Opini
Narkolemata, Bom Waktu Kejahatan Seksual
BEBERAPA waktu lalu, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh sudah membuat Training of Trainer (TOT)
Oleh Lailatussaadah
BEBERAPA waktu lalu, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh sudah membuat Training of Trainer (TOT) pola asuh anak yang membahas tentang kekerasan seksual terhadap anak yang diikuti oleh guru, teungku dan tokoh masyarakat dari seluruh Aceh. Data yang disampaikan oleh Ellys Rusman, narasumber dalam TOT tersebut, sangat mengejutkan para hadirin termasuk Gubernur Aceh dan Kepala BP3A, Dahlia MAg.
Kedua orang penting di Aceh itu sempat meneteskan air mata menyaksikan data kekerasan seksual yang terjadi di Aceh. Aceh benar-benar dalam kondisi kritis. Semua pihak di Aceh menyatakan dengan keras bahwa Aceh dalam status darurat kekerasan terhadap anak. Ketakutan anak dan orang tua makin meningkat. Pelaku kekerasan semakin merajalela. Tak ada hukum yang tegas terhadap pelaku, nyaris tak ada tempat yang ramah anak.
Narkolemata di HP
Tak dapat dipungkiri, kasus-kasus kekerasan seksual terjadi akibat paparan narkolemata (narkoba lewat mata), berupa paparan pornografi. Narkolemata saat ini dengan mudah didapat melalui akses internet di telepon genggam (HP), gadget, warkop dan warnet. Narkolemata ini telah merusak kesehatan mental penikmatnya.
Narkolemata punya tingkatan. Pada awalnya penikmat pornografi hanya iseng saja menonton atau mendapat paparan pornografi dari orang lain. Lalu menjadi kebutuhan untuk menonton, dan seterusnya akan terus meningkat dan mencari tempat pelampiasan. Tontonan yang berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun, selanjutnya akan menjadikan dia sebagai pewaris bangsa bermental porno. Tidakkah kita sadar bahwa paparan pornografi adalah cara musuh merusak generasi kita?
Kita sepakat, semua pihak harus berkontribusi dalam penyelesaian masalah kekerasan terhadap anak sebagaimana diungkapkan guru besar UIN Ar-Raniry Prof Eka Srimulyani dalam artikelnya di harian ini (6/10/2015). Tri pusat pendidikan harus berperan dalam menanggulangi malapetaka serius ini. Semua elemen lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah dan institusi pemerintah lainnya harus bersinergi dan bertanggungjawab dalam menyelesaikan child abuse yang semakin memprihatinkan.
Solusi lain ditawarkan oleh Hanif Sofyan dalam opininya Hantu ‘Bullying’ Jilid II dan opininya Puncak Gunung Es Kekerasan Anak (Serambi, 6/10/2015), menawarkan solusi dengan memberikan pemahaman kepada anak-anak di sekolah, tentang bagian tubuh yang dianggap sensitif baik untuk anak-anak pria maupun wanita. Ketika bagian yang dianggap tabu diganggu sebisa mungkin mereka “melawan”, memberontak atau meminta pertolongan.
Kita juga setuju solusi yang ditawarkan oleh berbagai kalangan bahwa anak-anak harus diajarkan cara melindungi diri, orang tua diajak lebih intensif lagi dalam menjaga anak-anaknya. Namun hal yang tak kalah penting bahwa orang tua wajib selalu memberikan pemahaman kepada anak-anak laki-laki bahwa melindungi, menjaga dan mengayom anak-anak perempuan merupakan tugas mereka, sehingga jika mereka melihat anak perempuan diganggu oleh orang tak dikenal di sekolah atau tempat lain anak laki harus membantunya. Pendakatan ini yang belum dimunculkan di Aceh dan Indonesia.
Selain itu, bentuk perhatian pemerintah terhadap kasus anak tidak cukup dengan sekadar mengunjungi korban, atau meneteskan air mata saat mendengar kisah pilu korban. Bukan pula sekadar mengadakan seminar dan workshop. Hal yang lebih mendesak adalah apa kebijakan pemerintah untuk melindungi anak-anak Aceh dari ancaman kekerasan. Sangat miris rasanya ketika membaca komentar seorang elite politik Aceh menyangkut minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program perlindungan anak dalam APBA (Serambi, 7/10/2015).
Elite politik hanya sebatas berkomentar kita minim uang untuk mengurus perlindungan anak. Pertanyaannya apakah elite politik akan membiarkan kasus-kasus itu berlanjut dengan alasan uang? Mengapa orang-orang yang telah kita pilih sebagai wakil kita selalu memikirkan uang dan tanpa uang seolah tidak ada yang mungkin dilakukan? Padahal dana aspirasi miliaran rupiah mereka kantongi.
Seharusnya lebih peka
Pemerintah dan elite politik seharusnya lebih peka dalam menyikapi masalah yang mengancam generasinya, sehingga mereka bergerak cepat mencari solusi baik jangka pendek yang sifatnya mendesak maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, pemerintah sangat mungkin melakukan tindakan yang sifatnya mengawasi anak-anak di sekolah dengan menyediakan bus antar-jemput untuk sekolah-sekolah yang dianggap rawan terjadinya child abuse, guna meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi saat murid pulang sekolah.
Bus Damri --yang dikelola oleh pihak kementerian/dinas perhubungan-- yang tidak beroperasi lagi dapat dialihkan untuk kepentingan di atas. Jika pemerintah dan elite politik memandang persoalan kekerasan anak sebagai masalah serius, maka akan sangat mungkin membuat program penyediaan bus untuk setiap sekolah di Aceh yang salah satunya melalui dana aspirasi dewan.
Pemerintah juga dapat melakukan hal yang sama terhadap siaran televisi yang mentransfer kekerasan melalui film-film action dan sinetron-sinetron yang tidak mendidik yang kemudian diadopsi oleh anak-anak dalam tindakan kesehariannya. Jadi, penyelesaian masalah child abuse tidak melulu dengan anggaran, namun juga kebijakan atas nama kekuasaan yang dimiliki. Dengan demikian, pemerintah dan elite politik hadir di tengah-tengah kegalauan rakyatnya.
Tindakan lainnya yang dapat dilakukan untuk jangka pendek adalah menutup akses pornografi termasuk game yang memuat konten pornografi yang kini hadir di tangan anak-anak melalui ponsel dan dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya kekerasan di kalangan anak-anak. Penggunaan ponsel di kalangan anak-anak semakin meluas dengan berbagai alasan seperti untuk komunikasi dengan orang tua dan sebagai fasilitas belajar.
Selanjutnya adalah orang tua bijak dalam memberikan gadget kepada anak-anaknya, terlihat di sekolah anak-anak membawa gadget seperti handphone, tablet canggih yang dilengkapi dengan internet atau terdapat fasilitas wifi, fasilitas game di rumah dan televisi berlangganan. Kemudian orang tua lalai dalam pengawasan, situs-situs pornografi dengan mudah dapat diakses oleh anak di mana saja dan kapan saja melalui penjelajahan dengan menggunakan fasilitas tersebut.
Terakhir, yang sangat mungkin kita lakukan adalah terus-menerus menyuarakan kasus kekerasan seksual beserta ancaman hukumannya. Hal ini sangat efektif dilakukan agar kita selalu waspada terhadap ancaman para predator anak. Nah!
Lailatussaadah M. Nur, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: lailamnur27@gmail.com