Opini

Memoles Citra Pak Polisi

DUA hal menarik yang patut dicermati saat ini dari institusi kepolisian, yaitu: Pertama, upaya intensif dan serius mendorong kampanye Kepeloporan

Editor: bakri

Oleh Hanif Sofyan

DUA hal menarik yang patut dicermati saat ini dari institusi kepolisian, yaitu: Pertama, upaya intensif dan serius mendorong kampanye Kepeloporan Keselamatan Berlalu Lintas, dan; Kedua, reformasi birokrasi dengan menyediakan ruang layanan publik yang menyentuh langsung masyarakat, di antaranya melalui medium SMS dan broadcast BB khusus pengaduan ke Ditlantas yang nomornya langsung berada di tangan Kapolda Aceh.

Hal ini menarik karena upaya perbaikan citra kepolisian, baik institusi maupun personelnya selalu dinantikan, dan kali ini digagas dari bottom up tidak hanya top down sebagai sebuah langkah paling menarik dari berbagai kebijakan yang ditawarkan kepolisian Aceh hari ini, karena bersifat lebih komunikatif dan substansional. Upaya ini sekaligus ditujukan untuk mengurangi stigma buruk yang selama ini belum lepas dari institusi kepolisian. Tindak koruptif para oknum, transaksi di jalanan dan sikap kurang ramah mereka dalam melayani masyarakat. Ditambah lagi berbagai kasus yang melibatkan “oknum polisi jahat” yang merusak citra kepolisian secara keseluruhan.

Reformasi birokrasi yang dibangun hari ini adalah bentuk optimalisasi dan pendayagunaan fungsi dan peran mereka. Tidak unsich hanya pada tataran peran vital sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, namun juga peran pengayom dan pelayan masyarakat, agar menjadi mitra yang sejajar. Karena kesenjangan pada sisi ini masih mendapat kritik serius dari berbagai kalangan. Padahal polisi juga berasal dari rakyat, yang secara profesional menjalankan wewenang sebagai abdi masyarakat di bidang keamanan dan ketertiban.

Gagasan yang berorientasi pada reformasi birokrasi kepolisian adalah hal yang paling ditunggu-tunggu banyak pihak. Banyak hal yang bisa diterjemahkan dari dua kebijakan penting saat ini yang patut mendapat apresiasi positif. Membangun kepeloporan harus dimulai dari internal institusi kepolisian. Internalisasi nilai-nilai kepeloporan berlalu lintas di kepolisian itu sendiri akan menguatkan basis polisi dalam berinteraksi dengan masyarakat. Mereka menjadi panutan dan contoh baik, yang kemudian ditiru. Sebagaimana diamanatkan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri, yang mengacu pada kebijakan dan program, visi misi Polri, grand strategy Polri 2005-2025, serta renstra Polri 2010-2014.

Memupus stigma negatif polisi sebagai sosok yang menakutkan, bukan pelayan dan pengayom masyarakat. Bahkan ada masyarakat yang menggunakan ‘sosok’ polisi menjadi ‘momok’ untuk menakuti anak-anak. Ketakutan yang muncul karena keberadaan polisi, sesungguhnya juga relatif. Pertama, stigma ‘menakutkan’ itu bisa benar karena adanya oknum polisi nakal yang menjadi blunder bagi citra institusi kepolisian, dan; Kedua, timbulnya ketakutan, bisa jadi karena sesungguhnya ada kesalahan yang memang dilakukan oleh masyarakat, sehingga mereka ‘ketakutan’ kepada petugas polisi, karena ketidak lengkapan surat administrasi, maupun menyalahi aturan berlalu lintas dan maupun atibut kendaraan yang tidak sesuai aturan dan tindak salah lainnya. Jadi stigma itu tidak seratus persen karena faktor polisinya, yang main hakim sendiri di jalanan.

Berbagai persoalan yang mendera masyarakat sesungguhnya, juga karena masih senjangnya informasi tentang perilaku berlalu lintas yang kurang dipahami. Berbagai aturan yang dicanangkan polisi, masih harus diterjemahkan kembali agar mudah dipahami oleh masyarakat. Contoh sederhana tentang pembagian garis median di jalan raya. Hingga saat ini tidak semua orang tahu dengan persis apa sesungguhnya maksud dari sistem kanalisasi atau garis lajur di jalan, kecuali hanya sekadar pembagian jalur bagi laju kendaraan. Padahal lajur paling kanan adalah ‘jalur cepat’ yang idealnya diisi oleh kendaran roda empat yang menempuh jalur dengan kecepatan tinggi. Lajur tengah adalah ‘jalur lambat’ bagi roda empat. Sementara dua lajur disebelah kiri lainnya diperuntukkan bagi pengendara sepeda motor dan paling kiri digunakan bagi kanal lintasan sepeda yang bersisian dengan jalur trotoar bagi pedestrian atau para pejalan kaki. Harapan meningkatnya pemahaman berlalu lintas ini, merupakan satu titik fokus capaian dari kampanye Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas.

Demikian juga halnya perilaku parkir tidak sesuai aturan, maupun penggunaan atribut kendaraan yang tidak sesuai standar, kasus lain yang umum terjadi adalah modifikasi plat nomor dengan ‘bentuk’ yang dilarang, karena berlebihan dan tidak dimaksudkan hanya sekedar untuk membuat plat kendaraan menjadi lebih mudah dilihat. Hal sederhana ini penting diperhatikan, karena ada kaitannya jika terjadi tindak kejahatan dan sehingga para ‘saksi mata’ dapat mengidentifikasi pelaku dengan mudah karena dapat melihat dan mencatat nomor kendaraannya serta melaporkannya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini institusi kepolisian.

 Reformasi birokrasi
Upaya penyediaan media SMS pengaduan menjadi semacam upaya reformasi birokrasi dalam memutus rantai persoalan, secara bottom up bukan top down. Artinya, informasi untuk perbaikan institusi kepolisian dibangun dari informasi langsung masyarakat bukan hanya dari informasi petugas polisi yang bertugas dilapangan. Karena bisa terjadi dis-informasi, karena tidak sinkron antara informasi dan realitas, yang disebabkan karena ‘pastinya’ ada informasi yang ‘disembunyikan’ yang tidak akan menjadi menjadi laporan kepada pihak atasan.

Sistem transparansi pengaduan ini dimaksudkan untuk meminimalisir bahkan memutus siklus itu, sehingga para pimpinan di institusi kepolisian bisa mendapatkan informasi langsung dari masyarakat. Sistem ini juga bisa menjadi media peredam bagi para “polisi nakal” di lapangan, karena melalui jalur SMS, begitu informasi masuk bisa ditindaklanjuti oleh pimpinan. Minimal dalam briefing dapat disampaikan apa saja yang semestinya diperbaiki di institusi kepolisian dari pengaduan yang masuk.

Tentu saja para whistleblower harus dijaga kerahasiaannya jika menyangkut berbagai persoalan yang sensitif, karena intinya untuk memperbaiki kinerja dan citra sekaligus. Sebagai contoh, bagaimana pihak kepolisian dapat mengetahui informasi adanya pungli dalam pengurusan surat kendaraan di Kantor Samsat dan di jalan raya, jika tidak didasarkan pada temuan laporan masyarakat yang menjadi ‘korbannya’. Dan menariknya karena informasi tersebut langsung dipegang petinggi kepolisian, sehingga memungkinkan penanganan yang lebih terarah.

Harapanya masukan dan temuan tadi tidak hanya menjadi konsumsi internal, namun tidak tindak lanjut yang konkret. Hal ini nantinya dapat dibuktikan ketika intensitas berbagai kasus pelanggaran menurun dan tata kelola manajemen pelayanan publik di kepolisian makin minim tindak koruptif, dan masyarakat merasa nyaman karena dukungan pihak kepolisian yang dengan tegas menjadi bagian dari kampanye polisi baik. Sebagai implementasi dari program SMS pengaduan yang saat ini telah dibuka pada nomor 082160022222 dan pin BB 2b6f5fca yang langsung berada di tangan Kapolda Aceh.

Hal lain yang kiranya menjadi bagian dari reformasi di tubuh kepolisian adalah penyebaran informasi menjelang pelaksanaan operasi razia kendaraan. Melalui layanan lalu lintas yang saat ini mobilitasnya makin intensif, informasi melalui corong di setiap pemberhentian lampu lalu lintas, dan maupun melalui media massa. Sebagaimana informasi pelaksanaan Operasi Simpatik 2014, razia kendaraan yang dilangsungkan dari tanggal 19 Mei 2014 hingga 8 Juni 2014 (Serambi, 20/5/2014).

Informasi ini dimaksudkan agar masyarakat tahu kapan razia akan dilakukan, dan dapat mempersiapkan semua kelengkapan surat-surat administrasi kendaraan, lebih tertib berlalu lintas dengan mematuhi aturan tata cara penggunaan kendaraan, prasyarat mengendarai kendaraan baik sendiri maupun dengan tambahan penumpang. Sehingga ketika berada dalam situasi berlaku razia, tidak timbul ‘ketakutan’, ‘kepanikan’ dan dalam beberapa kasus justru menimbulkan kecelakaan dadakan yang semestinya tidak terjadi karena ‘ketakutan’ akibat melanggar aturan berlalu lintas termasuk ketidak lengkapan atribut kendaraan.

Sistem ini untuk menepis anggapan miring, seolah-olah razia sengaja digelar mendadak dengan tujuan mendapatkan pelanggar lalu lintas lebih banyak. Padahal, ukuran kualitas keberhasilan kepolisian bukan pada banyaknya orang yang terjaring razia, tapi justru sebaliknya makin minim dan sedikit kesalahan yang ditemui di jalan raya, merupakan indikasi makin meningkatnya kesadaran masyarakat berlalu lintas. Ini berimplikasi pada keberhasilan kampanye kepeloporan berlalu lintas dan memberi kemudahan pak polisi dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga dapat memikirkan hal lain untuk lebih meningkatkan profesionalitas tugas pihak kepolisian. Dirgahayu Bhayangkara!

* Hanif Sofyan, Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, berdomisili di Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved