Opini

Aceh ‘Tan Yum Le’

MEMBACA berita “Tak Ditanggapi Menteri, Gubernur Surati Presiden” terkait pengelolaan blok Minyak dan Gas

Editor: bakri

Oleh Sahari Ayah Gani

MEMBACA berita “Tak Ditanggapi Menteri, Gubernur Surati Presiden” terkait pengelolaan blok Minyak dan Gas (Migas) Pase (Serambi, 30/1/2014) miris rasanya. Gubernur Zaini Abdullah mengaku telah beberapa kali menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), namun tak kunjung ditanggapi Menteri ESDM Jero Wacik.

Tindakan peukabeh Aceh model ini sebenarnya bukan yang pertama. Beberapa waktu lalu, Ketua DPRA Aceh Hasbi Abdullah dalam dialog di TVRI Jakarta, pun mengungkapkan sikap Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sering menghindar dari rapat-rapat dengan delegasi pemerintah Aceh, terkait pembahasan pengalihan wewenang pertanahan kepada Aceh sesuai amanat MOU Helsinki. Sikap arogansi petinggi pusat itu tentu membuat kita orang Aceh prihatin. Tindakan nir etika politik tersebut sangat tidak pantas ilakukan terhadap sesama sejawat pejabat negara.

Dari perspektif administrasi negara, status politik seorang gubernur tidak lebih rendah dari menteri keduanya notabene adalah juga pembantu presiden. Posisi gubernur sesuai prinsip dan asas dekonsentrasi dan medebewind (tugas perbantuan) sebagai wakil pusat (presiden) di daerah. Bahkan legitimasi politik gubernur sebenarnya lebih kuat dari Menteri yang diangkat Presiden. Sedangkan jabatan gubernur merupakan hasil proses politik dari sistem demokrasi (Pilkada) yang dipilih langsung oleh rakyat.

Terdapat satu kesimpulan hipotetis yang dapat ditarik dari kasus di atas, yakni bobot politik Aceh vis a vis pusat pasca MOU Helsinki mengalami degradasi serius. Nilai kurs politik Aceh di mata pusat sudah didevaluasi, sehingga tidak lagi memiliki nilai jual. Artinya, Aceh hari ini di mata pusat bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya alias tan yum le (tak ada harga lagi-ed.). Harkat, martabat, dan marwah Aceh sekarang ka jiseumpom (sudah ditinggalkan-ed.) dan jigidong-gidong (diinjak-injak-ed.). Aceh kini bukanlah Aceh yang dulu lagi yang disegani, dihormati yang hak-hak ekonomi dan politiknya wajib diakomodasi pusat.

 Penyebab ‘tan yum’
Jika dikritisi dengan seksama sabab-musabab tan yum berpangkal pada pada lima faktor utama. Pertama, konfigurasi politik horizontal Aceh setelah MoU Helsinki sudah terburai dari ikatan ukhuwah keacehan. Pada masa sebelum MoU Helsinki berproses kondusif dalam mekanisme konvergensi dan sentripetal atau sapeu pakat. Namun kini berubah ekstrem dalam pola divergensi dan sentrifugal atau laen keunira. Ini adalah buah dari budaya politik jumud, hedonis dan materialistis dari elite irasional dan banal.

Pembelahan politik internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam dua kubu politik yang berseberangan secara frontal dan konfrontasional, antara Partai Aceh (PA) vs Partai Nasional Aceh (PNA) manifestasi fenomena di atas. Kita orang Aceh biasa yang netral dan non-partisan, kini dengan mata nanar penuh kesedihan menyaksikan akrobat politik meusoehsoeh sabe keudroe-droe. Padahal keduanya saudara kandung yang lahir dari rahim ideologis perjuangan yang sama.

Mestinya perseteruan politik tersebut diselesaikan dalam bingkai etika demokrasi melalui mekanisme pemilu. Menang pemilu dengan cara-cara intimidasi, teror dan pemaksaan sangat bertentangan dengan nilai-nilai tamadun Islam yang tunasnya sedang merekah di nanggroe Aceh nyoe.

