Maut Menjemput sebelum Kenduri Khitanan Sang Anak
RUMAH permanen berlantai dua ukuran 4x10 meter yang belum berplaster itu berdiri kokoh di Gampong Rambot Adan

RUMAH permanen berlantai dua ukuran 4x10 meter yang belum berplaster itu berdiri kokoh di Gampong Rambot Adan, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie. Rumah itu adalah milik Almarhum Iskandar, salah seorang korban tewas akibat tenggelam kapal kayu di Pulau Carey, Kuala Langat Selangor, Malaysia, Rabu (18/6) dini hari.
Iskandar adalah satu dari 97 penumpang kapal kayu tujuan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Kapal itu memulai pelayaran dari pantai dekat Distrik Sepang, sebelah selatan ibu kota Kuala Lumpur.
Sekitar pukul 10.30 WIB, Sabtu (21/6), Serambi mengunjungi rumah Almarhum Iskandar. Di rumah yang belum sepenuhnya rampung itu kini tinggal sang istri, Anisah (32) bersama Nuzulul Fikri (11), anak semata wayang mereka.
Rumah Iskandar berlokasi di bibir jalan Beureuenun-Kembang Tanjung atau sekira 14 kilometer arah utara ibu kota Kabupaten Pidie. “Sejak selesai dibangun belum sempat dilihat oleh abang,” ujar Anisah sambil mengusap air mata duka. Anisah bersama anggota keluarga yang lain sedang menunggu kepastian pemulangan jenazah Iskandar bersama korban lainnya.
Menurut penuturan Anisah, terakhir kali ia berkomunikasi melalui HP dengan suaminya pada pukul 19.30 WIB, Selasa 17 Juni 2014. “Abang bilang waktu itu sudah berada di salah satu kebun sawit dan akan dijemput sama kapal pada pukul 11 malam itu,” kata Anisah mengutip pembicaraan dengan suaminya. “Abang sempat janji akan menelepon kembali sebelum naik ke kapal, tapi setelah ditunggu-tunggu ternyata tidak ditelepon. Akhirnya pada Rabu pagi 18 Juni 2014 kami mendapat kabar duka itu,” lanjut Anisah.
Berita duka itu diketahui Anisah dari seorang penumpang asal Jeunieb yang terlepas tangan dengan Iskandar di laut lokasi kapal karam. Sedangkan teman Iskandar yang asal Jeunib tersebut selamat.
Iskandar sudah sejak 1999 merantau ke Malaysia. Terakhir kali pulang sekitar 14 bulan lalu dan selalu melalui jalur resmi dengan menggunakan feri.
“Baru kali ini abang pulang dengan kapal kayu karena ketiadaan biaya. Kalau dengan jalur resmi ongkos pulang sampai Rp 5 juta, tapi dengan kapal kayu cuma setengah,” kata Anisah yang sebelumnya juga pernah merantau ke Malaysia.
Tujuan kepulangan sang suami kali ini, menurut Anisah, selain rindu berkumpul dengan keluarga pada bulan puasa juga ingin membawa ibunya, Hamamah berobat. Tujuan lainnya adalah untuk melaksanakan kenduri khitanan untuk putra mereka , Fikri yang direncanakan selepas Lebaran nanti. Namun, sebelum itu terlaksana, ternyata ajal sudah menjemput sang ayah.
Kisah lain dituturkan Mustafa (40), teman sekaligus kerabat Iskandar. Menurut Mustafa, kebiasaan Iskandar jika pulang kampung menjadi muazin di meunasah. “Suaranya cukup merdu, kami selalu teringat,” kata Mustafa.
Nuzulul Fikri, anak kandung Iskandar menambahkan, sebelum pulang dari Malaysia ia sempat memesan pada ayahnya untuk dibawakan baju timnas Malaysia.
Menurut Fikri, kepulangan ayahnya kali ini sangat dinanti karena ia ingin sekali masuk pesantren di Dayah Alfurqan Bambi ditemani sang ayah. “Saya pesan pada ayah agar dibawakan baju bola timnas Malaysia. Kata ayah sudah dibeli,” ujar Fikri dengan suara tersendat.(aya)