Opini

Muslihat di Balik BP2A

DIAM-DIAM DPRA dan Pemerintah Aceh sudah menggodok Rancangan Qanun Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) yang rencananya disahkan awal 2014 ini

Editor: hasyim

Oleh Zulfikar Muhammad

DIAM-DIAM DPRA dan Pemerintah Aceh sudah menggodok Rancangan Qanun Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) yang rencananya disahkan awal 2014 ini. Dengan hadirnya qanun tersebut, maka BP2A nantinya akan menjadi lembaga non-struktural yang mendapat pengakuan setara dengan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Posisinya akan setara dengan Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), Baitul Mal Aceh dan juga Wali Nanggroe, serta bisa mengelola anggaran sendiri. Malah, belum lagi qanunnya disahkan, Pemerintah Aceh sudah mengalokasikan dana BP2A sebesar Rp 80 miliar dalam anggaran 2014. Luar biasa!

Wajar jika publik terheran-heran, bahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga terkejut. Bagaimana mungkin lembaga yang belum jelas keberadaannya, tapi sudah mendapat alokasi anggaran. Belum lagi operasional lembaga ini tidak transparan, dan terkesan sangat eksklusif. Maklum, para pekerjanya adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan kekuasaan. Hasil investigasi aktivis pro-demokrasi di Aceh, rencana pengesahan qanun BP2A ini bermula sejak dibubarkannya Badan Reintegrasi-damai Aceh (BRA). Sebagai penggantinya, Gubernur Zaini Abdullah membentuk BP2A yang dipimpin Mirza Ismail, mantan kombatan GAM yang juga mantan Bupati Pidie.

Dalam penyusunan anggaran 2013 lalu, BP2A berharap agar lembaga itu mendapat anggaran sekitar Rp 100 miliar. Tidak jelas untuk apa. Namun, Ketua Bappeda Aceh Prof Ir Abubakar Karim MS menolaknya dengan alasan BP2A tidak layak mengajukan anggaran sendiri mengingat statusnya bukan SKPA. Jika dipaksakan, Abubakar khawatir masalahnya berujung pada persoalan hukum. Sebab, merujuk pada Permendagri No.39 Tahun 2012 sebagai perubahan dari Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Dana Hibah dan Bantuan Sosial, menyebutkan bahwa dana hibah dari pemda maksimal hanya bisa Rp 100 juta.

 Hanya akal-akalan
Polemik ini semakin runyam, sebab Gubernur Aceh justru menerbitkan Pergub No.93 Tahun 2012 tentang Belanja Hibah dan Bantuan Sosial, yang bertentangan dengan Permendagri tersebut. Dalam pergub ini, Gubernur Aceh menegaskan kalau dana hibah di atas Rp 100 juta bisa diberikan ke beberapa lembaga tertentu, di antaranya kepada KPA, BRA, Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh dan kepada Pramuka. Kontroversi ini mencuat. Para aktivis LSM dan lembaga pemantau korupsi meyakini kalau Pergub ini hanyalah akal-akalan untuk memindahkan uang rakyat ke lembaga-lembaga yang dikelola orang-orang dekat penguasa.

Mendagri pun tegas menolak putusan tersebut. Terbukti, pada evaluasi APBA 2013, Mendagri mencoret anggaran Rp 120 miliar yang diberikan kepada KPA. Belakangan, Pemerintah Aceh mengalihkan dana itu ke program Bantuan Keuangan Pemumakmue Gampong (BKPG). Jadi, pengalihan dana ABPA 2013 sebesar Rp 120 miliar ke program BKPG itu bukanlah atas jasa KPA, melainkan karena kejelian Mendagri dan sikap kritis masyarakat sipil Aceh yang aktif memantau alokasi dana pembangunan di daerah ini. Jika tidak, uang itu pasti dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok.

Hal yang sama juga berlaku untuk BP2A. Dana miliaran yang dimohonkan Pemerintah Aceh untuk lembaga ini pada 2013, semuanya dicoret Mendagri. Menurut aturan yang berlaku, BP2A hanya bisa menerima dana hibah maksimal sebesar Rp 100 juta. Keputusan inilah yang membuat para pengurus BP2A kelimpungan. Dalam sebuah rapat di pendopo yang dihadiri Gubernur dan Kepala Bappeda Aceh, para pengurus BP2A ngotot meminta anggaran Rp 100 miliar. Gubernur sempat kehabisan akal mencari celah guna memenuhi permintaan itu.

Akhirnya yang menjadi tumbal adalah Dinas Sosial Aceh, yang pada tahun anggaran 2013 lalu mendapat alokasi anggaran baru sebesar Rp 70 miliar untuk program sosial, yang sesungguhnya diperuntukkan bagi operasional BP2A. Dengan kata lain, nama Dinas Sosial Aceh hanya dicatut, sedangkan penguasa dana itu sesungguhnya BP2A. Dinas Sosial pula yang harus mempertanggungjawabkan anggaran tersebut. Ketidakleluasaan menggunakan anggaran rupanya membuat petinggi BP2A tidak merasa nyaman. Lantas dicari akal supaya bisa membuat BP2A menjadi bagian dari SKPA agar lembaga itu dapat mengelola anggaran sendiri.

Caranya, tentu harus ada qanun yang menegaskan tentang keberadaan BP2A. Tanpa banyak ribut-ribut, upaya penyiapan Raqan BP2A terus disusun. Pemerintah Aceh, DPRA yang dimotori Partai Aceh (PA), serta tim BP2A terus bekerja menyiapkan raqan tersebut. Ajaib, hanya dua bulan, rancangan qanun sudah jadi. Bandingkan dengan qanun KKR yang membutuhkan waktu empat tahun. Atau qanun RTWR yang bahkan sampai lima tahun. Sejak akhir tahun lalu, pembahasan demi pembahasan rancangan qanun BP2A sudah pula dilakukan secara tertutup. Beberapa tim dari Dinas Sosial Aceh turut memberi masukan dalam penyusunan qanun itu.

Keterlibatan Dinas Sosial Aceh bukanlah gambaran bahwa mereka setuju kehadiran BP2A, tapi semata-mata agar mereka bebas dari tekanan batin. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini Dinas Sosial Aceh kerap mengalami tekanan dari orang-orang tertentu yang mengklaim bekerja di lembaga perdamaian bentukan Pemerintah Aceh. Seolah-olah posisi Dinas Sosial Aceh berada di bawah lembaga tersebut. Bisa dipahami, sebab orang-orang yang duduk di lembaga klaim perdamaian itu dikenal sangat dekat dengan Gubernur Aceh.

Jika nanti BP2A menjadi SKPA, maka Dinas Sosial akan terbebas dari tekanan, sebab pertanggungjawaban anggaran akan ada di tangan BP2A sendiri. Tidak lagi di Dinas Sosial seperti yang berlaku saat ini. Itu sebabnya penyusunan draf qanun BP2A dipacu agar cepat selesai. Rencana semula raqan ini disahkan DPRA pada Desember 2013 lalu, tapi meleset. Agar tidak terlalu lama, DPRA berencana untuk pengesahan qanun BP2A pada awal 2014 ini. Anehnya, belum lagi qanun disahkan, Pemerintah Aceh dan DPRA telah mengalokasikan dana Rp 80 miliar kepada BP2A. Bukankah ini muslihat berjamaah? Lembaga belum ada, tapi anggarannya sudah diplot.  

Bandingkan dengan qanun KKR yang sudah disah di pengujung 2013 lalu, tapi untuk 2014 anggarannya sama sekali belum ada. Padahal dukungan untuk kerja KKR Aceh harusnya mendapat perhatian dari Pemerintah Aceh karena hal itu menyangkut nasib ratusan ribu korban konflik. Karena itulah, langkah Mendagri yang mencoret alokasi anggaran Rp 80 miliar untuk BP2A, pantas kita dukung dan kita puji. Tidak hanya itu, Mendagri juga lagi-lagi mencoret dana hibah Rp 10 miliar yang dialokasikan untuk KPA pada 2014 ini.  

 Sangat ngotot
Pemerintah Aceh dan DPRA sepertinya sangat ngotot mengucurkan dana untuk KPA dan BP2A. Jelas saja langkah ini tidak bijaksana mengingat tingkat kebutuhan rakyat masih sangat banyak. Perlu dicatat, sampai saat ini Aceh masih merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan terbesar kelima di Indonesia. Sampai tahun lalu, angka kemiskinan Aceh berada di kisaran 18,58%. Jauh di atas kemiskinan nasional yang berkisar 10%. Padahal anggaran pembangunan Aceh sangat fantastis. Untuk APBA 2014 ini, nilainya mencapai Rp 13,3 triliun. Belum lagi dana Otsus 2014 yang besarnya Rp 8,1 trilun.

Bandingkan dengan APBD Sumatera Utara (Sumut) yang hanya Rp 7-8 triliun, itu pun tanpa embel-embel Otsus. Padahal jumlah penduduk Sumut tiga kali lebih banyak dari penduduk Aceh. Dengan anggaran di atas Rp 17 triliun pertahun, mestinya pembangunan di daerah ini bergerak cepat. Tingkat kemiskinan seharusnya bisa digerus hingga 3% per tahun. Tapi yang terjadi, jauh panggang dari api. Untuk 2013 saja, dengan anggaran lebih dari Rp 12,39 triliun dan dana Otsus Rp 6,2 triliun, menurut data BPS, tingkat kemiskinan Aceh hanya turun tidak sampai 1%.

Itu sebabnya, upaya mendorong peningkatan kinerja Pemerintah Aceh perlu kita lakukan. Masyarakat mesti kritis agar Pemerintah Aceh fokus pada peningkatan program-program pemberantasan kemiskinan, bukan mendanai lembaga yang tidak jelas keberpihakannya kepada rakyat. Karena itu, sudah sepantasnya BP2A dihapus. Jika ingin memperkuat perdamaian, sebaiknya penguatannya menjadi tanggung jawab seluruh SKPA di lingkup Pemerintahan Aceh.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved