Lelaki Seberang Kota
Perempuan itu menebalkan gincunya. Bibirnya merekah. Alis dihitam melengkung sabit. Ia tersenyum sumringah. Menggerakkan badan di depan
Perempuan itu menebalkan gincunya. Bibirnya merekah. Alis dihitam melengkung sabit. Ia tersenyum sumringah. Menggerakkan badan di depan cermin. Merendahkan sedikit bajunya. Sambil menatap jam, ia mengacak rambut basahnya. Sudah pukul dua malam. Ia melirik ke pintu masuk. Kosong.
Gelisahnya tak karuan. Tak biasanya akhir pekan sesepi ini. Ia melongok keluar dari jendela. Menatap baris kursi panjang yang tak rapi. Pekerjanya, para gadis muda di luar, hanya melongo. Sebagian bergoyang mengikuti musik gegap. Asap rokok mengepul membentuk kabut dari mulut-mulut mereka.
“Mengapa bisa sesepi ini? Sudah larut pula,” ia bersuara sambil berdiri di depan pintu bilik mungilnya. Gadis-gadis itu mengangguk pelan. Sebagian beranjak ke arahnya. Sebagian tetap memilih duduk termenung ditemaram lampu.
Ia membenarkan tali baju yang melorot, “Tak biasanya lelaki-lelaki itu ingkar, terlebih di malam akhir pekan seperti ini.” Gadis-gadis di depannya mengangguk pelan, “Kami sudah berdandan sejak sore tadi. Tak ada yang singgah. Hanya pemuda mabuk yang sering menggoda.”
Cepat perempuan itu melangkah. Melongok ke ujung jalan. Air gemericik terdengar dari sungai kecil sebelah bilik. Jembatan melintang di atasnya. Jembatan penghubung dua kota berbeda. Dan dari arah jembatan sana, kota seberang, lelaki-lelaki itu sering muncul saban pekan. Kendaraan-kendaraan mereka memenuhi jembatan pembatas kota. Riuh. Sesak. Menuju kemari. Seperti ada yang menggebu-gebu kuat tak tahan dari tubuh mereka. Namun, tidak malam ini. Senyap, sepi.
“Kalian apakan lelaki-lelaki itu pekan kemarin, ngeh?!! Bikin mereka senang saja kalian tak becus!!” ia menuding gadis-gadis pekerja didepannya. Mereka tertunduk pelan. Mengigit bibir bawah ketakutan.
“Kami tak pernah membuat mereka kecewa. Kami menemani mereka dengan baik...”, seseorang bersuara dalam ketakutan. Ia gadis paling merah gincunya malam ini. Ia masih sedikit risih dengan baju minimnya. Perempuan itu baru mengajaknya bergabung dua minggu lalu. Mengaturnya selayak ia mengatur gadis-gadis lain.
Asap rokok mengepul pelan. Perempuan itu melirik lagi jam di tangan kirinya. Matanya tetap berharap di ujung jembatan. Hampir jam tiga malam, tak seorang pun lelaki datang. Puntung rokok dibuang. Dilumat dengan ujung sepatu high heels-nya. Angin malam mendera. Hawa dingin terbawa. Mengibas tubuhnya yang minim. Melecut kulit kerutnya. Ia tak bergeming. Sudah biasa saban malam.
“Kau! Kau! Kau!” ia menunjuk geram ke beberapa gadis di depannya. Mereka terkesiap. “Kau bertiga, segera ke sana! Lihat apa yang terjadi. Ajak lelaki-lelaki kota seberang itu kemari. Goda mereka semampu kalian! Jangan kembali sebelum mengajak mereka..”
Tiga gadis bertubuh mungil itu bersiap. Merapikan rambut tergurainya. Membenarkan baju minimnya. Pelan mereka berjalan. Menuju jembatan panjang penghubung kampung seberang.
Lima belas menit berjalan, tiga gadis itu berbalik arah. Tergopoh-gopoh berlarian. Menenteng sepatu high heels-nya. Suara mereka nyaring ketakutan. Mengabarkan ada lampu-lampu pijar di ujung jembatan yang menyalak terang. Menahan ratusan kendaraan milik lelaki-lelaki di sana.
Perempuan itu ketakutan. Gadis-gadis muda itu berhamburan. Ia berusaha menenangkan. Melongok ke ujung jembatan. Memastikan apa yang terjadi. Benar! Ada cahaya terang menyalak di ujung sana. Cahaya tak bergerak. Tertahan di bibir jembatan. Mobil patroli menutup muka jembatan. Di belakangnya, ratusan cahaya juga menyala. Berkedip-kedip. Meraung diikuti klakson-klakson bising. Perempuan itu geram. Gemeretuk menahan emosi. Membenci para penahan-penahan itu.
Belum habis rasa penasarannya. Dari balik rimbun semak pinggir sungai seorang lelaki muncul. Tubuhnya kelelahan. Bajunya basah kuyup. Membentuk perut besar miliknya. Rambut tipisnya tersibak. Ia menyeberangi sungai berarus pelan di bawah jembatan.
“Kami dihadang! Kami dihadang!” lelaki berperut besar itu menunjuk ke seberang sungai, kota tempat ia berasal. Nafasnya tersengal-sengal. Ia bersandar di kaki meja, melepaskan kelelahan. Gadis-gadis muda itu mendekat. Menyuguhkan air. “Hhhffhh..saya dilarang untuk masuk kemari. Kami dirazia. Orang itu menghadang dengan peraturan-peraturan, dengan qanun-qanun Terpaksa tinggalin mobil di sana...” sambung lelaki itu.
Semenit kemudian, dua lelaki muncul seketika. Stelan jasnya awut-awutan. Rambut klimisnya tak lagi rapi. Sejumput rumput menempel di kerah baju kemejanya, “Kami dilarang kemari. Mobil patroli metutup jembatan waktu kami kemari.”