Opini
Rebut Kekuasaan, Abaikan Etika!
TULISAN ini tidak bermaksud memotivasi penguasa dan para politisi Aceh untuk berkuasa tanpa etika.
Oleh Amrizal J. Prang
TULISAN ini tidak bermaksud memotivasi penguasa dan para politisi Aceh untuk berkuasa tanpa etika. Namun, tidak lebih daripada mengungkapkan realitas politik Aceh hari ini. Similar dengan adagium power tends to corrupt dan ethics has no placein politics (kekuasaan cenderung korup dan etika tidak ada tempat dalam politik). Di mana, demi kekuasaan tidak lagi mengenal kawan dan lawan, baik dan buruk, halal dan haram. Bahkan, “nyawa rakyat Aceh tidak lebih berharga dari pada kursi dewan, sehingga bisa diinjak di bawah kaki kursi dewan.”
Perilaku politik (politic behavior) para politisi di Aceh, seperti sedang mengamalkan Raison d’Etat-nya Machiavelli dalam bukunya Il Principle (Sang Penguasa). Sebagaimana dideskripsi oleh Franz M Suseno dalam Machiavelli: Guru Benar atau Guru Konyol (1999:47), bahwa demi mencapai tujuan sang penguasa jangan mau dihambat oleh norma-norma moral (etika). Jika perlu, harus bersikap kejam, tidak takut bohong, bersedia membunuh, dan jangan terikat janji atau ikatan utang budi. Seorang penguasa yang bermurah atau berbaik hati tidak akan berdaya. Mempertahankan kekuasaan dengan sarana apapun, termasuk yang tidak bermoral, dan oderint dum metuant (biar mereka benci, asal takut).
Sejurus, denga raison d’etat, filosof Immanuel Kant menyindir bahwa ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah sisi ‘ular’ ketimbang watak ‘merpati’-nya. (Hamengku Buwono; www.setneg.go.id). Fakta inilah, banyak politisi berwatak ular sedang bergentayangan di Aceh. Saban hari rakyat Aceh menyaksikan kekerasan demi kekerasan terus terjadi.
Tirani dan zalim
Meskipun, perilaku pelaku politik di Aceh yang Machiavellisme dan berwatak “ular” semakin menonjol. Namun, sebenarnya bertolak belakang dengan prinsip politik Islam, bahkan perilaku ini adalah wujud kekuasaan tirani dan zalim dan pada saatnya akan jatuh secara tragis. Sebagaimana, diungkapkan oleh Saidina Ali bin Abi Thaleb: “al-mulk yabqa ma’al al-kufr la yabqa ma’a azh-zhulm” (kekuasaan dapat bertahan di atas kekufuran, tetapi tak akan mampu bertahan di atas kezaliman).
Ungkapan, Saidina Ali, tidak sedikit telah memakan korban. Lihat saja, tragisnya kejatuhan penguasa-penguasa negara Islam (Timur Tengah), karena zalim dan tidak adil. Mereka dibunuh dan disiksa oleh pengikut dan rakyat sendiri tanpa dihargai, baik fisik maupun harga diri, seperti Saddam Husain di Irak, Husni Mubarak di Mesir, dan Khadafi di Libya. Begitu juga di Indonesia terhadap Soekarno dan Soeharto. Sementara, kekuasaan di negara non-Islam malah dapat bertahan lama, karena dibangun berdasarkan rakyat dan adil. Misalnya, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan negara non-Islam lainnya. Tentu saja, tidak ada yang menginginkan suatu saat tragedi Timur Tengah terjadi di Aceh.
Sebagaimana, dikatakan John Rawl dalam A Theory of Justice (2011:4:72), keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dan hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Sehingga, satu-satunya ketidakadilan yang bisa dibiarkan hanya ketika butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Ia juga menambahkan, bahwa prinsip keadilan: Pertama, orang mempunyai hak sama atas kebebasan, dan; Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur, demi keuntungan semua orang.
Kekhawatiran Rawl, terhadap keadilan malah terjadi di Aceh. Hegomoni salah satu partai politik (parpol) terhadap parpol lainnya, bukan hanya telah mengabaikan etika politik dan rasa keadilan, bahkan telah melanggar hukum. Terutama, melanggar Pasal 86 ayat (1) UU No.8/2012 tentang Pemilu yang melarang parpol, antara lain: 1) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu; 2) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; 3) mengganggu ketertiban umum; 4) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain; 5) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; 6) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; dan, 7) menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
Ironisnya, pemerintah pusat dan pemerintah Aceh tidak tegas dalam penegakan etika dan hukum. Khususnya, penyelenggara pemilu, baik itu KIP maupun Bawaslu Aceh, serta penegak hukum yang terkesan membiarkan ketidakadilan tersebut. Untuk itu, tidak keliru kalau ada masyarakat yang menggambarkan; yang penting rebut kekuasaan, dan abaikan etika dan moral! Oleh karena itu, masyarakat harus selektif dalam memilih dan memilah, mana parpol yang mempraktikkan raison d’etat atau parpol yang mengedepankan etika politik dan keadilan.
Etika politik
Padahal, dalam berkuasa sudah sepatutnya raison d’etat, ditanggalkan. Bukankah, saat ini dalam berpolitik, etika itu menjadi virtu (keutamaan) dalam mendapat dan mempertahankan kekuasaan? Etika politik dalam pengertian yang luas bukan hanya berbicara bagaimana memperoleh kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu digunakan dengan baik.
Oleh karena itu, Imam Ghazali dalam At-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (terj. 2001:23-63), menyatakan bahwa ada sepuluh pokok keadilan kekuasaan bagi penguasa, yaitu: Pertama, sesungguhnya kekuasaan itu sebagian dari nikmat Allah. Sehingga, jika benar dilaksanakan, maka akan mendapat kebahagian. Sebaliknya, jika zalim, akan mendapat siksa yang pedih; Kedua, senantiasa merindukan dan mendengar petuah ulama dan nasihatnya. Hati-hati dengan ulama su’ (jahat) yang menyukai dunia dan akan memerdayai; Ketiga, jangan merasa puas dengan tidak zalim, tetapi lebih dari itu, mendidik bawahan agar tidak melakukan kezaliman;
Keempat, tidak boleh sombong dan takabur, sehingga dengan sifat ini akan menimbulkan kemarahan, di mana akan membinasakan akal sehat; Kelima, penguasa memiliki rasa empati sebagai rakyat. Sehingga, apa yang tidak baik bagi penguasa maka tidak baik juga bagi rakyat; Keenam, jangan memandang rendah terhadap fakir-miskin dan anak yatim; Ketujuh, tidak berperilaku hedonistik dan konsumtif, tetapi harus bersifat qana’ah; Kedelapan, berperilaku baik dan penuh kasih sayang, bukan sebaliknya bersikap kasar dan cenderung melakukan kekerasan; Kesembilan, memerintah sesuai keinginan dan aspirasi rakyat yang berdasarkan syariat, dan; Kesepuluh, jangan berharap keridhaan manusia melalui cara melanggar hukum syara’.
Akhirnya, baik dan buruknya kekuasaan di Aceh sangat tergantung pada penguasa Aceh hari ini. Pertama, akankah memilih bersikap dan berperilaku sebagaimana raison d’etat-nya Machiavelli, menyiksa, membakar, membunuh, mengabaikan etika, dan zalim untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaan; atau, kedua, mengikuti nasihat Imam Ghazali dan Saidina Ali, memerintah dengan kebaikan dan mendapat dukungan rakyat dan keridhaan Allah. Sehingga, akan bertahan dan dikenang sebagai legenda pemimpin rakyat Aceh. Semoga!
* Amrizal J. Prang, SH., LL.M, Kandidat Doktor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Alumnus Dayah MUDI Mesra Samalanga, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com