Opini

Presiden RI dan Nasib Aceh

SEJARAH dan dinamika hubungan Aceh-Pusat dari dulu penuh luka, air mata dan berujung kecewa

Editor: bakri

Oleh Sahari Ayah Ganie

SEJARAH dan dinamika hubungan Aceh-Pusat dari dulu penuh luka, air mata dan berujung kecewa. Berproses dalam siklus dialektis center-peripheri yang negatif bagi perdamaian Aceh. Manajemen salah urus, sentralisme politik dan sikap inkonsistensi pimpinan nasional RI (presiden), menjadi faktor utama, seperti di masa lalu. Berawal dari sederetan ingkai janji Soekarno kepada Daud Bereueh akan memberlakukan syariat Islam di Aceh, penghapusan status Provinsi Aceh yang baru bejalan delapan bulan, pada 1950. Cek kosong status “daerah istimewa” yang hanya ada di atas kertas.

Tragisnya, blunder politik Presiden RI pertama itu, diulangi lagi oleh Presiden RI kedua Suharto. Kebijakan sentralisme represif mengubur habis hak-hak politik, ekonomi dan kultural Aceh. Bermula pencabutan status daerah perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang pada 1985, yang diproyeksikan menjadi lokomotif pembangunan Aceh, pun sirna. Penemuan ladang gas alam Arun pada 1970-an yang mengalirkan jutaan petro dollar bagi devisa RI. Tidak berimbas positif bagi kesejahteraan Aceh, orang Aceh menjadi buya gampong teudodong yang menonton gemerlap para eksekutif PT Arun yang notabene mayoritas non-Aceh. Perjuangan Aceh menuntut keadilan, dijawab Suharto dengan penerapan DOM yang mendestruktif Aceh hingga hari ini.

Kini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali membuat rakyat Aceh galau dan resah atas komitmennya mengeluarkan Perpres. Desakan penuntasan butir-butir MoU Helsinki berulang kali diutarakan Aceh. Mulai dari Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada Milad ke-37 GAM, 13 Desember 2013 lalu, mengharapkan kejujuran pemerintah pusat merealisasikan butir-butir perjanjin damai (MoU) Helsinki dan segenap turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (Serambi, 14/12/2013). Ketua DPRA Hasbi Abdullah pun menilai pusat seperti tidak iklas menunaikan kewajibannya (dialog TVRI Jakarta, 4/12/2013).

Dua tokoh politik Aceh di tingkat nasional juga menyuarakan isu sensitif itu. Seorang Anggota DPR RI asal Aceh, Teuku Rifky Harsya, pada acara pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) September 2013 mengharapkan semua RPP dan Perpres tentang Aceh harus selesai sebelum masa jabatan Presiden SBY berakhir, dikhawatirkan pergantian presiden setelah pemilu 2014 akan berpengaruh kepada kebijakan pusat terhadap Aceh, pembahasan RPP dan Perpres bisa mentah kembali. Wakil Ketua MPR RI yang juga asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid pada Maret 2013 lalu juga mengingatkan pusat segera menuntaskan semua urusannya dengan Aceh. Mengingat masa jabatan presiden SBY akan berakhir (Atjeh Post, 27/3/2013).

Sikap mengulur waktu dan inkonsisten menyahuti aspirasi Aceh ini bisa membuat ambang kesabaran rakyat Aceh habis, dan tidak mustahil meletupkan konflik. Dua episode perlawanan masif bersenjata Aceh. Pertama gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Tgk Muhammad Daud Beureueh dkk pada 1953, dan kemudian bersinambung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976 di bawah Tgk Muhammad Hasan Tiro dkk selama tiga dekade. Kedua gerakan itu merupakan raison d’etre perlawanan rakyat Aceh terhadap politik ingkar janji para Presiden RI.

Ironisnya, kedua gerakan tersebut dilabel secara absurd sebagai ‘separatis’ dan ‘anasionalis’ oleh elite ultra-nasionalis RI. Mereka lupa di awal perjuangan kemerdekaan ‘bayi’ NKRI dalam kondisi kritis gizi, baik politik maupun ekonomi. Akibat sebagian besar wilayah NKRI dikuasai Belanda. Ibukota RI di Yogyakata diduduki, Presiden Soekarno dan PM Muhammad Hatta pun ditawan Belanda. Pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi pun runtuh dibombardir Belanda. PM Syafruddin mengungsi ke Aceh, satu-satunya wilayah NKRI yang tegak berdiri dan tidak berani dijamah tentara Belanda saat itu.

Laskar Mujahidin, bersama Tentara Pelajar Aceh berperang di Medan Area menggempur pasukan sekutu. Rakyat Aceh pun ramai-ramai membeli obligasi RI (yang hingga kini tidak pernah dibayar RI) untuk membeli pesawat RI-001 Seulawah dan membiayai operasional beberapa perwakilan diplomatik RI di luar negeri. Celakanya buku sejarah nasional khususnya di era Orde Baru menihilkan semua fakta patriotisme dan nasionalisme Aceh ini. Sebaliknya, secara berlebihan mengembangkan historiografi seperti pertempuran Surabaya, penguasaan Yogyakarta yang hanya enam jam.

 Koalisi sinergis
Untuk meningkatkan daya tawar lobi, diplomasi, dan negosiasi Aceh vis avis pusat tentang RPP dan Perpres, diperlukan duek pakat raya guna penyatuan visi, misi dan agenda aksi bersama komprehensif. Membentuk koalisi strategis dari kekuatan-kekuatan utama lokal Aceh seperti ulama, akademisi, dan LSM. Sehingga melahirkan pesan politik tingkat tinggi (high political tone petition), yang beresonansi nasional bahkan internasional untuk menyadarkan Jakarta. Selama ini gerakan ekstra parlementer ini bergerak parsial dan tidak terintegrasi. Desakan pengesahan rancangan qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh organisasi HAM, beberapa waktu lalu (Serambi, 6/12/2013).

Mestinya, melibatkan juga kubu ulama seperti, HUDA, MUNA, dan Inshafuddin. Agenda aksi ketiga organisasi mainstream ulama berbasis massa besar ini, masih membatasi diri pada isu-isu transedental (Qanun Jinayah) seperti urusan maisir, khamar, khalwat dan hukum cambuk. Selayaknya lebih progresif sikap kritisnya, menyentuh isu-isu aktual yang kontekstual dan relevan dengan kebutuhan Aceh hari ini. Rakyat mengharapkan santri dayah juga berani bersuara lantang --seperti halnya dalam soal khalwat, khamar maisir, hukum cambuk dan anti pemurtadan-- terhadap RPP dan Pepres yang terus dihambat pemerintah pusat.

Berkaca pada organisasi ulama Aceh masa lalu yang mampu menjadi agence of social change. Kiprah PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) ketika itu, suka atau tidak, berhasil merekonstruksi struktur baru Aceh yang lebih egaliter dan populis. Institusi akademis PUSA, Perguruan Normal Islam mencetak intelektual berkaliber nasional dan internasional seperti Prof Dr Ismail Yakub MA, mantan Rektor dua perguruan tinggi Islam terkemuka Indonesia, IAIN Sunan Kaligaja di Semarang dan Sunan Ampel di Surabaya.

Kemudian, Hasan Tiro pembangkit energi perlawanan Aceh yang mendunia, serta Ismail Hasan Metareum mantan ketua umum partai persatuan pembangunan. Organisasi ulama Aceh sekarang mestinya melebihi prestasi PUSA. Begitu pun kalangan akademisi perguruan tinggi Aceh jangan berada di menara gading yang terasing dari perjuangan Aceh saat ini. jangan terjebak rivalitas sempit jabatan struktural. Tanggung jawab moral (moral obligation) keilmuan harus lebih dikedepankan.

Masa jabatan SBY sebagai presiden RI akan berakhir pada 2014 ini. Para calon presiden (capres) 2014 yang kini santer disebut-sebut, terlihat berlatar tiga kutub ideologi besar, yakni nasionalis, militeris dan demokrasi. Rakyat Aceh harus pintar membaca jejak rekam para capres. Ini menjadi kewajiban moral masyarakat sipil dan akademisi mencerdaskan pemilih Aceh. Nasib Aceh kedepan sangat ditentukan oleh ideologi presiden terpilih. Salah pilih presiden, berarti akan menggiring Aceh kembali jatuh dalam lubang derita yang sama untuk kesekian kalinya.

* Sahari Ayah Ganie, Pemerhati Politik dan Pengajar Tamu pada Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: beusaree@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved