KUPI BEUNGOH
Nurul Husna dari UIN Ar-Raniry Ungkap Pemicu Meningkatnya Jumlah Penderita HIV/AIDS di Aceh
Di tengah label Aceh sebagai daerah Syariat Islam, membicarakan topik HIV/AIDS dianggap tabu dan sensitif.
Oleh: Happyna Ramadhani dan Niftara Fhonaya*)
SERAMBINEWS.COM - Di tengah label Aceh sebagai daerah Syariat Islam, membicarakan topik HIV/AIDS dianggap tabu dan sensitif.
Banyak masyarakat menganggap penyakit ini adalah aib yang datang dari perilaku amoral.
Pandangan seperti itu membuat banyak penderita HIV disembunyikan, dijauhi, bahkan dikucilkan.
Akibatnya, edukasi mengenai penularan dan pencengahan HIV juga sangat jarang didapatkan.
Masyarakat lebih memilih diam karena dianggap “malu” untuk membicarakannya sehingga tak terdeteksi yang berakibat melonjaknya kasus.
Tiba-tiba bumi Aceh seakan tersentak oleh pemberitaan media mengenai fenomena HIV di Aceh. Angka penderita HIV di Aceh terus meningkat.
Baca juga: Ada 1.874 Kasus HIV di Aceh, Penerima Transfusi Darah Diminta Waspada Akan Potensi HIV
Sejak awal tahun hingga Agustus 2025, Dinas Kesehatan Aceh mencatat 233 kasus baru HIV/AIDS, terdiri dari 224 HIV dan 9 AIDS.
Angka ini menambah total kumulatif sejak 2004 menjadi 2.015 kasus, sebuah lonjakan yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata. (Lihat: HIV/AIDS Meningkat Signifikan, Didominasi Seks Sesama Lelaki, Serambinews.com, edisi 12 Oktober 2025).
Mengenal HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 (jenis sel darah putih yang penting untuk melawan infeksi).
Sementara AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi penyakit HIV, di mana sistem kekebalan tubuh telah rusak parah sehingga tidak lagi mampu melawan infeksi atau penyakit tertentu.
Virus ini dapat menular melalui berbagai cara: gonta ganti pasangan intim, hubungan seksual tanpa pengaman, penggunaan jarum suntik tidak steril, transfusi darah yang terkontaminasi, serta penularan dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Namun, laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2024 dan data UNAIDS Indonesia 2023 mencatat bahwa laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (MSM) merupakan salah satu kelompok dengan tingkat risiko tertinggi di Indonesia.
Dari Kelas ke Riset Disertasi
Nurul Husna, dosen pada Prodi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melakukan riset untuk disertasinya pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tentang pekerja sosial dalam penanangan mereka yang terdampak HIV/Aids di Aceh.
Husna telah mengikuti sidang tertutup untuk disertasi S3 di USU beberapa waktu lalu. Ia sedang melakukan revisi disertasi untuk mengikuti sidang promosi doktoral dalam waktu dekat.
Bagi Husna, isu HIV bukan sekadar topik penelitian. Ia adalah panggilan nurani.
Perempuan asal Adan, Beureunuen, Pidie, ini berani meneliti sesuatu yang sering dihindari banyak orang -- penyakit yang tidak hanya mematikan dari sisi medis, tetapi juga membunuh secara sosial karena stigma yang melekat.
Hal ini dimulai sejak akhir tahun 2017, ketika saat itu Nurul Husna bertemu dengan seorang teman dengan inisial R yang merupakan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Baca juga: Rektor UIN Ingatkan Mahasiswa Baru Soal Bahaya Begadang dan HIV
Pertemuan mereka saat itu menjadi titik awal ketertarikan Husna terhadap isu HIV/AIDS yang masih dianggap tabu di Aceh.
Saat itu Husna selaku dosen pada Prodi Kesejahteraan Sosial mengundang R untuk mengisi materi pada Mata Kuliah Pekerja Sosial Medis, saat itu temannya memberikan materi tentang perilaku hidup sehat, pencegahan HIV/AIDS dan juga meneritakan pengalamannya bagaimana menjadi ODHA.
Di saat membagikan pengalamannya kepada mahasiswa, R menceritakan bahwa dirinya hidup dengan HIV bukan karena perilaku berisiko pribadi.
Melainkan tertular dari suaminya yang tidak terbuka tentang masa lalunya yang ternyata adalah seorang pengguna narkoba suntik.
Meski menghadapi stigma dan tantangan sosial, ia tetap berani berbicara di depan mahasiswa, berbagi pengalaman, serta mengedukasi agar masyarakat tidak salah paham tentang HIV.
Sikap terbuka dan keinginan kuat untuk membantu orang lain itulah yang membuat Husna semakin tertarik mendalami isu ini.
Bagi Husna, pengalaman itu menunjukkan bahwa HIV bukan sekedar penyakit, tetapi juga tentang kesadaran sosial dan keberanian melawan stigma.
Ia melihat secara langsung bagaimana seseorang yang dianggap “penderita” justru tampil sebagai pendidik dan penggerak kesadaran publik.
