Anggota DPRA tak Ingin PP Cek Kosong
Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menegaskan tidak menghendaki tiga turunan UUPA yang sudah diteken
* Komisi 1 Segera Temui Mendagri
BANDA ACEH - Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menegaskan tidak menghendaki tiga turunan UUPA yang sudah diteken Presiden Jokowi belum lama, menjadi cek kosong yang tidak memberi arti penting untuk kemajuan pembangunan Aceh. Ketiga turunan UUPA dimaksud harus diimplementasikan sesuai dengan yang telah disepakati.
“Tentu kita tidak mengharapkan itu terjadi. Kita menghendaki dua RPP dan satu Perpres ini diberikan sesuai dengan apa yang sudah disepakati kedua pihak,” ujar Ketua Komisi 1 DPR Aceh Abdullah Saleh SH kepada Serambi di Banda Aceh, Selasa (24/2). (Lihat, turunan uupa diteken jokowi)
Disebutkan dari tiga turunan UUPA tersebut, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Aceh menjadi persoalan krusial yang disorot DPRA.
Menurut Abdullah Saleh dalam pertemuan terakhir Pemerintah Aceh dan Kemendagri akhir Desember 2014, telah disepakati kandungan Migas di atas 12 mil laut (Zona Ekonomi Eksklusif) dikelola secara bersama dengan bagi hasil 50:50. Sedangkan untuk pengelolaan Migas di 12 mil laut, kata Abdullah Saleh, kedua pihak menyepakati dikelola bersama dengan bagi hasil 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk Pemerintah Pusat.
Namun persoalannya, kata Abdullah Saleh, di lokasi 12 mil laut kandungan Migas sudah menipis, dan hampir tidak ada yang dapat eksploitasi lagi. Karena itu, kata dia, Pemerintah Aceh bersikeras agar Aceh dapat mengelola kandungan Migas yang berada di atas 12 mil laut.
“Untuk pengelolaan Migas di atas 12 mil laut atau di batas ZEE kita sudah membuat usulan tertulis sebagaimana permintaan Dirjen Otda waktu itu, dan sudah kita sampaikan kepada Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Selain PP Migas, Presiden juga telah meneken dua aturan lainnya yakni PP tentang Kewenangan Pusat yang Bersifat Nasional di Aceh, dan Perpres tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Menjadi Perangkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh.
Abdullah Saleh menyebutkan ketiga aturan turuan UUPA tersebut dinilai memiliki peran penting untuk Aceh karena menyangkut hajat hidup rakyat Aceh. Karenanya, kata Abdullah Saleh, dalam waktu dekat Komisi 1 berencana menemui Menteri Dalam Negeri di Jakarta untuk mempertanyakan kelanjutan dari ketiga peraturan tersebut yang hingga kini tidak kunjung diserahkan kepada Pemerintah Aceh.
Dia mengakui pihaknya sejauh ini belum mengetaui apa subtansi dari ketiga turunan UUPA tersebut. “Setelah evaluasi APBA rampung, kita berencana akan menemui Mendagri untuk mengetahui sejauh mana sudah prosesnya,” ujar politisi Partai Aceh ini.
Disinggung tentang nasib Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Ketua Komisi 1 DPR Aceh Abdullah Saleh menyebutkan pembahasan tentang Bendera dan Lambang Aceh yang sebelumnya melibatkan tim Pemerintah Aceh dan Kemendagri, saat ini masih dalam status jeda atau cooling down.
“Fokus kita masih pada memperjuangkan RPP dulu karena ini menyangkut kesejahteraan rakyat Aceh. Setelah semua selesai, baru nanti kita bicarakan kembali soal bendera,” tegasnya.
Sebelumnya sempat berhembus isu adanya bargaining politik (tawar-menawar) antara Pemerintah Aceh dengan Jakarta soal ketiga RPP tersebut. Pemerintah Jakarta bersedia meneken ketiga peraturan tersebut jika Aceh mau mengubah sedikit saja bentuk Bendera Aceh yang sudah disahkan dalam Qanun namun ditolak Jakarta karena mirip bendera GAM.
Terkait hal ini Abdullah Saleh tidak menampik. “Sinyal kompromi itu sudah ditunjukkan Pemerintah Aceh, bahwasanya kalau diminta diubah sedikit saja tidak apa-apa. Soal ini juga sudah ditunjukkan lewat pernyataan Wakil Gubernur beberapa waktu lalu yang memberi sinyal ke arah itu,” ujarnya.
Menurut Abdullah Saleh dirinya menanggapi positif atas sikap Pemerintah Aceh tersebut sebagai bentuk win-win solution.(sar)