Ekses rivalitas dua kubu politik lokal itu, menjadikan arena politik Aceh kini terbuka lebar bagi infiltrasi dan intervensi kekuatan luar yang akan mendestabilisasi tatanan politik horizontal Aceh. Semakin mengkristal dengan terbangunnya aliansi partai lokal dan beberapa partai nasional dalam pola patron-clan adalah salah satunya. Sehingga identitas independensi politik Aceh telah tergadaikan dan terkooptasi dalam desain skenario besar kekuatan luar yang akan meluluh-lantakkan Aceh.

Kedua, peran minimalis dari elit-elit politik wakil Aceh di pusat seperti anggota DPR dan DPD dalam melobi pusat. Bisa dihitung sebelah jari yang aktif menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi Aceh terkait implementasi beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Peraturan Presiden (Perpres) turunan MoU Helsinki yang kini terus digantung Jakarta. Sisanya akhir-akhir ini saja, jelang pemilu tampak sibuk mondar mandir melakukan berbagai temu politik dengan kekuatan-kekuatan politik lokal di daerah pemilihannya.

Ketiga, minimnya suara dayah dalam meyuarakan tuntutan kepada pusat untuk penuntasan butir-butir damai MoU Helsinki. Sebagai kekuatan politik utama yang berbasis massa besar di akar rumput. Semestinya dayah turut berperan aktif mengingatkan SBY dan jajaran menterinya yang punya urusan dengan Aceh, segera menunaikan ‘utang politik’ kepada rakyat Aceh. Suara ulama memiliki efek kharisma politik yang beresonansi tinggi yang mustahil diabaikan pusat. Apalagi kesejarahan Aceh mencatat peran sentral ulama dalam perjuangan heroik rakyat Aceh dimasa perang kolonial maupun diera kemerdekaan. Sudah waktunya kalangan dayah lebih meluaskan spektrum perjuangannya. Janganlah semua energi positif kekuatan dayah diforsir habis sebatas isu-isu transendental uhkrawi semata. Memperjuangkan aspirasi ekonomi dan politik Aceh adalah juga kerja-kerja ibadah muamalah yang akan menyejahterakan ureung Aceh keseluruhan secara ekonomi, maupun sosial, tentu saja juga termasuk warga dayah sendiri.

Keempat, kalangan legislatif Aceh sebagai institusi demokrasi yang mewakili rakyat. Sudah saatnya memanfaat segenap potensi besar berbagai komponen kekuatan politik lokal dari kalangan dayah, masyarakat sipil, serta akademisi perguruan tinggi. Sehingga lobi-lobi politik dengan pemerintah RI akan lebih representatif, kredibel dan berhasil guna.

Kelima, pemerintah Aceh seperti menderita amnesia, lupa pada peran vital pihak internasional dalam mengakhiri konflik vertikal Aceh dengan Indonesia. Selama ini, pembicaraan Aceh dengan RI sama sekali tidak lagi melibatkan Martti Ahtisaari. Padahal karena tekanan mantan Presiden Finlandia inilah Indonesia bersedia duduk bersama para pimpinan GAM di meja perundingan, yang kemudian menghasilkan MoU damai Helsinki pada 2005.

 Koalisi sinergis
Belajar dari keberhasilan perjuangan politik dunia yang monumental seperti revolusi Prancis, Rusia, Cina dan terakhir Arab Spring, adalah karena terbangunnya aliansi strategis dan koalisi sinergis yang memobilisasi berbagai elemen kekuatan politik utama yang ada di masyarakat. Metodologi ini yang hari ini belum ditiru dan diadopsi Aceh.

Abai dan tidak hirau pada lima langkah progresif di atas, maka  slogan historis tersohor Aceh masa lampau, “tipu Aceh” yakni kecerdikan pejuang Aceh mengecoh tentara Belanda. Hari ini slogan itu harus dibaca secara terbalik “Aceh ditipu”. Nah!

* Sahari Ayah Gani, Dosen Tamu jurusan Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: ayieganissy@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved