Jusuf Kalla: Konflik Aceh Bukan Soal Syariat, Masalahnya adalah Ketidakadilan dalam Ekonomi Politik

Jusuf Kalla: penyebab utama dari masalah perdamaian di Provinsi Aceh, adalah ketidakadilan ekonomi.

Editor: Amirullah
YouTube/Mahfud MD Official
JUSUF KALLA DAN ACEH - Dalam foto: Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK). Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Drs. H. Mohammad Jusuf Kalla, mengisahkan kiprahnya dalam menyelesaikan konflik Aceh, satu di antara belasan konflik besar yang terjadi dalam kurun 80 tahun Indonesia Merdeka. 

Hal ini terbukti ketika, kata Jusuf Kalla, Presiden RI ke-4 K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelaksanaan syariat Islam, tetapi konflik di Aceh masih terus berlangsung.

"Kalau mengusahakan perdamaian, tentu harus mengetahui dulu penyebab terjadinya ketidakdamaian. Masalahnya apa," jelas Jusuf Kalla, saat menjadi narasumber dalam Webinar Diskusi Penguatan Aktor Resolusi Konflik D'PARK #50, Jumat (14/11/2025).

"Kalau di Aceh, masalahnya adalah keadilan dalam bidang ekonomi," sambungnya.

Baca juga: Siti Nurhaliza Rilis Musik Video ‘Rencong’, Tampilkan Budaya Melayu: Sindirian untuk Generasi Muda

"[Sementara] orang banyak menganggap, konflik Aceh itu masalah agama dan syariat yang berkembang," imbuhnya.

"Tahun 2000, Bapak Presiden RI Gus Dur mengeluarkan Keppres untuk menjalankan syariat Islam di Aceh, ternyata tetap ada konflik. Jadi, masalahnya bukan itu [agama]," tegasnya.

Terletak di ujung utara Pulau Sumatera, sebagai provinsi yang kaya akan minyak bumi dan gas alam beserta komoditas mineral logam seperti emas, perak, tembaga, dan nikel, masyarakat Aceh dinilai belum bisa dibilang makmur secara keseluruhan.

Jusuf Kalla bilang, saat itu masyarakat Aceh hanya mendapat 15 persen dari hasil pengelolaan sumber daya alam di daerah mereka, persentase yang terbilang begitu kecil.

Selain itu, menurut JK, penyebab lain dari ketidakadilan ekonomi di masyarakat Aceh adalah ketimpangan lapangan kerja.

Di mana, para pekerja di Aceh justru bukan merupakan warga setempat, melainkan berasal dari luar Aceh.

"Ternyata, masalahnya adalah ketidakadilan dalam ekonomi politik, karena di Aceh itu kaya sumber daya alam minyak dan gas, tapi masyarakat tidak mendapat manfaat besar dari hal tersebut," jelas JK.

"Mereka hanya mendapat 15 persen dari hasilnya, juga banyak orang yang bekerja berasal dari luar Aceh. Di situlah masalah kurangnya peranan politik dan pemerintah," tambahnya.

"Maka, waktu itu kita berikan kesempatan masyarakat Aceh untuk menikmati manfaat kekayaan sumber daya yang lebih besar daripada sebelumnya, serta diberi kemudahan-kemudahan serta kepentingan yang diatur, sehingga terjadilah perdamaian di Aceh," kata dia.

Baca juga: Revisi UUPA Sedang Dibahas, Prof Humam Sebut Aceh Patut Berterima Kasih Pada Empat Sosok Ini

MoU Helsinki

Adapun konflik Aceh terjadi antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah kelompok separatis yang menyatakan ingin membentuk pemerintahan sendiri, keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

GAM sudah melakukan perlawanan terhadap Pemerintah RI sejak 1976, hingga akhirnya konflik berakhir setelah tercapainya kesepakatan damai yang tertuang dalam nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Sesuai namanya, MoU Helsinki merupakan hasil perundingan yang dilaksanakan antara Pemerintah RI dengan GAM yang digelar di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved