'Seuramoe' Korupsi

masyarakat Aceh harus militan memerangi korupsi. Aceh harus menjadi neraka bagi para koruptor

zoom-inlihat foto 'Seuramoe' Korupsi
Muhammad Mirza Ardi
Oleh Muhammad Mirza Ardi

BILA kita menonton siaran berita di televisi atau membaca berita nasional di media cetak, bisa disimpulkan bahwa beberapa 'orang baik' di negeri ini sedang berusaha memerangi korupsi. Kasus demi kasus korupsi dikawal ketat oleh LSM anti-korupsi yang dibantu oleh media massa. KPK juga sedang memperkuat diri dengan dibentuknya tim kode etik. Melihat kinerja KPK, masa depan bangsa Indonesia sepertinya ada harapan untuk cerah.

Sementara itu, bila kita membaca berita tentang politikus-politikus di Aceh, nampak beberapa pejabat yang telah terbukti korupsi, dengan tenang bisa mencalonkan diri untuk kembali duduk di pemerintahan daerah. Lihat saja Aceh Timur, seorang mantan bupati yang mendekam di penjara karena kasus korupsi, begitu ia bebas, langsung disambut dengan ribuan fotokopi KTP penduduk agar koruptor ini bisa kembali ke tampuk kekuasaan. Melihat tingkah laku rakyat Aceh seperti ini, masa depan kita sepertinya suram. Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya di Aceh lah seorang mantan gubernur yang korup, ketika ia bebas dari tahanan, langsung disambut dengan suka cita dan perayaan akbar di pesantren.

Di Aceh, pelaku khalwat dicambuk di depan mata ribuan masyarakat supaya ada "efek jera". Namun, terhadap para pencuri uang rakyat, bukannya memberi efek jera, justru kita memberikan mereka "efek ketagihan" untuk korupsi.

Narasinya begini: kalau anda korupsi, curilah uang rakyat yang banyak, jangan tanggung- tanggung. Ambillah 100 miliar. Meskipun nanti tertangkap gara-gara laporan LSM anti-korupsi yang cerewet itu, anda tak perlu khawatir. Sebab dengan uang 100 miliar, anda bisa membayar pengacara handal yang mahir mengutak-atik aturan hukum, menyuap jaksa dan hakim yang menjatuhi vonis kepada anda.

Maka hukuman anda yang harusnya 60 tahun penjara bisa dikurangi menjadi 1 tahun 6 bulan. Lalu ditambah remisi hari lebaran dan berperilaku baik, sisa tahanan anda dipotong jadi 8 bulan penjara.
Dalam delapan bulan itu, dengan uang 100 miliar tadi, anda bisa menyuap sipir penjara agar memfasilitasi ruang tahanan menjadi hotel bintang lima. Sehingga kurungan 8 bulan serasa menginap di tempat mewah selama 8 minggu. Kalau di Aceh, setelah bebas nanti, anda akan disambut masyarakat-yang uangnya anda curi itu-bak pahlawan. Rakyat juga dengan senang hati memberikan fotokopi KTP mereka agar anda kembali menjadi "pejabat yang terhormat". Dan jangan lupa bahwa sisa uang 100 miliar (setelah dikurangi dengan biaya menyuap aparat hukum tadi) masih ada di tabungan gelap anda. Maka lengkaplah surga dunia bagi para koruptor di negara kita.

Dari hasil monitoring media 2009-2010 GeRAK Aceh, dugaan korupsi di provinsi ini mencapai 1,8 triliun rupiah. Rangking pertama kabupaten terkorup diraih Aceh Utara (kerugian negara Rp.431,6 milyar), disusul sebagai runner up kabupaten Bireuen (Rp 173,5 M), kemudian menyusul Aceh Timur (Rp 146,3 M), Pidie (62,8 M), Aceh Besar (49,8 M). Jika ketamakan pejabat-pejabat ini digabung dengan kultur masyarakat yang lembek terhadap koruptor, maka 'Seuramoe Mekkah' sudah menjadi 'Seuramoe Korupsi'. Dan takdir untuk sebuah daerah yang korup ialah rakyatnya akan selalu dihantui oleh kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan. Betapapun kaya sumber alam daerahnya.

Perlu masyarakat militan
Ada sebuah pepatah Arab yang artinya "bagaimana rakyatnya, begitulah pemimpinnya." Bila rakyat Aceh lembek terhadap koruptor, maka kita selamanya dipimpin oleh para pencuri uang rakyat. Pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik berjalan di tempat. Provinsi lain semakin berkembang, Aceh masih ketinggalan dalam kemiskinan.
Bila kita ingin mengubah nasib anak cucu kita. Kita harus melawan. Tuhan tidak akan mengubah nasib rakyat Aceh sebelum masyarakat Aceh sendirilah yang mengubah nasib mereka. Melawan korupsi memang bukan perkara gampang. Banyak aktivis anti-korupsi saat melakukan investigasi sebuah kasus, dihujani surat kaleng yang berisi ancaman pembunuhan. Kantor LSM anti-korupsi juga sering mendapat ancaman bom dan pembakaran. Para koruptor itu tidak ingin surga duniawinya diganggu. Bila kita diam, mereka menang. Jika mereka menang, anak-cucu kita kelaparan.

Oleh karena itu, masyarakat Aceh harus militan memerangi korupsi. Aceh harus menjadi neraka bagi para koruptor. Syarat mutlak Aceh yang lebih baik adalah pemerintahan yang bersih. Jihad kita bukan hanya berdemonstrasi di tengah jalan, berorasi mengutuk Israel dan Amerika, mengumpulkan dana, berdoa, lalu bubar. Jihad yang paling penting dan nyata bagi setiap muslim di Aceh sekarang ialah perjuangan memerangi korupsi. MUI sudah mengeluarkan fatwa haram korupsi. Ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah juga telah menerbitkan buku yang mewacanakan bahwa para koruptor itu kafir.

Rakyat berhak tahu
Para pejabat setiap bulan menerima gaji dan tunjangan hidup dari hasil pajak rakyat. Ini artinya pemerintah daerah bekerja untuk rakyat Aceh, dan (memang) harus memandang dirinya demikian. Karena itu, rakyat berhak tahu apa yang sedang dikerjakan pemerintah, apa rencananya, dan apa yang sudah diperbuatnya. Sangat penting bagi rakyat Aceh untuk memiliki Qanun Kebebasan Informasi (akuntabilitas pemerintah) yang didasari pada prinsip rakyat Aceh berhak tahu.

Misalnya kabupaten Aceh Besar memiliki dana 1 triliun yang akan digunakan untuk membangun sekolah. Pemerintah daerah harus menjelaskan kepada masyarakat secara mendetail, berapa kelas yang akan dibuat, harga batu batanya, kualitas semennya, merek genteng, dan sebagainya. Jadi nanti, misalkan kualitas semen yang tertera diperencanaan berkualitas A, namun di lapangan ternyata yang dipakai kualitas semennya C (tentu saja dengan harga yang lebih murah). Ini berarti ada korupsi di pembangunan sekolah itu. Dengan Qanun Kebebasan Informasi seperti ini, masyarakat bisa mengawal kinerja pemerintah dan memerangi korupsi. Mereka bisa melapor kepada pihak kepolisian atau jaksa. Nanti bila polisi dan jaksa diam, mereka bisa melapor ke KPK.

Di negara 'kafir' seperti Swedia, UU Kebebasan Informasi berdasarkan prinsip warga negara berhak tahu seperti di atas sudah diakui selama lebih dari 200 tahun. Di Amerika, prinsip tersebut sudah berjalan lebih dari seperempat abad. Aceh kapan?

* Penulis adalah penggiat di Kelompok Studi Darussalam (KSD).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved