Breaking News

Opini

Pecah Kongsi dan Keseimbangan Politik

SECARA dialektis kecintaan militan akan tokoh-tokoh populis alternatif, terlepas dari faktor afiliasi politis pernah menguat di masa awal

Editor: hasyim

Oleh Hanif Sofyan

“Jangan percayakan nasib bangsa pada niat baik satu-dua orang pemimpin. Percayakan nasib bangsa pada sistem yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.” (Nurcholish Madjid)

SECARA dialektis kecintaan militan akan tokoh-tokoh populis alternatif, terlepas dari faktor afiliasi politis pernah menguat di masa awal kehadiran Zikir sebagai kekuatan alternatif baru. Ada kebuntuan personifikasi tokoh di era Orla, Orba dan pascareformasi yang tidak bisa memberikan solusi ketokohan di Aceh. Sehingga kemunculan Zikir menjadi “buah kerinduan”, ketika itu. Tentu ini berangkat dari ekspektasi besar realisasi atas 21 janji politis pilkada. Sejalan waktu realitas menampilkan kontradiksi dari mimpi besar sebuah “Aceh Baru” yang tak terwujud.

Bentukan ketidakpuasan hari ini memunculkan persoalan horizontal antarpihak yang pro dan kontra, yang bisa jadi pada awalnya adalah kelompok pro Zikir. Tentu perubahan keberpihakan ini, tidak semata karena faktor kebencian. Dalam kerangka berpikir kita yang positif dan optimis, dari rakyat dan untuk rakyat, kritik adalah bagian dari kecintaan akan pemimpin dan media keterwakilan suara rakyat yang menuntut perubahan. Sebut satu sisi saja dalam konteks pembangunan, pemerintah yang terlalu memaksakan pertumbuhan pembangunan, namun menafikan pemerataan, merupakan salah satu hal paling substansial dan kritikal yang dikritisi. Ketimpangan ini pararel dengan kondisi mutakhir Aceh saat ini.

Harapan lahirnya kebijakan dan proyeksi pembangunan yang ideal dan diimpikan hari ini, sesungguhnya merupakan representasi dari imajinasi sosial kelas atas, menengah dan bawah sekaligus. Di tataran akar rumput, pilihan kebijakan pemerintahan Zikir diharapkan bisa membangun hakikat perdamaian yang mutlak, minus pertikaian, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Sementara di tingkat menengah-atas, kebijakan pro poor, pembangunan berkelanjutan atas sumber daya alam dan reformasi birokrasi yang transparan dan akuntable, pendidikan yang tidak kedodoran dan lini sektor strategis lain, menjadi acuan keberhasilan capaian pembangunan Zikir secara keseluruhan selama kurun waktu dua tahun belakangan. Hanya saja semua ekspektasi itu “mentah” dalam implementasinya, dan justru melahirkan perlawanan dari kelompok-kelompok kritis baru.

Dalam hampir semua lini, kebocoran justru muncul di pranata elitis, birokrasi yang amburadul, bentuk kebijakan yang tidak populis dan project base oriented yang mengemuka. Satu buktinya adalah pelanggaran atas Qanun No.2 Tahun 2002 tentang Pertambangan Umum, Minyak Bumi dan Gas Alam, pemberian kuasa pertambangan bahan galian strategis (nonmigas) dan vital oleh bupati/wali kota setelah mendapat izin prinsip atau persetujuan gubernur. Bagaimana mungkin koordinasi yang piawai bisa dimentahkan dengan meluncurnya 39 izin pengelolaan tambang dari 138, tanpa ketahuan gubernur?

Dalam kerangka keberpihakan atas pembangunan berkelanjutan, dari moratorium logging, Aceh Green hingga green province, telah dilengkapi dengan muatan perundang-undangan, tetapi implementasinya nihil. Demikian pula, bagaimana menjelaskan keterlambatan realisasi 1.010 paket proyek APBA per 28 Agustus 2014, dari total 1.454 paket yang dikontrakan? (Serambi, 15/9/2014). Fakta ini tak jauh menggembirakan dari realitas sebelumnya per 22 Juli 2014, dari 1.794 paket dengan pagu Rp 3,174 triliun yang sudah teken kontrak 809 dan realisasi di lapangan baru 207 paket. Dengan waktu efektif kerja 2014 tinggal tiga bulan lagi (Serambi, 7/8/2014).

Bagaimana menjustifikasi terpuruknya UN 2013 dan 2014 beruntun, dalam kondisi guyuran dana pendidikan yang fantastis. Sejak adanya Dana Otonomi Khusus mulai 2008 lalu, belanja pendidikan Aceh meningkat secara riil hampir dua kali lipat; dari Rp 2,3 triliun tahun 2007 menjadi 5,6 triliun pada 2013. Ini menjadikan Aceh sebagai daerah dengan belanja perkapita pendidikan tertinggi, tahun 2012 berada pada ranking ke-4 di Indonesia. Tahun 2013, pemerintah kabupaten/kota bahkan mengelola belanja pendidikan hingga 88%, sedangkan di provinsi sebesar 12% (PECAPP; 2012).

 Beda kepentingan
Persoalan kian kompleks karena ditimpali oleh kondisi politis, kritik pedas atas ketidakpuasan hasil pembangunan selama dua tahun belakangan, jika terlalu vulgar menyebutnya sebagai polarisasi perbedaan kepentingan. Lahirnya desakan pemakzulan gubernur dari tampuk pimpinan, menimbulkan implikasi lain. Mengapa? Ini karena kemunculan wacana “panas” ini tidak menyertakan lengsernya wakil gubernur. Padahal kedua figur ini merupakan representasi dari pemerintahan berkuasa. Mereka adalah figur alternatif “impian” rakyat pada Pilkada 2012, dua tahun silam, di tengah kebuntuan `tokoh’ masa depan Aceh ketika itu. Dan saat ini, mereka masih memiliki tanggung jawab kolektif mengendalikan masa depan Aceh hingga masa tugas mereka berakhir pada 2017 mendatang.

Butuh argumentasi logis publik untuk bisa masuk dalam konteks wacana yang berkembang. Sejauh ini perdebatan dan pertarungan politis ini masih eksklusif di kalangan kelompok yang pro dan kontra. Apapun dalihnya, rakyat dalam persoalan ini tetaplah menjadi penonton. Kehadiran perwakilan antarkelompok, sekalipun tidak menafikan bahwa realitas yang timpang menjadi potret paling buram dalam masa dua tahun kepemimpinan pemerintahan Zikir. Tidak semua orang secara haqul-yakin percaya, beradunya dua kubu sebagai representasi kekecewaan rakyat tanpa tendensi politis apapun atau ditunggangi dan atau dipolitisir oleh kekuatan yang berbeda kepentingan.

Meriahnya berbagai seremoni event pembangunan, termasuk pertemuan tingkat tinggi IMT-GT pada 11-14 September 2014 kemarin, tidak mampu menyembunyikan kegelisahan publik atas ketidakharmonisan para pucuk pimpinan. Konon lagi wacana yang berhadap-hadapan justru antara Gubernur dan Wakilnya, dan dalam masa aktif tugasnya pula. Tentu berbeda konteksnya dalam kasus ketika Irwandi-Nazar mencalonkan diri masing-masing menjadi kandidat gubernur medio 2011 silam, karena tidak dalam kerangka tim Aceh 1 dan Aceh 2 lagi.

Harus ada solusi tegas atas merebaknya wacana yang menggelisahkan ini. Tidak dalam koridor “berbalas pantun” melalui media. Karena justru menjadikan ruang media menjadi pentas fragmentasi pertikaian yang makin menyulut kekuatiran atas situasi dan kondisi Aceh yang sudah kondusif paska tsunami 2004 silam. Diskursus melebar melalui perwakilan kelompok pro-kontra yang mewarnai media hingga 15 September kemarin. Meskipun kehadiran kedua belah pihak dimaksudkan sebagai bentuk klarifikasi atas kritik yang berkembang, namun kondisi ini menciptakan dan memunculkan ketidakseimbangan politik di tataran elite.

Diskursus ini telah berjalan lebih sebulan lamanya, sebagai implikasi rantai panjang ketidakharmonisan pascapilpres 9 Juli 2014 lalu. Ini seakan membenarkan ungkapan Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim yang kita kutip di atas. Dalam pasang surut suksesi kepemimpinan, terbukti benar bahwa, pemimpin yang pada awalnya adalah para militansi idealisme kerakyatan, pada waktunya berubah haluan dan memilih dengan sukarela atau terpaksa pada garis partai atau kelompok kepentingan.

Jika kekuatan mesin partai berkuasa tidak mampu memadamkan bara perbedaan pendapat, lalu kepada siapa kita berharap menjadi mediator peredamnya? Padahal begitu banyak agenda krusial yang harus didorong, terutama menuntaskan turunan UUPA yang tenggat waktunya 35 hari menjelang lengsernya SBY dari tampuk kepresidenan dan butuh energi sangat besar. Lebih dari itu, pilihan-pilihan berpolitik mestilah tidak mengorbankan ketenangan rakyat. Tajak ubee lot tapak, taduk ube lot punggong. Biarlah kita sebagai rakyat menikmati “bulan madu” perdamaian ini lebih panjang.

Hanif Sofyan, Pegiat Aceh Environmental Justice. Email: acehdigest@gmail.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved