Opini
‘Lingkaran Setan’ Listrik Aceh
SETIAP kali musim pemilu dan berganti gubernur selalu ada persoalan klasik Aceh yang tak pernah kelar
Oleh Hanif Sofyan
SETIAP kali musim pemilu dan berganti gubernur selalu ada persoalan klasik Aceh yang tak pernah kelar. Sebagian orang berprasangka kondisi Aceh hari ini hanyalah bagian dari sebuah skenario, ‘pengondisian’, yang menyebabkan Aceh terus terpuruk pada sebuah situasi ketergantungan yang kian kronis. Persoalan listrik hanyalah satu dari sekian banyak ‘lingkaran setan’ kasus yang tak pernah ‘diselesaikan’. Maka mari kita tantang siapa pun yang jadi gubernur dapat mewujudkan mimpi kita, “Aceh punya listrik sendiri”.
Di antara sekian banyak rumitnya persoalan politis Aceh, yang tidak sekadar perseteruan perebutan kursi dewan dan pimpinan Aceh 1, hanco klaha-nya lingkungan, perekonomian yang mengawang dan bersandar ke provinsi tetangga serta konflik yang ‘dipelihara’. Agaknya urusan listrik menjadi bagian yang krusial karena ber-multiplier effect ke denyut nadi perekonomian.
Sebuah komentar di harian serambi awal Maret ini, menarik untuk dicermati dalam suasana byar pet listrik dan hidup mati politik Aceh hari ini sekaligus. Suara rakyat itu menyebut, dengan besarnya dana otsus Aceh, mestinya kita tidak lagi tergantung pada propinsi tetangga dalam urusan listrik yang telah ‘menguasai’ sebagian ekonomi kita hingga hari ini.
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aceh, sebuah LSM bahkan menggugat PLN atas ulahnya memadamkan listrik tak beraturan dengan meminta PLN membayar ganti rugi. Karena dengan perhitungan sederhana jika rata-rata akibat mati listrik per hari sebuah rumah tangga membutuhkan minimal enam batang lilin, Rp 7.000/buah, dalam sebulan harus mengeluarkan dana minimal Rp 210.000 dikalkulasi dengan banyaknya pelanggan listrik yang ada, 951.165 sambungan (PLN, 2011), maka kerugian kasar ditaksir dalam kisaran Rp 200 miliar (Serambi, 14/3/2014).
Apakah gagasan listrik bagi nanggroe ini memang bukan prioritas, atau benar dugaan bahwa ada pengondisian yang menyebabkan listrik Aceh dibiarkan terus bergantung tanpa kejelasan kapan kita akan memiliki pembangkit listrik sendiri. Karena alokasi dana sudah terlanjur diamprahkan untuk proyek dan kepentingan yang lebih instans menghasilkan uang? Dan pengalokasian model begini yang ditengarai menjadi satu lahan penumbuhsubur korupsi di nanggroe syariah kita?
Alternatif energi
Wacana tentang pembangkit listrik dengan berbagai macam alternatif energi telah lama dikumandangkan, hampir sama lamanya dengan nasib kereta api Aceh yang belakangan malah “beralih fungsi” menjadi “odong-odong”. Terakhir kita menggagas panas bumi Seulawah sebagai alternatifnya, setelah sebelumnya kita mengandalkan PLTU Nagan Raya dan Pangkalan, untuk menambah pasokan 400 megawatt yang ada saat ini.
Mungkin terlalu muluk jika kita membicarakan kaitan listrik mandiri dan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di tengah ketidakjelasan nasib listrik kita. Kerja sama yang akan dimulai pada 2015 menjadi momok yang menakutkan jika kita tidak berbenah dan memikirkan perubahan Aceh yang lebih signifikan termasuk urusan listrik tadi. Apa sesungguhnya yang menjadi ganjalan kita tidak bisa memiliki listrik sendiri?
Bahkan selama ini pun tidak ada kesungguhan untuk mendorong listrik Aceh lebih mandiri, kecuali wacana. Yang muncul justru janji-janji lain tentang pembangunan dan Aceh masa depan yang tidak realistis dan membumi. No action talk only, kita hanya bisa omong besar tanpa realisasi apapun kecuali korupsi yang merajalela dan kita bahkan didaulat menjadi propinsi terkorup hingga Rp 10,3 trilliun versi FITRA yang ‘mungkin diragukan kevalidan datanya’ oleh para koruptor itu sendiri (Serambi, 1/3/2014).
Mestinya dalam kasus itu kita tidak berusaha membela diri dengan mencari kesalahan pihak lain atau menutupi aib, namun justru balik menantang, jika berani. Aceh kita bersyariah, masa sih menjadi sarang para koruptor? Jika perlu berlakukan syariah secara kaffah hingga dijalankannya hukum jinayah secara mumpuni, sehingga dapat memastikan korupsi akan pupus di Aceh dan nanggroe kita menjadi zero corruptor province, alias provinsi tanpa korupsi.
Kembali pada persoalan kelistrikan, hampir sama rumitnya membicarakan persoalan mengapa telur harus diimpor dari propinsi tetangga yang tak pernah punya solusi? Tentunya ada yang salah dengan nanggroe kita, bisa sistemnya, para penyelenggaranya; eksekutif, yudikatif yang semestinya membawa gerbong Aceh menuju jalan sirathal mustaqim, bukan dibelokkan oleh kepentingan lima tahunan, yang disusul dengan adu kekuatan untuk pengekalan lima tahun berikutnya, begitu seterusnya dalam setiap kali pesta demokrasi yang keblablasan menjadi pesta ‘democrazy’, karena begitu rentannya konflik di dalamnya.
Dengan majunya para calon anggota legislatif dan calon senator dalam Pemilu 2014 ini, kita mestinya harus jeli melihat, siapa di antara mereka kelak yang berani bilang, saya akan ‘membereskan’ listrik Aceh jika terpilih. Belum lagi bicara menjaga lingkungan dan membenahi tata kelola manajemen pemerintahan menjadi propinsi yang tidak ber-basis korupsi. Tanpa terbebani oleh muatan kepentingan partai yang menjadi payung kendaraan politiknya. Karena sesungguhnya jika dirunut ke dalam visi misi, hampir semua partai mengedepankan janji menyejahterakan rakyat di atas segala kepentingan partainya, meskipun realitasnya hingga hari ini nonsens.
Kandidat peduli listrik
Jika point pertanyaan krusial di atas tak bisa dijawab, maka sebaiknya, rakyat harus makin mewaspadai para calon pimpinan kita ke depan. Bahkan jika mereka tidak memiliki komitmen dan tidak bisa menjelaskan bagaimana rencana masa depan Aceh, setelah habisnya dana otsus triliun rupiah pada 2025, tidak usahlah mencalonkan diri jadi pemimpin rakyat Aceh masa depan. Apalagi jika tagihan janji kita hanya soal listrik, yang kebutuhan dananya tidak seberapa dibanding Rp 650 triliun dana otsus dan bagi hasil migas yang ada.
Rakyat adalah bagian utama pesta demokrasi yang ‘seharusnya’, tidak saja menikmati momentum meriahnya pesta, namun mestinya juga mendapat berkah positif setelah selesainya pesta tersebut. Minimal ada program membumi dan konkret atas janji dan amanah melimpahnya dana otsus. Bahwa pesta yang akan berlangsung bisa memberi harapan dan perubahan sebuah Aceh Baru yang lebih baik, tentang Aceh yang punya listrik sendiri, minimal itu. Karena di luar soal itu ada deretan PR prioritas berikutnya yang menjadi tanggung jawab yang ‘tengah’ diperebutkan oleh para kandidat Pemilu 2014 yang digelar pada 9 April mendatang.
Bagaimana jika tidak? Itu akan menjelaskan kepada kita semua apa sesungguhnya motif para incumbent dan kandidat instant yang bakal duduk di parlemen. Sesederhana ‘mengembalikan’ kembali modal kampanye yang jor-joran, lalu menyusun masterplan masa depannya sendiri untuk tujuh turunan, tapi tidak untuk masa depan Aceh. Buktinya, cek saja track record, jejak pembangunan yang telah dihasilkan lima tahun belakangan, yang masih jauh dari harapan dan membutuhkan banyak koreksi. Terlalu di dorong kepada ‘pertumbuhan’ tapi tidak diupayakan pada ‘pemerataan’ yang menyebabkan banyak ketimpangan.