Kupi Beungoh

Redenominasi: Tiga Nol Syahid, Uang Gelap Tersesat di Jalan Terang

Redenominasi rupiah bukan lagi soal menulis angka lebih mudah, ini adalah alat untuk mengembalikan martabat ekonomi bangsa.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Dr. Muhammad Nasir, Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban. 

Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)

Bayangkan ini: di pasar tradisional, di bawah lampu neon yang redup, dan di balik layar dompet digital, ada tumpukan uang yang tak tercatat, tak berpajak, dan tak bertanggung jawab. 

Inilah uang yang menggerogoti keadilan ekonomi bangsa. 

Menurut pengamatan ekonom Said Didu, angka kelabu itu menakutkan: sekitar Rp70.000 triliun. 

Jika benar, ini bukan sekadar statistik; ini adalah luka moral yang menunggu tindakan nyata. 

Redenominasi rupiah bukan lagi soal menulis angka lebih mudah, ini adalah alat untuk mengembalikan martabat ekonomi bangsa.

Redenominasi: Dari Angka ke Moralitas Publik

Secara teknis, redenominasi hanyalah pengurangan nol agar transaksi lebih sederhana. 

Namun ketika dikaitkan dengan Rp70.000 triliun uang gelap, ia menjadi operasi moral. 

Redenominasi memberi kesempatan menutup celah uang yang tersesat, korupsi, narkoba, judi, dan perdagangan illegal, agar kembali ke sistem resmi.

Dalam ekonomi Islam, uang harus mencerminkan keadilan, kejujuran, dan keberkahan.

Nilainya bukan sekadar angka, tetapi harus bebas dari riba, gharar, dan ketidakadilan. 

Redenominasi adalah momentum ganda: menyederhanakan rupiah sekaligus menegakkan budaya ekonomi bersih. 

Ini bukan formalitas teknis, tetapi panggilan untuk kedewasaan moral dan ekonomi bangsa.

Redenominasi Bukan Sanering

Masih banyak yang keliru mengira redenominasi sama dengan sanering. 

Sanering memangkas daya beli drastis, sedangkan redenominasi hanya menyederhanakan angka tanpa mengubah nilai riil. 

Seribu rupiah lama menjadi satu rupiah baru, tetapi daya beli tetap sama. 

Kesalahan terbesar bukan angka, melainkan persepsi publik. 

Pemahaman yang tepat membuat angka baru menegaskan disiplin moneter dan integritas fiskal, bukan menimbulkan kegaduhan psikologis.

Baca juga: Wacana Redenominasi Rupiah Kembali Mencuat, Ini Daftar Negara yang Pernah Melakukan Redenominasi

Pelajaran dari Dunia

Sejarah mencatat kegagalan Indonesia di awal kemerdekaan karena inflasi tinggi, fiskal lemah, dan rendahnya kepercayaan publik. 

Pengalaman dunia memberi pelajaran penting. Turki (2005) berhasil melakukan redenominasi karena inflasi terkendali, fiskal stabil, dan sistem pembayaran digital siap. 

Brasil (1994) dan Polandia (1995) sukses berkat sosialisasi bertahap dan kesiapan infrastruktur keuangan modern.

Sebaliknya, Venezuela (2018) gagal karena inflasi meroket, tata kelola buruk, dan sosialisasi publik gagal total. 

IMF dan World Bank menegaskan, redenominasi hanya berhasil bila stabilitas ekonomi, digitalisasi sistem pembayaran, dan komunikasi publik berjalan efektif. 

Sekali lagi, kesalahan terbesar bukan angka, tetapi persepsi keliru.

Baca juga: Belajar dari Asing, Redenominasi Tak Selalu Manis, Turki Sukses, Zimbabwe Justru Berujung Kegagalan

Uang Gelap: Ancaman Nyata dan Moral

Ketika semua uang lama harus ditukar melalui perbankan resmi, pemilik dana gelap menghadapi dilema: biarkan uang hangus atau bawa ke perbankan dan jelaskan asal-usulnya. 

Di sinilah KYC (Know Your Customer) dan AML (Anti-Money Laundering) bekerja: verifikasi identitas, penelusuran sumber dana, dan pelaporan transaksi menciptakan jejak yang tidak disukai ruang gelap.

Ancaman nyata muncul ketika uang gelap mencoba melarikan diri ke aset digital anonim, seperti kripto atau stablecoin. 

Tanpa regulasi kripto yang jelas dan kerja sama internasional, operasi pembersihan moneter bisa sia-sia. 

Redenominasi tanpa regulasi kripto dan forensik digital adalah langkah setengah jadi, bahkan berisiko.

Baca juga: Redenominasi Rupiah Kapan Diterapkan? Purbaya: Itu Urusan BI, Jangan Gue yang Digebukin

Resiko Praktis dan Solusi Cardas & Terukur

Meski redenominasi memiliki tujuan mulia, kebijakan ini tetap membawa risiko nyata yang tidak boleh diabaikan. 

Di antaranya adalah money illusion atau ilusi uang, beban transisi bagi UMKM, serta potensi ketidakadilan akibat pembulatan harga yang salah.

Namun, semua tantangan ini dapat diatasi dengan solusi Cardas yang cerdas dan terukur.

Pertama, melalui dual-pricing system, harga digital tetap presisi, misalnya Rp7.500 menjadi Rp7,5 sementara harga tunai dibulatkan secara transparan. 

Dengan begitu, pedagang kecil terlindungi dan konsumen tidak bingung, sehingga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan terjaga.

Selain itu, digital-first rollout menjadi kunci.

Integrasi penuh antara perbankan, e-wallet, dan kasir elektronik dengan rekonsiliasi real-time memastikan transisi berjalan lancar. 

Lebih dari itu, fasilitas tanpa biaya disediakan bagi UMKM selama masa adaptasi, sehingga mereka dapat mengikuti perubahan tanpa terbebani biaya tambahan.

Di sisi lain, penguatan KYC/AML dan regulasi kripto yang ketat menjadi langkah preventif agar uang gelap tidak berpindah ke ranah digital anonim. 

Sinkronisasi data antarbank, kewajiban pelaporan pemegang aset digital besar, dan kerja sama internasional untuk melacak modal lintas batas, semuanya dirancang untuk menutup celah praktik ilegal.

Lebih jauh lagi, sosialisasi cerdas dan pendampingan UMKM menjadi tulang punggung keberhasilan. 

Kampanye persuasif lintas media, titik layanan di pasar tradisional maupun digital, serta insentif fiskal sementara, membantu masyarakat memahami mekanisme redenominasi dan membangun kepatuhan sukarela, bukan karena paksaan.

Akhirnya, sanksi tegas dan penegakan hukum cepat menegaskan bahwa pelanggaran tidak ditoleransi. 

Penahanan aliran mencurigakan dan proses cepat terhadap kasus pelanggaran finansial menciptakan efek jera nyata, sekaligus menegakkan disiplin sistemik.

Dengan demikian, gabungan langkah ini menjadikan redenominasi bukan sekadar penghapusan nol, melainkan gerakan pemberantasan ekonomi gelap yang menyeluruh dan terukur, memperkuat integritas sistem moneter, serta melindungi rakyat dan UMKM secara adil.

Kepemimpinan dan Keteladanan Moral

Tidak ada teknologi yang mampu menutup celah kegagalan tata kelola jika keteladanan moral pejabat publik absen. 

Kepercayaan masyarakat bergantung pada integritas pembuat kebijakan. Apresiasi terhadap langkah-langkah Purbaya memang wajar, namun harus diiringi pengawasan publik, audit independen, dan transparansi penuh. 

Kepemimpinan yang tegas, konsisten, dan jujur adalah penopang terpenting agar proses ini tidak disalahgunakan atau dipolitisasi.

Uang Baru, Budaya Baru

Redenominasi adalah panggilan moral dan teknis: uang baru lahir dari budaya baru. 

Jika hanya mengganti nominal tanpa mengubah perilaku, kita menukar selembar kertas dengan selembar tipu daya. 

Namun jika disertai digitalisasi, regulasi kripto jelas, KYC/AML kuat, sosialisasi cerdas, dan keteladanan moral, redenominasi menjadi revolusi integritas.

Masyarakat harus menuntut transparansi, pelaku bisnis berpihak pada kepatuhan, penegak hukum cepat dan adil, serta pengelola kebijakan menempatkan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan sempit. 

Saat itu terjadi, uang yang dulu tersesat di ruang gelap dipaksa kembali ke terang, menegakkan disiplin fiskal, integritas ekonomi, dan keadilan publik.

Nol Syahid, Martabat Bangsa

Kita berdiri di persimpangan: melanjutkan kebiasaan lama atau menata ulang ekonomi dengan keadilan dan moralitas. 

Seperti kata tokoh fikih Yusuf al-Qaradawi: "Keberkahan harta tidak diukur dari banyaknya, tetapi dari kesucian dan kejujuran dalam mengelolanya."

Redenominasi, bila dijalankan dengan kecerdasan dan integritas, bukan sekadar menghapus nol, tetapi menata ulang rupiah, menjerat uang gelap, menumbuhkan kepercayaan publik, dan menegakkan martabat bangsa. 

Saat angka baru muncul, moral, integritas, dan keadilan ekonomi ikut menata ulang Indonesia, menuju jalan terang yang telah lama dinanti. Wallahu’alam bissawab.

 

*) PENULIS adalah Dosen Tetap Program Studi Keuangan Islam Terapan, Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial–Kemasyarakatan; Penulis Buku Perbankan dan LKS; dan Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban.

KUPI Beungoh adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel  menjadi tanggung penulis.

Baca artikel Kupi Beungoh lainnya di SINI.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved