Breaking News

Berita Nasional

Ribuan Siswa Keracunan MBG, Mendagri Minta Pemda ‘Pasang Badan’ Hadapi Insiden

Tito meminta Pemda memperkuat koordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) MBG di daerah agar penanganan berjalan cepat dan tepat.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Nurul Hayati
Endrapta Pramudhiaz/Tribunnews.com
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. 

Ribuan Siswa Keracunan MBG, Mendagri Minta Pemda ‘Pasang Badan’ Hadapi Insiden

SERAMBINEWS.COM – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta pemerintah daerah (Pemda) harus ‘pasang badan’ dalam menangani insiden keracunan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Tito meminta Pemda memperkuat koordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) MBG di daerah agar penanganan berjalan cepat dan tepat.

Hal ini ditegaskannya setelah rilis data Badan Gizi Nasional (BGN) sejak Januari hingga 22 September 2025, sudah terjadi 4.711 kasus keracunan MBG

Dari data tersebut, kasus keracunan paling banyak terjadi di Pulau Jawa.

BGN membagi 4.711 kasus tersebut ke tiga wilayah, yakni Wilayah I mencapai 1.281 kasus, Wilayah II mencapai 2.606 kasus, dan Wilayah III meliputi 824 kasus.

“Kalau ada insiden, yang pertama pasti Pemda. Mereka punya rumah sakit, ambulans, tenaga kesehatan, hingga sistem darurat. Jadi, respons awal harus dilakukan otoritas daerah,” kata Tito melalui keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025), dilansir dari Tribunnews.com.

lihat fotoMBG DI SABANG - Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Yayasan Kurnia Cahaya Permata di Kecamatan Sukajaya, Senin (25/8/2025).
MBG DI SABANG - Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Yayasan Kurnia Cahaya Permata di Kecamatan Sukajaya, Senin (25/8/2025).

Baca juga: Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 1.333 Orang, BGN Ungkap Penyebabnya

Kebijakan ini dinilai sebagai langkah taktis, cepat, dan tepat yang memang dibutuhkan di tengah kebingungan banyak pihak menghadapi krisis MBG

Menurut Dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh, arahan Mendagri menjadi penegasan penting bahwa Pemda tidak bisa pasif, melainkan harus sigap dan proaktif.

Ricky menilai, sudah saatnya ada desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah. 

Pemda perlu diberi otoritas langsung untuk mengawasi dapur penyedia MBG, menugaskan ahli gizi, serta memantau distribusi hingga konsumsi di sekolah.

Model ini bisa meniru pola saat penanganan Covid-19, ketika Pemda diberi ruang luas untuk menggerakkan Puskesmas, Posyandu, dan Satgas lokal. 

Hasilnya, respons menjadi lebih cepat, kontekstual, dan sesuai kondisi daerah.

“BGN tetap pegang standar nasional, tapi eksekusi lapangan dilakukan Pemda. Co-governance seperti ini lebih efektif, karena masalah gizi dan kesehatan publik tidak bisa hanya dikendalikan dari pusat,” jelas Ricky.

Ia juga menekankan pentingnya akses data yang lengkap bagi Pemda, mulai dari menu, dapur, hingga distribusi harian. 

Dengan begitu, pengawasan bisa dilakukan berlapis, yakni standar nasional oleh BGN (menu dan gizi), pengawasan dapur dan produksi, serta monitoring konsumsi dan risiko keracunan oleh Pemda.

Pengalaman saat Covid-19 membuktikan, keterlibatan penuh Pemda membuat kebijakan lebih berhasil. 

Prinsip yang sama perlu diterapkan dalam program MBG agar tidak sekadar soal distribusi makanan, tapi juga menyangkut keselamatan dan kesehatan publik.

8.549 Dapur MBG Belum Punya Sertifikat Higiene

Sebanyak 8.549 dapur penyedia Makanan Bergizi Gratis (MBG) atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tercatat belum memiliki sertifikat laik higiene dan sanitasi (SLHS). 

Kondisi ini memicu kekhawatiran, terlebih sejak program diluncurkan, sudah ada 4.711 siswa yang mengalami keracunan makanan.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari yang menyoroti soal banyaknya dapur MBG atau SPPG yang belum tersertifikasi SLHS.

Menurutnya, SLHS ini dinilai penting sebagai bukti pemenuhan standar mutu serta persyaratan keamanan pangan.

Dikutip dari rilis resmi KSP, dari 8.583 SPPG atau dapur makan bergizi gratis (MBG), hanya 34 SPPG yang memiliki SLHS sehingga 8.549 lainnya belum mengantongi SLHS hingga 22 September 2025.

“Jadi singkatnya, SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes (Kementerian Kesehatan) sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG,” kata Qodari, Senin (22/9/2025), dilansir dari Kompas.com.

Selain itu, Qodari juga menyoroti catatan Kemenkes terkait kesenjangan besar dalam penerapan standar keamanan pangan.

Berdasarkan data yang diperolehnya, dari 1.379 SPPG, ternyata hanya 413 yang memiliki prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) keamanan pangan.

Bahkan, hanya ada 312 di antaranya yang benar-benar menerapkan SOP tersebut.

“Dari sini kan sudah kelihatan kalau mau mengatasi masalah ini, maka kemudian SOP-nya harus ada, SOP keamanan pangan harus ada dan dijalankan,” ujar Qodari.

Qodari pun menegaskan, setiap SPPG wajib memiliki SOP dan SLHS sebagai prasyarat operasional.

Berdasarkan hasil koordinasi KSP dengan kementerian terkait, sebetulnya sudah ada regulasi yang diterbitkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dengan dukungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Namun, aspek pengawasan dan kepatuhan masih menjadi tantangan terbesarnya.

“Bahwa dari sisi regulasi dan aturan telah diterbitkan oleh BGN dan dibantu oleh BPOM, PR-nya adalah sisi aktivasi dan pengawasan kepatuhan,” kata Qodari.

(Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS  

Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved