Opini

‘Buya Tamong Meuraseuki’?

TIDAK tanggung-tanggung, dalam gelaran Aceh Investment Promotion (AIP) I, pemerintah Aceh mengusung gagasan

Editor: bakri

Oleh Hanif Sofyan

TIDAK tanggung-tanggung, dalam gelaran Aceh Investment Promotion (AIP) I, pemerintah Aceh mengusung gagasan “Aceh sebagai Jawara Tujuan Investasi di Indonesia”. Ini sangat menggembirakan sekaligus sangat menantang. Dibutuhkan sebuah visi besar untuk mewujudkannya. Tentu pemerintah Aceh tidak main-main dengan pilihannya kali ini, mengingat berbagai kendala infrastruktur pendukung tumbuhnya iklim investasi masih dalam pengembangan dan membutuhkan prioritas dan penanganan mendesak. Jika tak mau gagasan baru ini menjadi blunder bagi tumbuh kembang investasi di Aceh mendatang.

Buruknya infrastruktur, menurut analis ekonomi A Tony Prasetiantono, sejak lama telah menjadi titik lemah dalam daya saing perekonomian kita. Selain produktifitas tenaga kerja, level pendidikan, birokrasi, dan korupsi yang akut. Ini menjadi catatan yang harus digarisbawahi dan dicermati. Namun dalam konteks Aceh, kita optimis dengan besaran dana otsus dan bagi hasil migas, hingga 2027 yang berjumlah tak kurang dari Rp 650 triliun, menjadi alasan bagi pemerintah Aceh untuk kukuh mewujudkan mimpi besar itu, membangun pondasi pembangunan Aceh yang kokoh. Sehingga impian Aceh sebagai destinasi puncak investasi bukan sebuah utopia dan mimpi yang mustahil.

 ‘Saweu gampong’
Berbicara soal potensi tak perlu diragukan lagi, hanya saja dibutuhkan keseriusan penanganan. Sejak lama Pemerintah bahkan telah membagi Aceh dalam dua zona, pertanian dan industri. Demikian juga langkah maju dengan membangun kemitraan di tiga negara dalam Aceh Growth Triangle-(segitiga pertumbuhan IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) juga sudah dimulai sejak 1991 lampau plus Joint Business Council-nya. Ini merupakan wujud langkah serius pemerintah Aceh menyiapkan landasan Aceh masa depan. Mestinya dengan berbagai capaian tersebut kita berada di depan para pesaing, pun dalam menyambut era Pasar Ekonomi ASEAN (MEA 2015) mendatang. Hanya saja realitasnya memang masih belum serius digarap, namun rintisan IMT-GT menjadi modal penting bagi basis penguatan mewujudkan Aceh leader investasi yang digagas hari ini.

Yang menarik dari pertemuan AIP I ini adalah pernyataan Abdul Latif, Mantan Menteri Tenaga Kerja dan pengusaha nasional asal Aceh, “Kami merasa malu melihat kemajuan Aceh saat ini, jika tidak mau pulang kampung membangun negeri”. Dan upaya menggandeng sebanyak mungkin investor asal Aceh di Medan agar saweu gampong, menjadi berita paling menggembirakan karena bakal menjadi stimulan  terbangunnya visi Aceh sebagai provinsi tujuan para investor.

Gagasan pemerintah Aceh mengusung AIP agar menjadi agenda rutin tahunan merupakan upaya penting. Di samping menumbuhkan iklim investasi di Aceh, juga menumbuhkan semangat kewirausahaan dari kalangan muda potensial.

Dari beberapa kasus dan wacana yang bergulir, masih didera minimnya lapangan kerja setelah kepulangan mereka dari program studi dengan bidang dan displin ilmu yang ternyata tidak link and match dengan serapan pasar tenaga kerja yang ada di Aceh hari ini. Utamanya dalam kaitan pengembangan industri yang sebagian menjadi basis keilmuan para talenta muda profesional ini. Sekaligus ini menjadi solusi mengatasi persoalan kelangkaan lapangan kerja profesional agar tidak menjadi sia-sia kebijakan pemerintah Aceh meningkatkan kapasitas manusia melalui paket kebijakan pendidikan strata tinggi.

Aceh dan Indonesia saat ini sedang mendapat berkah demografi, suatu kondisi dimana tenaga muda potensial lebih besar dari kelompok muda dan usia lanjut. Tentu saja ini berita menggembirakan jika pemerintah dapat mengelolanya dengan baik dan benar. Gagasan pemerintah tentang investasi ini, sekaligus juga menjadi momentum perubahan mindset untuk tidak melulu bergantung pada ketersediaan lapangan kerja di pemerintahan saja.

Dengan tingkat pengangguran pada 2014 per Februari mencapai 147.000 orang dengan tingkat penggangguran terbuka (TPT) 6.75 persen (BPS 2014), terus menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Aceh. Karena terindikasi tumbuhnya iklim usaha di Aceh saat ini lebih mengarah pada pertumbuhan semu sebagai musabab terbukanya lapangan kerja informal. Artinya ada upaya mandiri dari individu-individu untuk survive, bukan karena adanya dukungan optimal dan stimulan yang didorong oleh pemerintah. Minimnya investasi di berbagai bidang masih menyumbang serapan tenaga kerja yang tidak memadai, sementara investasi di bidang tambang dan migas terkendala persaingan mutu tenaga kerja yang tidak cocok dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia. Sehingga persoalan baru justru muncul, seperti penggunaan sistem outsourching dalam pemanfaatan tenaga kerja yang lebih memiliki skill atau keahlian. Buntutnya justru akan menimbulkan persaingan dan kesenjangan.

Sisi ketimpangan ini harus menjadi sorotan dan perhatian yang intens dari pemerintah Aceh hari ini, peningkatan kualitas manusianya, melalui berbagai jenis pendidikan keahlian yang sesuai kebutuhan pasar. Dunia perguruan tinggi diharapkan peran aktifnya dalam menyediakan peluang penting ini. Berbagai realisasi program pemberdayaan ekonomi, kucuran kredit lunak membutuhkan revitalisasi. Tidak saja agar berjalan ideal, namun lebih berdaya guna tidak sekadar menjadi program pragmatis yang lewat begitu saja, dan tidak memiliki daya ungkit yang kuat bagi menguatnya iklim investasi.

Dibutuhkan terobosan-terobosan yang substansial dan mendesak dari pemerintah, tidak sekadar melahirkan program kamuflase untuk menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kepedulian terhadap pembangunan, namun sesungguhnya hanya maksimalisasi dana pembangunan yang project oriented. Tidak sungguh-sungguh menyentuh sisi penguatan manusinya sebagai satu ukuran paling substansional yang harus dibangun oleh pemerintah. Banyak paradoks yang harus dicermati dan menjadi pembelajaran bagi para penanggungjawab pemerintahan dimasa mendatang.

AIP I menjadi momentum penting, apalagi telah ada jaminan keamanan berinvestasi dari Doto Zaini selaku penguasa utama di pemerintahan Aceh. Sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Informasi dan Advokasi Publik Kementerian Luar Negeri, Esti Andayani. Bahkan menurutnya telah dibuktikan oleh empat investor besar yang hadir sebagai narasumber dalam pertemuan AIP perdana yang digelar pemerintah Aceh 21 Mei 2014 kemarin.

 Ekstra hati-hati
Hal lain yang patut digarisbawahi adalah investasi terkait soal tambang dan migas. Dibutuhkan kehati-hatian dan tata kelola yang jeli. Tidak terburu-buru mengejar investor dan menafikan daya dukung lingkungan. Didukung konsep skala prioritas pendanaan pembangunan Aceh hari ini, prioritas pendanaan pembangunan mestinya harus diupayakan pada pemanfaatan dan dukungan dana otsus dan bagi hasil migas secara optimal tidak sekedar maksimalisasi berorientasi pada proses menghabiskan anggaran. Dan memilih investasi di sektor tambang dan migas sebagai alternatif terakhir, ketika seluruh cadangan sektor-sektor lain tidak lagi bisa membiayai pembangunan secara memadai.

Arah pengembangan investasi juga difokuskan pada terbukanya lapangan kerja yang luas, pertambahan tingkat penghasilan dan meningkatnya daya beli masyarakat. Berkaca dari carut marut persoalan lingkungan yang mengatasnamakan pembangunan dengan mendatangkan investor tanpa tata kelola yang jelas. Bahkan kebijakan dan izin dengan mudah dikeluarkan oleh para “raja-raja kecil” pemerintahan di tingkat kabupaten/kota seperti selama ini terjadi justru menjadi blunder bagi upaya kita melestarikan lingkungan sebagai investasi terakhir masa depan Aceh. Tentu kita tidak ingin seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Belum lagi harus berhadapan dengan para broker, yang hanya menjual `ulang’ proyek ke pihak ketiga dengan semena-mena.

Investasi harus didasarkan juga konsekuensi pilihan-pilihan kebijakan kita tentang Aceh Green dan Green Province yang pernah digagas pada pertengahan 2006, delapan tahun silam. Implementasi dan pengawasannya masih membutuhkan keseriusan dari semua pihak, karena kompleksitas masalahnya makin runyam dengan kehadiran para investor baru tapi tidak dimbangi dengan kesiapan kita yang konsisten dan serius. Kita cenderung seuem ek manok dalam menggagas wacana besar, namun minim implementasi. Visi yang tidak jelas akan menjadi blunder bagi tata kelola lingkungan kita, utamanya bagi kelangsungan masa depan hutan, tambang, dan masa depan pembangunan Aceh kita.

Dengan makin menguatnya iklim pasar ekonomi ASEAN, kita telah menyediakan stok potensi hampir di semua lini komoditi, pertanian, perkebunan perikanan, peternakan, bahkan tambang yang menjadi prioritas incaran banyak investor. Sebagai misal, paska dibukanya Pelabuhan Samudera Lampulo yang baru. Pemerintah Aceh kini telah menggandeng para investor dari Sumatera Utara yang berinvestasi pada penyediaan fasilitas sistem pergudangan, cold storage, pabrik es dan pengalengan ikan yang imbasnya makin menguatkan kesiapan  Aceh untuk masuk pada era ekspor impor berbagai jenis komoditi via pelabuhan baru tersebut.

Perkembangan ini menjadi landasan dan persiapan menyambut era pasar bersama ASEAN yang akan dimulai pada 2015 mendatang. Iklim ini sekaligus menantang para investor Aceh sendiri untuk ikut ‘bermain’ tidak hanya menjadi ‘penonton’. Karena negerinya akan di kapling-kapling para investor luar Aceh dan asing dan kita justru menjadi konsumen sejati. Maka sebagaimana hadih maja, buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki. Hidupkan lagi gagasan sejuta saudagar Aceh dan raih peluang.

* Hanif Sofyan, Pegiat Aceh Environmental Justice. Email: acehdigest@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved