Pojok Humam Hamid
Meritokrasi dan Middle Income Trap: Anies, Weber, dan Kaisar Wu
Integritas menurut Anies adalah kesetiaan pada kebenaran, konsistensi dengan nilai moral yang menjunjung tinggi kepentingan umum
Negara-negara tersebut menunjukkan bahwa meritokrasi bukan hanya teori, melainkan strategi praktis yang terbukti mampu mengantarkan negara-negara berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Jepang memulai modernisasi dan industrialisasi secara sistematis sejak era Meiji , akhir abad ke-19.
Salah satu kunci keberhasilan Jepang adalah pembentukan birokrasi yang profesional dan selektif.
Pemerintah Jepang menempatkan pejabat berdasarkan prestasi dan kemampuan, bukan karena kedekatan politik atau keluarga.
Sistem ini memungkinkan Jepang merancang kebijakan industri secara terencana dan terstruktur, sehingga mampu bertransformasi dari negara agraris menjadi negara industri maju dalam waktu relatif singkat.
Korea Selatan dan Taiwan mengadopsi pendekatan serupa setelah Perang Dunia II.
Keduanya membangun sistem pendidikan yang ketat dan birokrasi yang kompetitif berbasis meritokrasi.
Para teknokrat dan profesional diberi posisi strategis untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan ekonomi, terutama di sektor manufaktur dan teknologi.
Meritokrasi juga membantu mengurangi korupsi dan pemborosan sumber daya, sehingga pembangunan dapat berlangsung lebih efisien.
Hasilnya, kedua negara ini berhasil keluar dari status negara berkembang dan kini menjadi kekuatan ekonomi dengan daya saing global yang tinggi.
Tiongkok, sejak memulai reformasi ekonomi pada akhir 1970-an, juga menekankan penerapan meritokrasi, terutama dalam pemilihan pejabat daerah dan pusat.
Para pejabat dipilih dan dipromosikan berdasarkan capaian kinerja, seperti pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan stabilitas sosial.
Sistem ini mendorong inovasi kebijakan dan fokus pada hasil nyata, yang membantu Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia dalam beberapa dekade.
Baca juga: Manusia, Predator Tanpa Taring
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan potensi demografis yang besar, seharusnya dapat mengatasi middle income trap dengan lebih mudah.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun sistem pemerintahan yang benar-benar meritokratik dan bebas dari praktik patronase serta politik transaksional.
Penerapan meritokrasi harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen pejabat publik, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, hingga penegakan akuntabilitas dan transparansi.
Anies Baswedan, dalam pidatonya, mengingatkan bahwa membangun bangsa bukan hanya soal angka pertumbuhan atau pembangunan infrastruktur, tetapi lebih mendasar pada menata ulang fondasi nilai.
Integritas, transparansi, dan meritokrasi menjadi tiga pilar utama yang harus dijaga agar tata kelola negara menjadi efektif dan berkeadilan.
Keberhasilan negara-negara Asia Timur mengajarkan bahwa meritokrasi bukan sekadar idealisme, tapi kebutuhan praktis.
Sistem ini membantu membangun kepercayaan publik, menciptakan birokrasi yang efektif, dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya kelompok tertentu.
Reformasi birokrasi secara menyeluruh
Pidato Anies Baswedan menjadi pengingat penting bagi Indonesia bahwa tanpa mengembalikan nilai-nilai dasar integritas, transparansi, dan meritokrasi, negara ini akan sulit keluar dari jebakan stagnasi ekonomi dan birokrasi yang tidak efektif.
Sebaliknya, dengan menempatkan orang-orang terbaik yang berkompeten dan berintegritas di posisi strategis, Indonesia bisa mempercepat transformasi ekonominya menuju sektor industri bernilai tambah tinggi dan daya saing global.
Max Weber telah memberikan kerangka teoretis tentang bagaimana birokrasi meritokratik menjadi tulang punggung negara modern yang rasional dan profesional.
Baca juga: Inflasi: Pencuri yang tak Pernah Ditangkap
Sementara Kaisar Wu dan Dinasti Han membuktikan secara historis bahwa sistem meritokrasi adalah fondasi pemerintahan efektif dan berkelanjutan.
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok menawarkan contoh empiris yang sangat kuat bahwa meritokrasi adalah kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial.
Indonesia harus belajar berani melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Dengan fondasi nilai yang kokoh dan tata kelola yang profesional, Indonesia akan mampu mewujudkan cita-cita besar sebagai negara maju yang adil, inklusif, dan berdaya saing di panggung dunia.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
pojok humam hamid
Meritokrasi
Anies
Weber
Kaisar Wu
Indonesia
Reformasi Birokrasi
Serambi Indonesia
Serambinews
| Khan, Aboutaleb, dan Mamdani: Fenomena Migran Muslim Menjadi Pejabat Publik di Eropa dan AS |
|
|---|
| MSAKA21 - Kerajaan Samudera Pasai: Hikayat Raja Raja Pasai dan Catatan Tome Pires – Bagian XVI |
|
|---|
| Gaza dan Yahudi Amerika: Dua Generasi, Dua Hati yang Berbeda |
|
|---|
| Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis – Bagian Kedua |
|
|---|
| Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis - Bagian 1 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Prof-Dr-Ahmad-Human-Hamid-MA-3.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.