
Namun, penghormatan terhadap ibu tidak seharusnya menutup pandangan kita terhadap keagungan peran ayah.
Sebab, ayah adalah salah satu pilar utama keluarga, tempat bergantung bagi stabilitas emosional, ekonomi, dan spiritual anak-anaknya.
Masyarakat modern yang semakin materialis kerap mengukur peran ayah hanya sebatas “pemberi nafkah”.
Padahal, secara historis dan kultural, ayah adalah guru pertama dalam keluarga, penjaga martabat rumah, sekaligus pemimpin yang menavigasi arah kehidupan keluarganya.
Ketegasan, kesabaran, dan daya tahannya merupakan fondasi bagi pembentukan karakter anak.
Namun paradoksnya, semakin besar peran ayah, semakin sedikit ruang pengakuan yang diberikan kepadanya.
Terkadang, salah satu karakteristik yang sering disematkan pada ayah adalah sikapnya yang pendiam.
Ia tidak banyak berbicara, tidak pandai mengungkapkan kasih sayang secara verbal, dan mengekspresikan rasa cinta melalui tindakan.
Banyak studi psikologi keluarga menunjukkan bahwa ayah memainkan peran yang berbeda dari ibu dalam proses interaksi emosional.
Ekspresi kasih sayangnya cenderung non-verbal, menggunakan tindakan nyata sebagai medium komunikasi.
Diam seorang ayah bukan berarti ia tidak peduli atau tidak peka.
Diam itu sering lahir dari beban psikologis dan tanggung jawab yang ia emban.
Ia menyimpan banyak pergulatan batin—kekhawatiran tentang masa depan keluarga, perhitungan kebutuhan, strategi untuk menghadapi tantangan, hingga rasa takut tidak mampu memberikan yang terbaik.
Namun, pergulatan itu tidak ia tampilkan kepada anak-anaknya, karena ia tidak ingin kecemasan itu menular.
Keheningan tersebut dapat dibaca sebagai bentuk silent sacrifice, yakni pengorbanan sunyi yang tak diucapkan, tetapi terasa melalui ketegasan langkah dan ketulusan tindakan.
Seorang ayah lebih memilih menahan rasa sakit seorang diri, menyimpan kegundahan di balik senyumnya, dan berjalan seolah tanpa beban, demi menjaga stabilitas psikis keluarga.
Diamnya adalah lautan yang tenang di permukaan, namun menyimpan kedalaman yang sulit dijangkau.
Pengalaman Pahit yang Tak Tersampaikan
Banyak ayah melalui pengalaman sosial yang pahit: dibentak, diremehkan, dihina, bahkan diperlakukan tidak adil dalam dunia kerjanya.
Painful experiences ini sering tidak diungkapkan.
Ia menelannya sendiri, menjadikannya bagian dari cerita yang tidak pernah selesai, demi tetap melindungi keluarganya dari kecemasan.
Pengalaman-pengalaman seperti ini menunjukkan bahwa ayah sebenarnya hidup dalam ruang yang penuh risiko, baik secara fisik maupun psikis.
Ia mengambil peran sebagai pelindung dan penyangga keluarga, bahkan ketika ia sendiri merasa terancam.
Ada masa ketika ayah harus menahan malu, menundukkan kepala, mengetuk pintu-pintu pengharapan atau meminjam uang demi membawa pulang sepiring nasi.
Ia mengorbankan harga dirinya demi menyelamatkan kondisi keluarga.
Bagi sebagian orang, hal ini mungkin dianggap sederhana. Namun bagi ayah, keputusan untuk menanggalkan martabat duniawinya demi menunaikan amanah adalah bentuk pengorbanan besar.
Hal tersebut mencerminkan nilai al-itsar (mendahulukan orang lain), yang diabadikan dalam Al-Qur’an: “…dan mereka mengutamakan orang lain atas dirinya, kendati mereka sendiri dalam kesusahan…”(QS. Al-Hasyr: 9).
Ayat ini menggambarkan bahwa pengorbanan tanpa suara adalah puncak dari kepedulian.
Ayah yang berada pada posisi ini, meletakkan kebahagiaan anak-anak di atas kepentingan pribadinya, bahkan ketika dirinya sendiri sedang berada dalam keterbatasan.
Baca juga: 16 Twibbon Hari Ayah Nasional 2025, Ungkapan Cinta untuk Sosok Pahlawan Keluarga
Ayah juga manusia. Ia bisa merasa rapuh, gagal, dan hancur. Namun, ia memilih menjauhkan keluarganya dari perasaan itu.
Dalam banyak kasus, seorang ayah merasa dirinya tidak cukup layak jika tidak mampu mengabulkan setiap permintaan anak-anaknya.
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan keluarga sering ia tafsirkan sebagai kegagalan dirinya sebagai pelindung.
Luka itu tidak pernah terlihat karena ia tidak mengekspresikannya. Ia membungkusnya rapi di balik ketegaran.
Kegagalan memberinya derita; keberhasilan memberinya kebahagiaan. Namun, narasi emosional itu tidak mudah keluar dari mulut seorang ayah.
Ia lebih memilih menyimpan kesedihannya di ruang privat, sementara di ruang publik ia menampilkan ketegasan.
Ayah mungkin tidak menangis di hadapan keluarga, namun air matanya bisa jatuh di atas sajadah.
Di ruang spiritual itu, ia berbicara dengan Tuhan tentang kekhawatiran dan impiannya untuk anak-anak.
Inilah dialektika emosi seorang ayah: tangguh di hadapan manusia, rapuh di hadapan Allah.
Ayah dalam Perspektif Islam
Islam memberikan tempat khusus bagi ayah dalam struktur keluarga.
Ia diberi tanggung jawab sebagai qawwam, pemimpin dan penanggung jawab keluarga (QS. An-Nisa: 34).
Ia bertugas menjaga, menafkahi, dan mendidik anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
“Ayah adalah pintu tengah surga; maka jagalah pintu itu jika engkau mau atau sia-siakanlah jika engkau mau.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa kedudukan ayah merupakan salah satu pintu kemuliaan spiritual bagi anak.
Memuliakan ayah berarti menjaga pintu surga; mengabaikannya berarti menyia-nyiakan jalan menuju keselamatan.
Allah juga berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya…”(QS. Al-Ankabut: 8).
Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban berbuat baik tidak hanya ditujukan kepada ibu, tetapi kedua orang tua secara seimbang.
Nabi SAW memang menempatkan ibu pada maqam yang sangat tinggi, namun ayah tetap berada pada posisi terhormat sebagai figur kewibawaan dan perlindungan.
Dalam hadis lain, Rasulullah menyatakan: “Keridaan Allah terletak pada keridaan orang tua, dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi).
Oleh karena itu, memuliakan ayah merupakan ekspresi ketaatan kepada Allah. Penghormatan terhadap ayah tidak berhenti pada kepatuhan, tetapi juga meliputi penghargaan, perhatian, dan kesediaan memahami perasaannya.
Relasi Anak-Ayah: Sebuah Panggilan Kesadaran
Sayangnya, dalam dinamika keluarga modern, komunikasi dengan ayah cenderung kering.
Kita jarang bertanya tentang perasaannya, jarang menanyakan kabarnya, bahkan jarang menghabiskan waktu berkualitas bersamanya.
Padahal, perhatian sederhana seperti bertanya “Ayah, bagaimana kabarmu hari ini?” Dapat menjadi bentuk penghormatan yang membuatnya merasa dihargai.
Pertanyaan itu bukan hanya basa-basi, melainkan ekspresi empati dan cinta.
Ia membuka ruang dialog yang dapat meredakan beban batin seorang ayah.
Ia bisa menjadi jembatan untuk memahami kisah perjuangannya, sekaligus bentuk pengakuan bahwa kita menyadari perannya.
Di tengah kesibukan dan tuntutan ekonomi, interaksi emosional antara anak dan ayah sering terabaikan.
Anak-anak menganggap ayah sebagai mesin nafkah, bukan manusia dengan kebutuhan emosional.
Padahal, penghormatan terhadap ayah tidak hanya sebatas membantu secara materi, tetapi juga menyapanya, mendengarnya dan hadir untuknya.
Dalam konteks masyarakat Aceh, ayah memiliki peran strategis sebagai pemimpin keluarga dan penjaga nilai-nilai lokal.
Ia bertanggung jawab tidak hanya atas kesejahteraan ekonomi, tetapi juga pendidikan agama dan sosial anak-anaknya.
Nilai-nilai peumulia jamee, adat lagee hukom, dan penghormatan terhadap orang tua adalah bagian dari identitas Aceh yang diwariskan secara turun-temurun.
Karena itu, menjaga kehormatan ayah merupakan bagian dari upaya merawat identitas budaya.
Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga benteng moral keluarga.
Ia mendidik melalui teladan, memimpin dengan kebijaksanaan, dan menanamkan nilai keislaman yang menjadi fondasi kehidupan.
Menghormati ayah bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga kebutuhan moral dan budaya.
Penghormatan itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk:
Menyapa dan menanyakan kabarnya, mendengarkan kisah dan nasihatnya, menghargai keputusan dan pengalamannya.
Menyertakan dalam diskusi keluarga, mendoakan kesehatannya, membantunya merawat kesehatan, memberi ruang agar ia merasa berarti.
Kita mungkin tidak mampu membalas seluruh pengorbanannya.
Namun, minimal kita dapat memberikan penghargaan.
Dalam struktur keluarga Islam, penghormatan adalah bentuk cinta, dan cinta adalah energi yang menggerakkan keharmonisan.
Penutup
Ayah adalah pilar kokoh dalam sunyi. Ia bersandar pada tanggung jawab, bekerja tanpa henti, dan hidup di antara gelombang kekhawatiran.
Pengorbanannya sering tersembunyi, tidak terungkap, dan tidak menuntut balas. Namun di sana, cinta berdiam tanpa suara.
Dalam perjalanan hidup, tidak semua dari kita sempat mengatakan hal-hal yang sebenarnya ingin kita sampaikan kepadanya.
Karena itu, mulai hari ini, mari melatih diri untuk lebih peka, lebih sering bertanya kabar, lebih banyak mendengar, dan lebih sungguh-sungguh menghormati.
Sebab, ayah bukan hanya sosok di ruang tamu rumah kita. Ia adalah pintu tengah surga, sebagaimana sabda Nabi.
Dan memuliakannya adalah jalan untuk mendekat kepada Allah. Pertanyaan sederhana yang mungkin jarang kita lontarkan—“Ayah, bagaimana kabarmu hari ini?” —bisa menjadi pintu pembuka bagi cinta yang sudah lama menunggu untuk diungkapkan. Selamat hari ayah, 12 November 2025.
Refleksi Hari Ayah
hari ayah 2025
hari ayah nasional
Membaca Pengorbanannya
Selamat hari ayah
Serambinews
Serambi Indonesia
| Bupati Aceh Tengah Usulkan 74 Penyuluh Pertanian Paruh Waktu ke Pemerintah Pusat |
|
|---|
| Wanita Berusia 51 Tahun Tewas Usai Ngamar dengan Pria Muda, Polisi Duga Karena Kelelahan |
|
|---|
| Satpol PP dan WH Bongkar Lapak Pedagang di Bahu Jalan untuk Penataan Zonasi |
|
|---|
| Cara Mudah Mencukupi Kebutuhan Vitamin D, Bisa Didapatkan Secara Alami dan Suplemen |
|
|---|
| Hetti Zuliani, Konselor Aceh Wisuda di UPSI Malaysia, Doktor Pertama Bimbingan Konseling USK |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Muhammad-Yasir-Yusuf.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.