Penculik Hipnotis dan Rayu Korban

Hipnotis dan rayuan. Jurus kombinasi itulah yang dimainkan para penculik saat mencari korbannya

Editor: hasyim

BIREUEN – Hipnotis dan rayuan. Jurus kombinasi itulah yang dimainkan para penculik saat mencari korbannya di Bireuen dan Kota Lhokseumawe untuk kemudian dijual kepada pemesan di Malaysia.

Hal itu diungkapkan Kapolres Bireuen, AKBP Yuri Karsono SIK kepada Serambi, Jumat (4/1) kemarin, saat ditanya tentang modus yang dilancarkan para penculik untuk menggaet sasarannya di wilayah hukum Bireuen.

Kapolres menyebutkan, dari hasil pemeriksaan sementara dua tersangka penculik Nuraini (16), warga Juli, Bireuen, yakni Ruhana (35) dan Sabariah (45) terungkap bahwa para penculik menggunakan jurus hipnotis untuk menguasai korbannya.

Setelah dihipnotis, para korban mendadak jadi orang penurut, bak kerbau yang dicucuk hidungnya. “Korban akhirnya menurut ke mana pun dibawa oleh pelaku,” ujar Kapolres.

Selain mengandalkan hipnotis, para pelaku juga memainkan jurus bujuk rayu. Para calon korban umumnya diiming-imingi sejumlah uang, lalu mengikuti kehendak pelaku. “Adakalanya pelaku memainkan jurus kombinasi, jika tak mampu dengan bujuk rayu, maka dihipnotis.”

Setelah didapat, kata Kapolres, para korban dibawa ke penampungan sementara. Untuk sasaran yang terjaring di wilayah Bireuen dan Lhokseumawe, tempat penampungannya berlokasi di Lhokseumawe, yakni di rumah Sabariah.

Paling lama satu minggu di tempat penampungan, korban diawasi ketat setiap saat agar tidak berani melapor maupun melawan. Agenda selanjutnya adalah memboyong korban ke Medan, Sumatera Utara. Setelah dibuatkan dokumen perjalanannya, dari Medan lah korban diseberangkan ke Malaysia untuk diserahkan kepada pemesan.

Apabila korban sudah sampai ke tangan pemesan, ia memberi imbalan uang kepada si pembawa. Besar uang imbalan itu kabarnya Rp 8 juta sampai Rp 15 juta untuk setiap gadis muda yang berhasil didatangkan dari Aceh atau Sumatera ke Malaysia.

Sesampai di Malaysia, kata Kapolres, ada yang memang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, tapi kabarnya ada juga dijadikan pekerja seks komersial. “Tapi intinya, ini adalah jaringan penculikan anak yang ujung-ujungnya trafficking atau perdagangan anak,” kata Kapolres Bireuen.

 Enggan melapor
Menurutnya, ada persoalan klasik yang dihadapi dalam mengungkap kasus trafficking yang diawali dengan penculikan, yakni para korban enggan melapor. “Mereka biasanya diawasi ketat berbulan-bulan oleh pelaku. Setelah korban diperkirakan tidak lagi melarikan diri, barulah pengawasan dikendorkan,” sebut Kapolres.

Selain itu, kata Kapolres, jaringan trafficking susah diungkap karena para pelaku atau kelompok lapangan tidak saling kenal, menerapkan steelsel terputus, dan identitas di antara mereka sering diganti.

“Meski demikian, tim kita terus bekerja dengan harapan kasus ini terungkap tuntas, karena pelaku penculikan Nuraini melibatkan belasan orang. Pelaku bukan saja dari Bireuen, tapi juga dari luar daerah, bahkan luar Aceh, yang bergerak rapi untuk memenuhi kebutuhan di pemesan di Malaysia,” beber Kapolres.

Dalam mengusut kasus penculikan Nuraini yang akhirnya kembali ke Bireuen setelah 22 bulan, Kapolres Bireuen mengaku berkoordinasi dengan sejumlah polres lainnya.

Kapolres juga mengimbau para keluarga korban culik yang anaknya belum kembali, agar melapor ke Polres Bireuen atau polres lainnya yang terdekat.

Kapolres Yuri Karsono menyatakan kesungguhannya membongkar sindikat penculikan dan perdagangan anak ini, karena diduga sudah puluhan anak Aceh diseberangkan ke Malaysia dalam dua tahun terakhir bermodalkan dokumen palsu dan tanpa izin orang tua. “Kasihan mereka, masih di bawah umur tapi dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga ataupun pekerja seks komersial,” ujar Kapolres.  

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved