Opini
Fenomena Raskin
PEMERINTAH telah membuat kebijakan untuk membantu rumah tangga miskin dalam penyediaan pangan pokok
Oleh Rita Khathir
PEMERINTAH telah membuat kebijakan untuk membantu rumah tangga miskin dalam penyediaan pangan pokok (beras). Penyaluran beras untuk rumah tangga miskin (raskin) telah dimulai sejak krisis moneter 1998 dengan nama program operasi pasar khusus (OPK) yang kemudian berubah nama menjadi Program Raskin pada 2002. Tujuan program ini adalah untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga miskin, di mana kriteria kemiskinannya ditentukan dari proses partisipasi penuh dalam musyawarah desa/kelurahan.
Raskin disalurkan melalui Perum Bulog dengan melibatkan pertanggungjawaban banyak pihak meliputi Tim Koordinasi Raskin Pusat, Tim Koordinasi Raskin Provinsi, Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota, Tim Koordinasi Raskin Kecamatan, Satker Raskin (Gudang), dan Pelaksana Raskin tingkat Desa atau Kelurahan (dalam hal ini kepala desa).
Penyaluran raskin didasarkan pada Surat Perintah Alokasi (SPA) dari pemerintah kabupaten/kota kepada Perum Bulog berdasarkan pagunya per kecamatan. Kemudian, Perum Bulog mengeluarkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) kepada Gudang untuk mengeluarkan sejumlah beras yang akan didistribusikan kepada titik distribusi. Pelaksana distribusi raskin dapat dilakukan oleh kelompok kerja (Pokja), warung desa (Wardes), ataupun kelompok masyarakat (Pokmas).
Sasaran raskin
Raskin direalisasikan dengan harga tebus Rp 1.000 per kg sampai 2007, dan naik menjadi Rp 1.600 per kg pada 2008. Sasaran raskin 2012 dilacak dengan hasil pendataan perlindungan sosial 2011 BPS (PPLS-11), di mana kemudian alokasi raskin diperuntukkan bagi 17,48 juta rumah tangga miskin yakni 15 kg per rumah tangga per bulan selama satu tahun penuh. Terakhir, pada 2012, sistem pendataan keluarga miskin telah dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), di mana tim ini diyakini dapat meningkatkan keberhasilan Program Raskin.
Tanggung jawab Negara yang dimanifestasikan lewat Program Raskin ini dinilai berhasil jika indikatornya tercapai yaitu 6 tepat: (1) tepat sasaran; (2) tepat jumlah; (3) tepat harga; (4) tepat waktu; (5) tepat administrasi, dan; (6) tepat kualitas.
Program ini sangat sensitif karena terkait dengan pangan pokok masyarakat yang paling utama. Beras (dalam hal ini beras putih) adalah makanan utama 95% penduduk Indonesia yang mempunyai rekor konsumsi beras per kapita tertinggi dibandingkan dengan penduduk Negara Asia lainnya (113,7 kg/tahun), dimana konsumsi per kapita beras orang Malaysia 80 kg/tahun, orang Thailand 70 kg/tahun, dan orang Jepang 58 kg/tahun.
Sesuai dengan Pedoman Umum Raskin 2012, kepala gudang bertanggung jawab untuk memastikan kualitas beras sebelum masuk dan pada saat dikeluarkan dari gudang untuk diserahkan kepada Satker Raskin (Bab 4, Butir 4c). Pada lapisan kedua, Tim Koordinasi Raskin Kecamatan juga berkewajiban memeriksa kualitas dan kuantitas beras yang diserahkan oleh satker di titik distribusi (Bab 4, Butir 4e).
Kontrol kualitas berlapis ini diterapkan untuk menghindari beredarnya beras yang tidak layak dikonsumsikan. Apabila dalam pendistribusiannya ditemui raskin yang tidak berkualitas maka masyarakat berhak untuk menolak beras yang tidak layak makan tersebut dan bahkan berhak pula untuk menuntut pihak yang menyebabkan kerugian tersebut (Bab 8).
Apabila mekanisme kualiti kontrol di atas dijalankan dengan benar, semestinya banjir keluhan dari masyarakat terhadap tidak adanya beras atau beras yang busuk tidak terjadi. Menteri Pertanian telah pun meminta kepala daerah untuk memastikan kualitas beras “Cek kualitas beras sebelum dibagikan” (Liputan6.com, 29/1/2013).
Kualitas beras yang baik harus didukung oleh sistem penggudangan yang baik. Sebab selama penyimpanan dapat timbul berbagai kerusakan yang dapat dipicu oleh banyak faktor, misalnya gangguan hama seperti kutu dan tikus, serangan jamur apabila ruang penyimpanan begitu lembab (basah), dan kekeringan apabila suhu penyimpanan terlalu tinggi. Kerusakan yang terjadi dapat berbentuk fisik maupun kimia, misalnya perubahan warna, perubahan nilai gizi, perubahan bau, dan perubahan rasa setelah dimasak.
Beras sama halnya dengan hasil pertanian yang lain masih melakukan kegiatan respirasi (pernafasan) selama penyimpanan, sehingga dengan sendirinya memicu kenaikan suhu pada tumpukan beras. Pada proses respirasi molekul glukosa yang bercampur dengan oksigen akan berubah menjadi molekul air, karbondioksida dan sejumlah panas (energi).
Menurut Teter (1984), panas yang dihasilkan dari proses respirasi ketika menghasilkan 1 kg air adalah sebesar 26.100 kJ, sedangkan panas yang dibutuhkan untuk menguapkan 1 kg air cukup sebesar 2.400 kJ. Dengan kata lain, proses respirasi ini menghasilkan panas yang jumlahnya 10,9 kali lipat dari besar panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air.
Syarat mutu gudang penyimpanan dituangkan dalam SNI 7331 tahun 2007, di mana sebuah gudang diperuntukkan untuk hasil-hasil pertanian yang dapat disimpan dalam jangka waktu minimal 3 bulan dan bahan disimpan dengan sistem pengarungan. Kepala gudang Bulog Aceh Besar menyatakan bahwa gudang Bulog hanya dapat menyimpan beras maksimal selama 6 bulan. Penyimpanan di atas masa 6 bulan akan berdampak kepada berbagai gejala kerusakan mutu beras.
Kurang strategis
Beberapa waktu yang lalu, media memberitakan tentang inisiatif pemerintah daerah setempat untuk menggratiskan raskin dan menyalurkannya secara lebih cepat. Namun terkait dengan belum turunnya anggaran maka kegiatan ini hanya dapat diwujudkan melalui proses utang piutang dengan pihak Bulog. Saya menilai bahwa kebijakan tersebut kurang strategis dan mengandung risiko yang besar bagi kedua belah pihak.