Memahami Sikap Jakarta

ARTIKEL ini mencoba mengulas bagaimana sikap Jakarta terhadap situasi politik Aceh. Di sini yang paling mengejutkan bahwa Jakarta tidak mempergunakan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memahami Sikap Jakarta
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

ARTIKEL ini mencoba mengulas bagaimana sikap Jakarta terhadap situasi politik Aceh. Di sini yang paling mengejutkan bahwa Jakarta tidak mempergunakan kekuatan militer untuk mengintervensi konflik elite politik di Aceh. Namun upaya yang dilakukan adalah untuk melemahkan kekuatan GAM/PA. Proses pelemahan kekuatan GAM inilah yang amat menarik untuk dianalisa, yaitu kepiawaian Jakarta menaikkan tokoh yang mampu menghadang laju kekuatan politik di luar parlemen, dengan cara mengawinkan Partai terbesar di tingkat nasional, dengan kekuatan partai politik lokal di Aceh.

Di sisi lain, dua kekuatan besar dalam GAM terus diupayakan untuk berkonflik. Potret ini lebih mirip dengan eskalasi politik pada tahun 2001 ketika Gus Dur diperhadapkan dengan kekuatan Poros Tengah. Publik tahu bahwa Poros Tengah yang menaikkan Gus Dur, namun Poros ini pula yang menurunkan Gus Dur. Sekali lagi, suksesi tersebut berjalan tanpa intervensi kekuatan militer. Dalam konteks Aceh, Irwandi dinaikkan melalui kendaraan GAM, lalu sekarang berkonflik sendiri sesama eksponen gerakan ini. Sehingga Irwandi sendiri begitu susah untuk bertemu dengan kawannya sendiri yang pernah menaikkan dirinya sebagai orang nomor satu di Aceh.

Dalam konteks persaingan, naiknya Muhammad Nazar sebagai calon gubernur, menyiratkan bagaimana pengalaman Jusuf Kalla mencoba menghadang kekuatan SBY saat pilpres yang lalu. Saat itu, seolah-olah rakyat disuguhkan bahwa JK-lah yang paling populer di kalangan rakyat, namun kenyataannya SBY menang dalam satu putaran. Mesin politik mulai dari lembaga survei dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) menjadi alat pemikat bagi rakyat untuk memilih SBY. Walaupun JK selalu mengatakan bahwa program-program unggulan adalah ide-idenya, namun manfaatnya tetap berada di kubu SBY.

Kita tentu saja melihat bagaimana saat ini kampanye calon gubernur mulai menyentuh apa yang pernah terjadi antara SBY versus JK. Salah satu partai terbesar dari Jakarta mengusung calon yang sama sekali tidak diunggulkan dalam pemilu di Aceh. Di sini tentu saja secara tersirat, Jakarta akan mendukung calon yang diusung oleh partai terbesar, sementara Irwandi terus dihadapkan dalam gurita politik melawan kawannya sendiri. Konflik seperti ini dapat dibaca untuk menggiring Irwandi pada lubang jebakan demi jebakan politik, yang pada akhirnya, dia akan dikalahkan, baik secara adu domba dan minus kekuatan politik Jakarta dalam kendaraan kampanyenya.

Namun, di luar kekuatan tersebut, ada dua kekuatan lain yang perlu diperhatikan yaitu kekuatan asing, seperti Uni Eropa dan negara-negara yang memiliki pengaruh di Aceh, seperti Amerika dan Australia. Tentu saja Uni Eropa akan menjadi ‘tuan’ bagi PA untuk menyusun strategi politik, atas nama MoU dan UUPA. Sementara kekuatan kedua akan melihat bagaimana Irwandi bisa diselematkan dari berbagai jebakan dan jeratan politik yang dimainkan oleh PA dan dalam tahap tertentu oleh Jakarta. Seolah-olah di sini dua calon besar ini menjadi semacam test adu kekuatan politik di belakangan layar.

Hal ini terlihat misalnya, ketika eksponen GAM/PA berjumpa SBY untuk berkeluh kesah, dia memalingkan wajahnya pada calon yang diusung oleh Partai Demokrat. Ketika pilkada ingin ditunda, dia berdalih tidak bisa mengintervensi KIP. Sikap mendua SBY inilah yang menunjukkan bahwa ada upaya serius untuk melemahkan kekuatan GAM di Aceh. Pertama, GAM dilemahkan dari dalam melalui politik tenis meja. Kedua, dihidupkan tokoh lokal untuk membenamkan kekuatan GAM di lapangan. Sikap inilah yang membuat PA melakukan berbagai upaya agar usaha melemahkan mereka dapat teratasi, mulai dari dari lobi hingga ke parlemen jalanan. Sayangnya, PA dan GAM tidak memiliki satu kata bulat, karena suara mereka sudah dibulatkan oleh elite dalam parlemen dan eksponen GAM yang pernah berdiam lama di luar negeri. Kenyataan ini tentu saja berbeda dengan kasus SBY versus Sultan Yogya, di mana rakyat Yogya memiliki suara yang bulat yang agak sulit dipecahkan oleh kharisma politik SBY.

PA memandang bahwa Uni Eropa adalah langkah terakhir untuk mengembalikan marwah GAM di mata internasional. Pada saat yang sama, GAM sendiri sudah tidak memiliki satu suara mulai dari akar rumput hingga ke pentolan GAM di luar negeri. Hingga di sini, Uni Eropa mungkin hanya mengaku kekuatan GAM yang bisa berbahasa Inggris. Sementara mereka yang tidak mampu berbahasa Inggris cukuplah menunggu hasil politik “tenis meja” yang dimainkan oleh Jakarta. Kelompok inilah yang dijadikan sebagai pemicu dan pemacu agar tidak lagi memiliki satu suara dalam menghadapi sikap mendua SBY. Sementara kendaraan politik dan semua “alat berat” SBY dikerahkan untuk memenangkan calon yang diusung oleh Partai Demokrat.

Dalam pengalaman politik Aceh, partai nasional tidak populer, namun lebih pada sosok. Di sini rakyat akan memilih sosok, bukan partai politik. Dalam konteks Aceh sekarang, jika memilih partai, PD yang didirikan oleh SBY ini sendiri masih diliputi masalah yang tidak kunjung selesai, mulai dari Century hingga kasus Nazaruddin. Demikian pula, kemenangan Partai Demokrat bukan karena partai ini berjasa di Aceh, melainkan sosok SBY dan peran “alat berat” yang dimainkan secara komprehensif untuk memenangkan SBY. Padahal, tokoh yang paling berjasa dalam perdamaian di Aceh adalah JK.

Dengan kata lain, Partai SBY hanya melirik sosok, bukan tokoh yang penuh dengan masalah. Dalam bahasa sederhana, SBY menggunakan falsafah Jawa yaitu menang ora ngerosake (menang tanpa merusak). Irwandi dipandang walaupun sangat nasionalis, tetap dianggap belum “bersih” bagi Jakarta. Eksponen GAM walaupun sudah mengganti paspor RI tetap dianggap tokoh yang tidak bisa dipercaya dan sewakatu-waktu bisa mengancam NKRI di kemudian hari.

Dalam hal ini, tentu saja SBY tidak akan menggunakan politik perwayangan yaitu huru hara atau goro-goro. Karena kalau ini diciptakan maka pihak Uni Eropa dan Kekuatan Lain akan melakukan intervensi secara langsung. Tentu saja SBY ingin mengakhiri kepemimpinannya pada 2014 tanpa ada rujukan seperti Megawati yaitu pernah menerapkan Operasi Militer di Aceh. Namun indikasinya adalah seolah-olah goro-goro ini tercipta oleh konflik internal GAM sendiri, tanpa campur tangan dari Jakarta. Alhasil, publik internasional akan menilai bahwa GAM ternyata tidak bisa menerapkan fungsi sosial politik secara santun di Aceh. Sekali lagi, SBY akan menuai pujian jika hal ini terjadi dan pamornya di mata internasional akan naik. Inilah permainan politik santun ala SBY di Aceh.

Demikianlah hasil ijtihad dari potret politik Aceh hingga hari ini. Tentu saja dalam beberapa hari atau bulan ke depan, kita akan disuguhkan drama politik dari sikap mendua SBY di Aceh. Kita sebagai rakyat kecil harus bisa menahan nafas jika sewaktu-waktu sikap mendua SBY akan melahirkan sikap dan sifat tidak percaya sesama rakyat Aceh. Jika ini terjadi dalam beberapa bulan kemudian, dapat dipastikan Aceh akan menghadapi babak baru kehidupan sosial dan politik sebagai buah dari sikap mendua SBY. Kita berharap walaupun sikap mendua SBY ini wujud, rakyat Aceh harus tetap bisa menikmati secangkir kopi di warung kopi, baik siang maupun malam hari.

* Penulis adalah penulis buku Acehnologi (2011).

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved