Opini

Peradaban dalam Masakan Aceh

MASAKAN khas merupakan bagian terpenting dalam mewujudkan identitas sebuah suku bangsa

Editor: bakri

Oleh Ismaniar

MASAKAN khas merupakan bagian terpenting dalam mewujudkan identitas sebuah suku bangsa. Sebuah suku bangsa sangat sulit disebut suku bangsa apabila tidak memiliki karakter tersendiri, seperti halnya bahasa yang mutlak menjadi syarat terbentuknya suku. Begitu pula masakan dalam kaitan bangkitnya peradaban, mutlak dibutuhkan selain bahasa dan kesenian tradisional.

Aceh, sebagai wilayah yang dihuni oleh keberagaman suku di dalamnya merupakan anugerah besar yang patut disyukuri. Keberagaman itulah penyebab kekayaan luar biasa yang dimiliki Aceh. Apalagi potensi alamnya menjadikan alasan bumi Serambi Mekkah ini menjadi daerah “terbaik” yang dimiliki Indonesia.

Keberagaman itu pula kemudian mencatat Aceh sebagai satu daerah penghasil kuliner khas. Ada 9 suku dengan keanekaan bahasa, yakni Aceh, Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Jamee, Sinabang, Haloban, dan bahasa Singkil. Ini bermakna bahwa Aceh memiliki sedikitnya 9 jenis masakan, atau secara global dapat disimpulkan ada ratusan jenis masakan yang punya kekuatan tersendiri dalam penyajian kuliner. Dan melalui masakan pula mudah bagi kita untuk membaca keberadaan dari suku-suku tersebut.

Kuliner dunia
Hanya persoalannya kini adalah apakah kekayaan masakan tradisional di Aceh itu dapat menjadi aset Aceh yang mendunia? Tentu saat ini perlu kajian khusus pula, sebab “serangan” kuliner dunia ke Indonesia --terutama dari Eropa dan Amerika-- yang terbukti berhasil mengasai baik kuliner dunia. Sementara kuliner Aceh yang kuat dipengaruhi oleh citarasa Arab, Cina, dan India, masih jalan di tempat, atau dalam bahasa lain kuliner Aceh masih belum bergeming, bahkan cuma dikonsumsi kalangan sendiri saja.

Dan tentu, semakin lama masakan tradisonal Aceh terus kian redup di pasar akibat serbuan makanan Barat lebih dominan. Bahkan, persaingan diperkuat dengan hadirnya beberapa masakan dari Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, plus harus bersaing pula dengan masakan-masakan berkarakter modern dari kawasan Jawa. Makanan Aceh makin sulit, apa lagi sedikitnya Aceh harus bersaing dengan masakan Nusantara yang notabene menyebar di 6.000 pulau, sekitar 300-500 suku bangsa.

Beberapa even Kuliner di Aceh juga tidak mampu mengangkat citra makanan hingga ke tingkat Nasional. Even kuliner yang kerap digelar pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh kerapkali terjebak dengan seremonial, sehingga kurang mangengkat makanan itu sendiri. Akibatnya, lagi-lagi kuliner Aceh hanya bersaing di kalangan sendiri, tidak membuahkan hasil menjadi masakan yang dibicarakan banyak kalangan di Indonesia. Harusnya masakan Aceh masuk dalam ranking masakan yang diminati, sebab citarasa yang dipastikan sangat Nusantara, persis masakan Padang yang mendunia, atau sebagian masakan Jawa yang tidak lebih sebagai citarasa Nusantara.

Ke depan, even masakan harus dilakukan lebih spesifik dengan melibatkan ahli kuliner Nusantara, sekaligus menyertakan pengusaha kuliner, sebab even kuliner harusnya menjadi kegiatan bergengsi yang ditunggu kehadirannya, serta bukan lagi menjadi even seremonial yang ujung-ujungnya sekadar melombakan masakan daerah yang itu-itu saja, tidak punya inovasi, dan kesannya sekedar untuk memenuhi even semata. Even kuliner ke depan harus dengan tekad “menjual” dan menjadikan masakan Aceh masuk dalam persaingan industri yang kemudian menjadi salah satu peluang usaha yang mendunia.

Keterlambatan kebangkitan kuliner Aceh ini perlu disikapi dengan hati dan pikiran jernih, sebab lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Barangkali baru sebagian kecil saja masakan Aceh itu dikenalkan oleh pengusaha Aceh di luar daerah, namun belum maksimal. Hanya penting dilakukan sekarang bagaimana menjaga setiap jenis masakan Aceh tetap memiliki hak cipta, agar kelak tetap menjadi “masakan” Aceh.

Hak cipta
Saya sangat mendorong pemerintah Aceh untuk mendaftarkan semua jenis masakan Aceh ke lembaga hak cipta, agar kelak tidak terjadi klaim seperti peristiwa beberapa kesenian daerah yang diklaim Malaysia. Ini penting agar kelak tidak membingungkan generasi yang ingin mempertahankan peradaban Aceh melalui kuliner.

Kekayaan kuliner yang dimiliki Aceh saat ini justru terancam oleh industri apabila pemerintah tidak segera mendaftarkan jenis-jenis ke lembaga hak cipta. Apalagi beberapa momentum Aceh yang mendunia dapat sekaligus membawa karakter masakan di dalamnya yang kemudian menghilangkan asal muasalnya. Saya cukup optimis ke depan bisnis makanan Aceh semakin maju, bahkan kian dicari sebagai resep khas Timur.

Karakter kuat dalam makanan Aceh ada dua, yakni “rasa raja” dan “rasa perang”. Contoh kecil perbedaan kuat dalam masakan ketika di Gayo ada lepat yang dikenal punya daya tahan hingga dua minggu dikenal sebagai makanan tradisional yang dapat disertakan dalam perang. Berbeda dengan timphan dengan daya tahan rendah lebih dikenal sebagai makanan tradisional yang disaji untuk tamu istana. Kedua makanan itu menggunakan daun pisang, hanya lepat Gayo menggunakan daun tua, sedangkan timphan daun muda. Namun dalam filosofi tetap sama, tidak mau disebut pelit sehingga kedua jenis kue itu terasa manis.

Itu hanya contoh kecil soal keberagaman masakan Aceh, masih ada ratusan jenis lainnya yang hingga kini belum dibukukan, namun sudah ada tercatat di media cetak dan elektronik. Ke depan adalah tugas kita semua untuk menjadikan masakan Aceh sebagai masakan yang bercitarasa Nusantara, tentu dengan inovasi dan kreativitas pula, agar kuliner Aceh tampil menarik dan diminati masyarakat luas. Semoga!

* Hj. Ismaniar, S.E., Anggota Komisi VII DPRA dan Ketua DPD Ikatan Ahli Boga (Ikaboga) Aceh. Email: nyawoung@yahoo.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved