Opini
Bank Konvensional: Fatamorgana yang Memabukkan
Di tengah gemerlap janji pertumbuhan ekonomi dan kemudahan akses modal, tersembunyi struktur yang timpang dan memabukkan
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
LANSKAP keuangan global modern seringkali disamarkan oleh sebuah fatamorgana, sebuah ilusi kemegahan yang menawarkan kemudahan instan, namun menyimpan dahaga yang tak pernah terpuaskan. Fatamorgana itu bernama sistem perbankan konvensional dengan riba sebagai intinya.
Di tengah gemerlap janji pertumbuhan ekonomi dan kemudahan akses modal, tersembunyi struktur yang timpang dan memabukkan, membuat para pelakunya terlena dalam buaian keuntungan semu sebelum akhirnya terjatuh dalam kenyataan pahit. Aceh, dengan keteguhan hati yang dilandasi keyakinan agama, telah memilih untuk menjauhi fatamorgana ini, memilih oase keadilan yang ditawarkan oleh sistem syariah.
Langkah Aceh melarang praktik perbankan konvensional bukanlah tindakan radikal atau insuler yang muncul tiba-tiba. Ini adalah puncak dari kesadaran kolektif yang berakar dalam dan direstui oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari Gubernur dr. Zaini Abdullah kala itu, para ulama, akademisi, tokoh masyarakat, hingga rakyat biasa.
Landasan utamanya adalah firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’: 161, yang dengan tegas mengutuk praktik riba dan memakan harta orang dengan cara yang batil (tidak sah). Bagi masyarakat Aceh, ini adalah sebuah larangan ilahi yang harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan nyata, termasuk dalam sektor ekonomi dan keuangan.
Oleh karena itu, narasi yang menyebut bahwa Aceh "mengusir" bank-bank besar seperti BRI, BNI, atau Mandiri adalah keliru dan tidak pantas. Ini adalah framing yang menebar kebencian. Faktanya, Aceh tidak mengusir entitasnya, tetapi menolak sistem operasinya yang berbasis riba.
Baca juga: Tuha Peuet, Suloh, dan Syarak: Modal untuk Pemilu Berintegritas
Aceh dengan sadar meminta kepada perbankan untuk bertransformasi, beralih kepada sistem yang diridhai Allah, Sang Pemilik semesta. Buktinya, ketika Bank BCA memfokuskan diri pada operasional syariah di Aceh, ia dapat berjalan dan diterima dengan baik di bumi Serambi Mekkah. Ini menunjukkan bahwa keinginan Aceh bukanlah untuk meminggirkan institusi keuangan, tetapi untuk mendorong mereka berada dalam koridor yang benar dan adil.
Lantas, mengapa sistem konvensional ini digambarkan sebagai fatamorgana yang memabukkan? Ilusi pertama terletak pada konsep keuntungan yang dijanjikannya. Dalam sistem konvensional, bank menjamin keuntungannya melalui mekanisme bunga yang tetap, terlepas dari apakah usaha yang dijalankan nasabah untung atau rugi.
Bagi bank, ini adalah skenario sempurna: pendapatan mereka aman dan terprediksi. Mereka tidak perlu repot-repot mengkaji mendalam proposal usaha, menganalisis kelayakan bisnis, atau mempedulikan apakah uang yang dipinjamkan akan menghasilkan atau justru membawa petaka bagi si peminjam. Prinsipnya sederhana: "yang penting bank tetap aman dan untung."
Inilah inti dari ketimpangan itu. Resiko usaha hampir sepenuhnya dibebankan kepada pundak nasabah. Si peminjam, yang seringkali adalah pengusaha kecil dan menengah dengan akses modal terbatas, terjebak dalam skema ini.
Ketika usaha mereka lancar, mereka masih harus membayar bunga yang memberatkan. Namun, ketika badai ekonomi datang dan usaha mereka macet, tragedi pun dimulai. Mereka tidak hanya menanggung kerugian usaha, tetapi juga tetap diwajibkan melunasi pokok dan bunga pinjaman. Jalan satu-satunya seringkali adalah dengan mengorbankan barang jaminan, atau dalam istilah yang lebih menyentuh, "borok" harta terakhir yang mereka miliki.
Kondisi ini digambarkan secara tragis dalam pernyataan, "setelah jatuh ketimpa tangga lagi sehingga babak belur." Seseorang yang sudah jatuh karena usaha bangkrut, justru mendapat pukulan beruntun dari kewajiban membayar utang yang tak tertanggungkan.
Inilah mabuk kepayangan yang berujung pada kehancuran. Janji kemudahan di awal berubah menjadi mimpi buruk di akhir. Sistem ini menciptakan hubungan yang tidak seimbang dan eksploitatif, di mana satu pihak diuntungkan secara pasti, sementara pihak lain menanggung semua risiko.
Fatamorgana ini kontras sekali dengan prinsip dasar perbankan syariah. Dalam sistem syariah, hubungan antara bank dan nasabah bukanlah hubungan kreditur-debitur, melainkan kemitraan (musyarakah) atau penjual-beli (murabahah) yang transparan. Bank syariah tidak mengenal bunga (riba), tetapi menggunakan skema bagi hasil (profit-sharing) atau margin jual beli.
Di sinilah keadilan itu ditegakkan. Bank tidak bisa lagi bersikap masa bodoh. Mereka harus turut serta mengkaji dan mengawasi penggunaan dana, karena keuntungan mereka bergantung pada keberhasilan usaha nasabah. Jika usaha nasabah untung, kedua belah pihak berbagi keuntungan. Jika rugi, kedua belah pihak pun berbagi kerugian.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/uniki-080624-b.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.