Opini
Membangun Aceh dengan ‘Volkgeist’
SETIAP manusia dan bahasa memiliki asal-usulnya, dan setiap bangsa juga mempunyai aturan hidup (hukum)
Oleh Yusuf Al-Qardhawy
SETIAP manusia dan bahasa memiliki asal-usulnya, dan setiap bangsa juga mempunyai aturan hidup (hukum) dan norma yang menjadi batasan yang seharusnya dilakukan (das sollen). Hukum yang baik bagi sebuah bangsa adalah yang sesuai dengan jiwa bangsanya agar hukum tadi dapat berjalan sesuai paradigma bangsa itu. Bangsa bukanlah satu etnis, bangsa termanifestasi oleh beberapa suku dan etnis yang memiliki pandangan hidup yang sama (the same way of life).
Menurut Ernest Renan, bangsa (nation) adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual, dan suatu solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan datang. Fredrich Hertz dalam bukunya Nationality in History and Politics mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai empat unsur utama, yaitu: Pertama, keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas;
Kedua, keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negerinya; Ketiga, keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualisme, keaslian, atau kekhasan, dan; Keempat, keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam mengejar kehormatan, pengaruh, dan prestise (saepudinonline.wordpress.com).
Negara Indonesia yang memiliki ribuan suku bangsa, etnis, budaya, dan bahasa sangat sulit untuk memanifestasikan keinginan negara secara universal kecuali apabila mampu menyokong pendidikan masyarakat pada level tinggi dan menancapkan idiologi spritual. Jika tidak, sulit menerapkan aturan negara yang universal itu. Bukan hanya itu, keinginan negara untuk menjaga unifikasi bangsa, justru yang terjadi disintegrasi. Suatu bangsa yang ideal adalah yang tidak mendistorsi norma yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan yang bersumber dari nilai transendental.
Hubungan organik
Seorang penganut paham di atas adalah Friedrich Carl Von Savigny yang mencoba menawarkan teorinya yang terkenal dengan teori Jiwa rakyat atau Volkgeist. Teori ini pada awalnya digagas oleh Gustav Hugo (1764-1861) kemudian dikembangkan oleh Von Savigny. Volkgeist menurut Von Savigny (1779-1861) merupakan hukum kehidupan yang sejati dalam masyarakat yang berperadaban karena hukum dan karakter bangsa terdapat hubungan organik yang tidak memerlukan kesibukan serius manusia untuk merumuskannya karena ia terdapat dalam kehidupan nyata suatu bangsa (Bennard L Tanya, dkk, 2010:103).
Volkgeist adalah aturan hidup dalam masyarakat yang tidak statis dan dekaden telah ada sejak lama sebagai mozaik yang telah terkonstruksi dari proses sejarah dan berproses secara historis pada sebuah bangsa. Itu sebabnya dalam landasan pembentukan hukum sebuah negara tidak pernah menafikan norma hukum yang berlandaskan filosofis dan sosiologis. Korelasi keduanya yang melahirkan volkgeist yang tidak akan pernah hilang kecuali bangsa tersebut ikut hilang/musnah.
Kehebatan suatu bangsa dapat dicapai apabila bangsa tersebut mampu mengkomparasi volkgeist dengan nilai transendental sebagai way of life-nya bangsa itu. Dalam hal ini penulis bukan bermaksud menerima seluruh volkgeist dalam perspektif umum. Nominibus dan terminologi volkgeist apabila dilihat secara objektif terdapat sedikit disparitas di antara penganut agama di dunia. Dunia Islam misalnya tidak akan menerima seluruhnya volkgeist ini ketika bertentangan dengan norma agama, kecuali setelah melakukan modifikasi parsial, seperti peusijuek, khanduri blang, dan lain-lain. Namun demikian ada juga bangsa dan agama yang menerima seutuhnya, seperti Hindu, Konghuchu, Buddha, dan sebagian umat Kristiani.
Volkgeist di Aceh
Banyak masyarakat Aceh dalam forum nasional dan internasional sering menyampaikan kehebatan Aceh masa silam khususnya ketika Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, namun sedikit orang paham mengenai perihal apa penyebab pada masa itu Aceh mengalami kegemilang dan kecemerlangan dari segala bidang bahkan menjadi salah satu negara super power dunia. Apabila diteliti adagium Aceh yang sudah populer: Adat bak Poteumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana/Bentara, maka jawaban itu terjawab dalam adagium itu.
Coba perhatikan kata demi kata adagium di atas, adat dan hukum tidak bisa dipisahkan, bahkan adat yang tidak bertentangan dengan syariat bisa menjadi hukum dalam masyarakat, kemudian qanun (undang-undang) dan reusam terintegrasi dalam satu ikatan kalimat, yang berarti sinergitas. Maka, dalam pemerintahan Kerajaan Aceh terkenal juga adagium hukom ngon adat lagee zat ngon sifeuet (hukum dengan adat, seperti zat dengan sifat).
Kedua adagium tersebut sebagai indikator kuat bahwa kejayaan Aceh masa silam karena menjalankan volkgeist dalam sendi-sendi kehidupan kenegaraan. Volkgeist itu adalah syariat Islam dan hukum adat yang dilaksanakan tanpa tebang pilih, bahkan Sultan Iskandar Muda mengeksekusi (rajam) anak kandungnya sendiri karena melanggar volkgeist.
Ulama (Syiah Kuala), umara/kepala daerah (Sultan), legislator (qanun), dan aparat penegak hukum (Laksamana/Bentara) merupakan satu ikatan yang terintegrasi, saling bekerjasama dan saling menghormati demi kemajuan Aceh. Namun kondisi itu tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) misalnya, hanya dijadikan sebagai instrumen dan infrastruktur serta komoditi politik pemerintah saja untuk melegitimasi “ambisi” pragmatisme sesaat. Padahal, untuk memajukan Aceh perlu keterlibatan semua pihak, khususnya yang disebutkan dalam adagium di atas. Sinergitas peran ulama, kepala daerah, tokoh adat, dan aparat penegak hukum dalam membangun Aceh suatu keniscayaan yang perlu dilibatkan secara bersama dan dijaga harmonisasinya.
Aceh dengan volkgeist tidak bisa dipisahkan, ibarat ikan dengan air, apabila dipisahkan, maka konsekwensinya kemajuan, kedamaian, dan kesejahteraan Aceh akan mengalami chaos dan stagnasi. Untuk mengembalikan itu, bukan hanya NATO (No Action Talk Only), tapi aksi nyata perlu segera diwujudkan. Sebagai masyarakat muslim jangan khawatir kerja keras dan cerdas untuk Aceh karena sesuai sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang melakukan sunnah (cara atau metode/kebiasan) yang baik, kemudian diamalkan setelahnya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti sunnah tersebut dengan tidak sediki pun dikurangi dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan/mengajarkan sunnah yang tidak baik kemudian diamalkan oleh orang lain setelahnya, maka ia mendapatkan dosa seperti orang yang mengikutinya dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ibnu Majah).
* Yusuf Al-Qardhawy, SH.I, MH, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh (PB-ISAD Aceh). Email: thebeeislam@ymail.com