Opini
Demokrasi ‘Sakit’
APA yang menimpa Juwaini (35), Ketua Dewan Pimpinan Kecamatan Partai Nasional Aceh (DPK PNA) Kutamakmur
Oleh Azwir Nazar
APA yang menimpa Juwaini (35), Ketua Dewan Pimpinan Kecamatan Partai Nasional Aceh (DPK PNA) Kutamakmur, Aceh Utara yang tewas setelah dianiaya dua pria bersepeda motor di kawasan Desa Lam Kuta sangat memilukan. Kekerasan politik kembali terjadi di Aceh secara terang benderang. Siapa pun pelaku dan motifnya mesti diusut tuntas demi kenyamanan dan keberlangsungan damai. Berita terbaru juga menimpa Posko pemenangan pemilu milik Zubir HT, calon legislatif (caleg) Partai Nasional Demokrat (NasDem) Aceh Utara, di Desa Kunye Mule, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.
Dua pria bersebo (penutup wajah) yang menggunakan senjata api (senpi) laras panjang, Minggu (16/2) sekitar pukul 04.00 WIB, memberondong posko pemenangan pemilu milik Zubir HT dan pria tersebut juga menganiaya dua kader Partai Nasdem lainnya di posko itu (Serambi, 16/2/2014).
Aksi kekerasan meningkat menjelang pemilu yang akan digelar pada 9 April mendatang. Bila kita teliti dengan seksama hal ini sama persis dengan situasi Aceh menjelang Pemilu 2009 lalu. Terjadi peningkatan eskalasi kekerasan menjelang 3 bulan pemilu. Berdasarkan catatan Kontras saat itu, ada 29 kasus kekerasan selama Pemilu 2009.
Kasus-kasus itu terjadi periode Januari-Mei 2009, berupa penyiksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Misalnya, Januari, terjadi pelemparan granat terhadap Ayah Banta kader Partai Aceh (PA), Februari terjadi pembunuhan terhadap M Nur dan Abu Karim, serta pelemparan granat, pembakaran dan perusakan baliho kandidat.
Kita juga masih ingat, pada 28 Maret 2009 Presiden SBY berkunjung dan berkampanye di Aceh. Seketika itu keadaan Aceh berangsur baik dan aman. PA dan Partai Demokrat (PD) lalu menjadi pemenang pemilu. PA menguasai Aceh dengan menguasai 33 dari 69 kursi parlemen Aceh. Sementara PD menang sampai 94 persen di Provinsi paling barat Nusantara ini.
Situasi Aceh saat itu seperti sengaja diciptakan untuk ‘menghangatkan’ suhu politik menjelang pemilu. Lalu membangun ‘deal’ atau kompromi politik antarpihak. Sebab, aksi-aksi kekerasan, penembakan, pembakaran kantor marak terjadi di Aceh yang mayoritas menimpa kader, simpatisan dan atribut Partai Aceh. Pertanyaannya, akankah kekerasan yang selama ini marak terjadi sengaja diciptakan pihak tertentu untuk menghangatkan (lagi) suhu politik. Kemudian membangun “perselingkuhan” dan deal? Saya melihat ini seperti sejarah yang berulang. Nasib partai lokal, terutama Partai Nasional Aceh (PNA) tidak akan jauh seperti yang menimpa Partai SIRA dan parlok lain pada Pemilu 2009.
‘Defective democracy’
Meski tidak seseksi dulu, Aceh sebagai eksperimen pasar politik pascakonflik memang menarik untuk diteliti. Terutama memasuki tahun pemilu 2014. Demokrasi defektif atau demokrasi yang rusak adalah demokrasi di mana rezim parsial tidak lagi saling terkait, logika demokrasi konstitusional menjadi terganggu (Sugeng, 2010).
Kalau salah satu dari rezim parsial dari yang mengakar rusak, sehingga mengubah bangunan logika dan demokrasi konstitusional, maka kita tidak dapat lagi mengatakan demokrasi mengakar yang tidak tersentuh. Justru kita akan menghadapi tipe tertentu dari demokrasi yang rusak, yang besarnya bergantung dari demokrasi rezim parsial yang mengalami kerusakan itu.
Sebagai daerah bekas konflik, maka Aceh sebagai pasar politik yang terdistorsi dapat saja terjadi. Di mana budaya kekerasan bisa timbul dan dapat merusak demokrasi. Transisi demokrasi Aceh dari konflik ke damai adalah sesuatu yang unik. Perdamaian yang tercipta memberi ruang besar untuk para pihak yang bertikai untuk terlibat dalam proses politik dan demokrasi.
Penyelesaian konflik Aceh sejauh ini dianggap berhasil dan merefleksikan bahwa perdamaian dan demokrasi merupakan sesuatu kesatuan dalam menyelesaikan konflik. Namun di Aceh masih terjadi ‘defektif demokrasi”. Hubungan perdamaian dan demokrasi di wilayah konflik menghasilkan kelompok yang merasa superior atas kelompok lain.
Umumnya para ‘pejuang’ merasa paling berhak atas perdamaian dan menguasai pemerintahan, serta ‘wajib’ hukumnya memenangkan pemilu. Maka kekerasan dan teror menjadi sesuatu yang rentan dan lumrah. Sebab, konflik di Aceh bukanlah konflik etnis atau konflik agama. Maka perselisihan justru terjadi sesama orang Aceh yang merasa sebagai “warga kelas 1” dengan masyarakat biasa yang tidak ‘naik gunung’ berjuang.
Defective demokrasi ini bukan saja menempatkan Aceh sebagai pasar politk yang terdistorsi, tapi juga mempengaruhi kualitas demokrasi yang sedang kita bangun pascadamai. Masyarakat seringkali menjadi sasaran kekerasan dan ancaman pihak atau kelompok tertentu terutama dalam hal menentukan pilihan politik dalam pemilihan umum atau pilkada.
Demokrasi seharusnya memberi ruang yang besar bagi seluruh masyarakat untuk ikut serta menyatakan aspirasi dan pendapat secara bebas sesuai hati nurani. Aktor politik maupun politisi juga dituntut memberikan pendidikan politik untuk mencerdaskan masyarakat dengan menawarkan program, kebijakan maupun visi yang membangun dan dapat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Menghargai perbedaan
Sesuai dengan prinsip-prinsip universal dari demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat dan kebebasan, rakyat harus diposisikan sebagai pemilik kedaulatan dan electorate dalam pemilu maupun pilkada. Karena suara dan pilihan rakyatlah mereka menjadi anggota dewan maupun gubernur atau bupati/wali kota.