Dari sinilah, benih ketertarikan akademik Husna terhadap isu HIV/AIDS dan kemudian tumbuh menjadi fokus disertasi berjudul “HIV/AIDS antara Penyakit Tabu dan Isu Krusial di Aceh.”
Bukan Sekedar Penyakit Medis
Bagi Husna, HIV bukan hanya sekedar urusan medis yang berkutat di laboratorium atau ruang perawatan.
Lebih dari itu, ia melihat HIV sebagai persoalan multidimensi yang menyentuh aspek sosial ekonomi, bahkan spiritual agama seseorang.
“HIV tidak bisa dilihat hanya sebagai penyakit tubuh,” kata isteri dari Bapak Ir Tarmizi A Hamid, budayawan merangkap kolektor manuskrip Aceh saat ditemui di Museum Rumoh Manuskrip Aceh, Ie Masen Kayee Adang Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
“Ketika seseorang terdiagnosis positif, yang terdampak bukan hanya fisiknya, melainkan juga status sosialnya, ekonominya, bahkan spiritualismenya.
Banyak penyintas yang kehilangan pekerjaan, dijauhi lingkungan bahkan mendapat diskriminasi,” kata Husna.
Pernyataan itu bukan sekedar teori yang di tulis di atas kertas. Husna mengenang sebuah kisah yang masih melekat di ingatannya.
Baca juga: HIV/AIDS Meningkat Signifikan Didominasi Seks Sesama Lelaki
Ia pernah mendengar tentang seseorang penderita HIV di Aceh yang meninggal dunia, namun warga sekitar menolak untuk memakamkan jenazahnya karena takut tertular. “Tragis bukan?” ujar Husna bernada tanya.
“Itu sangat menyedihkan. Padahal virusnya tidak bisa menular lewat sentuhan atau udara.
Penolakan seperti itu lahir atas dasar ketidaktahuan, bukan kebenaran,” papar ibu dari Salsabila Humaira, mahasiswi cantik yang sedang mengikuti pendidikan double degree program magister di Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Kisah tersebut menampar banyak orang. Bagi Husna, kisah itu menjadi bukti nyata bahwa stigma bisa lebih mematikan daripada virus itu sendiri.
Memutus Mata Rantai Penularan HIV
Kesadaran menjadi langkah utama untuk memutus rantai penularan HIV.
Upaya pencegahan HIV sebenarnya bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti menghindari hubungan seksual yang berisiko, tidak berbagi jarum suntik atau alat tato yang tidak steril.
Baca juga: Inflasi: Pencuri yang tak Pernah Ditangkap
Selain itu, perlu melakukan skrining darah sebelum transfusi, melakukan pemeriksaan HIV secara rutin, terutama bagi pasangan yang akan menikah.
“Calon pasangan pengantin perlu sama-sama memeriksa diri sebelum melangsungkan pernikahan,” katanya.
Bagi ibu hamil, lakukan pemeriksaan HIV sejak awal kehamilan untuk mencegah penularan kepada bayi.
Seperti dijelaskan dalam Pedoman Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Kementerian Kesehatan RI (2023) dan panduan WHO (2022).
Langkah-langkah pencegahan sederhana di atas menjadi kunci untuk menekan laju penularan HIV dan membangun kesadaran bahwa pencegahan dimulai dari diri sendiri.
Dari hasil wawancara dengan Husna, ia menegaskan bahwa HIV tidak bisa hanya diserahkan kepada medis atau pemerintah.
Baca juga: Teliti Kepedulian pada Penderita Aids di Aceh, Nurul Husna Ikuti Sidang S3 di USU Medan
Persoalan ini juga menuntut perubahan sikap masyarakat dari diam menjadi peduli dan saling menjaga, baik menjaga diri agar tidak tertular, menjaga perasaan, martabat, dan harapan orang lain.
Masyarakat memiliki peran besar dalam memutus rantai stigma ini.
Edukasi publik, empati sosial, dan keberanian untuk membicarakan isu HIV secara terbuka adalah langkah awal menuju perubahan.
Kesadaran adalah vaksin sosial yang ampuh. Perjuangan melawan HIV bukan hanya menekan jumlah kasus, tapi tentang menumbuhkan rasa empati dan menghentikan stigma.
Ini tentang mengembalikan ruang bagi mereka yang pernah kehilangan tempat di masyarakat.
Sebab pada akhirnya, musuh sejati bukanlah virusnya, tetapi ketidaktahuan yang membuat kita seakan mati dan berhenti peduli. Semoga!
*) PENULIS adalah Happyna Ramadhani dan Niftara Fhonaya (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
| MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas |
|
|---|
| Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup |
|
|---|
| Perubahan Wajah Epidemi HIV di Aceh, dari Isu Medis ke Krisis Sosial Remaja |
|
|---|
| Perlindungan Anak vs Pendidikan Moral: Saat Regulasi Menyimpang dari Amanat Konstitusi |
|
|---|
| Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Nurul-Husna-bersama-Happyna-Ramadhani-dan-Niftara-Fhonaya_teliti-HIV-AIDS_UIN-Ar-Raniry.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.