Opini

Memahami Negara Gagal

BUKU Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A Robinson, keduanya dari MIT dan Harvard University, mengupas habis

Editor: bakri

Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

BUKU Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A Robinson, keduanya dari MIT dan Harvard University, mengupas habis mengapa banyak negara gagal, walaupun negara-negara tersebut, misalnya, memiliki sumber daya alam yang melimpah. Buku ini sarat dengan kepentingan pengembangan kapasitas intelektual dan cakrawala berpikir, mengenai bagaimana mengurus dan mengelola sebuah negara atau pemerintahan. Menariknya, semua ini ditulis berdasarkan pendekatan dan analisa dari faktor alam, kebudayaan, dan kesehatan masyarakat.

Institusi memainkan peran yang cukup penting dalam menyukseskan program pemerintah. Tanpa institusi atau lembaga yang benar-benar ingin menyejahterakan rakyatnya, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mengalami kegagalan, walaupun mereka mendapat limpahan kekayaan dari alam. Argumen ini menarik, walaupun terkadang hal ini hanya bisa diterapkan di negara maju. Mereka juga memandang bahwa pola pikir masyarakat dalam menjaga kesehatan cukup penting dalam pembangunan negara.

 Faktor kebudayaan
Di Aceh, pola masyarakat membuang sampah dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengatakan bahwa kesehatan bukan hal yang penting bagi mereka. Jika kita berada di kota Banda Aceh, walaupun diklaim sebagai kota islami, sampah merupakan salah satu pemandangan yang kerap ditemukan dimana-mana. Dalam buku tersebut disampaikan bagaimana virus dan penyakit menjadi penyebab utama negara selalu berada di dalam posisi yang tidak sehat.

Selanjutnya, dalam buku tersebut disebutkan, negara maju adalah mereka tidak memandang kebudayaan sesuatu yang amat penting. Pendapat ini tentu saja tidak seluruhnya benar. Karena beberapa negara maju pascaperang dunia kedua, tidak pernah mengabaikan faktor kebudayaan dalam kehidupan bernegara. Hanya saja, kebudayaan tidak menjadi penghalang untuk menuju kemajuan.

Penulis buku ini akhirnya berpendapat bahwa manusia yang profesional yang sangat menentukan bagaimana manajemen pemerintahan dan kemampuan mengelola kebijakan yang berdampak positif bagi rakyatnya tanpa harus melirik pada budaya yang ada. Mereka berpendapat jika para pemangku pemerintahan hanya menumpuk harta untuk diri sendiri, kendati negara tersebut sangat kaya raya alamnya, boleh dipastikan mereka akan menjadi negara yang gagal.

Harus diakui bahwa penulis Barat cenderung menulis dan mengkaji bahwa penumpukan harta untuk kepentingan diri sendiri adalah faktor penentu suatu negara menuju kehancuran. Walaupun sebenarnya ini telah dipaparkan dalam ajaran Islam, agaknya masih sulit diterapkan dalam kehidupan pemerintahan di negara-negara yang belum maju. Dalam konteks ini, Aceh tentu saja masih belum bisa dikatakan menerapkan falsafah pandangan sarjana tersebut atau bahkan menerapkan inti ajaran Islam.

Buku ini sebenarnya ingin menghubungkan tesis mengapa Barat harus menjadi terbaik di dunia saat ini. Isi buku ini dapat dihubungkan dengan pendapat-pendapat yang dikembangkan oleh Francis Fukuyama dan Ian Morris. Fukuyama pada tahun ini juga telah menerbitkan buku terbaru yaitu The Origins of Political Order: From Prehuman Times to French Revolution (2012). Sedangkan Ian Morris juga telah menulis buku terbaru yakni Why the West Rules for Now (2012).

 Ketertinggalan suatu bangsa
Jika kita membaca kedua karya tersebut memang ingin membuka road map (peta jalan) bagaimana menjelaskan ketertinggalan suatu bangsa, peradaban, dan mulai memahami bahwa peradaban Baratlah yang paling rasional saat ini. Tentu saja perlu kehati-hatian dalam memahami pola pikir semacam ini. Namun fakta sejarah menunjukkan bahwa kekuatan berpikir yang rasional menjadi satu penentu kemajuan suatu bangsa. Barat, dengan demikian, telah membuktikannya.

Jika ketiga buku tersebut dibawa pada konteks pemerintahan Aceh saat ini, maka boleh dikatakan Aceh tidak akan mampu menjadi seperti negara-negara maju. Terlebih lagi mimpi pemerintahan sekarang ingin menjadi seperti Singapura. Negara ini maju dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Singapura zaman doeloe merupakan negeri memisahkan diri dari Malaysia.

Setelah itu, Lee Kuan Yew menerapkan sistem pemerintah yang cukup profesional, seperti yang dikupas oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail. Kaku dalam Physics of the Future mengatakan bahwa salah satu resep Singapura maju adalah melalui “a systematic process of revolutionizing the entire nation, stressing science and education and concentrating on the high-tech industries.” Kita masih berharap cemas apakah pemerintah Aceh punya mimpi seperti itu.

Dalam buku tersebut, salah satu resep yang paling ampuh untuk memajukan negara adalah adanya institusi politik dan sistem pemerintahan yang professional. Penulis buku tersebut menceritakan bahwa sebagian besar negara yang gagal, lebih banyak karena kesalahan urus dari pemerintahnya dan tidak ada kepekaan pada pemimpin dalam menyejahterakan rakyatnya. Korupsi menjadi salah satu penyebab sebuah negara yang gagal.

Jika dibandingkan dengan situasi Aceh saat ini, mungkin diperlukan waktu yang cukup lama untuk merubah pola pikir yang ingin menjadikan daerah ini sebagai daerah yang gagal. Perbandingan ini cukup menarik, sebab Aceh memiliki segala-galanya. Analisa dalam buku tersebut menyebutkan bahwa masyarakat yang berada di wilayah tropis, seperti Aceh saat ini, adalah masyarakat malas. Kategori ini memang bisa digugat, namun etos masyarakat tropis dalam bekerja memang tidak bisa diandalkan.

Potret cara kerja dan bagaimana menumpuk harta di Aceh saat ini seakan-akan membenarkan pandangan dalam buku tersebut. Padahal Aceh berada di garis bumi yang amat menjanjikan bagi rakyatnya untuk sejahtera. Namun karena diurus secara tidak profesional dan masyarakatnya yang malas, Aceh sebenarnya hampir sama situasi masyarakatnya dengan negara-negara di Amerika Latin atau Afrika, yang tetap “miskin” meskipun tetangganya telah menjadi kaya raya.

Sikap malas tersebut boleh jadi dipicu oleh ketidakmampuan untuk menulis sejarah masa depan mereka. Hal ini disebabkan seolah-olah alam sudah menyediakan semuanya bagi masyarakat tersebut. Jadi tidak perlu bekerja keras dalam memajukan negeri ini. Lebih dari itu, institusi yang ada mulai dari eksekutif dan legislatif, jika dianalisa dari sisi profesionalitas, maka sama sekali tidak memberikan energi yang cukup untuk memajukan daerah ini.

 Negara gagal
Mereka lebih kerap memikirkan apa yang terbaik bagi diri dan kelompok mereka sambil melupakan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Sikap yang sama juga dialami oleh Indonesia saat ini. Terlalu banyak alasan untuk menulis mengapa kita harus sepakat bahwa negara ini adalah negara yang gagal. Bahkan, beberapa waktu yang lalu disebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang gagal.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved