Opini
Kepemimpinan Profetik
HADIH madja di atas memberikan gambaran bahwa tidak semua orang boleh dan bisa menjadi pemimpin
Oleh Adnan
Meuriri uroet ta ikat beunteueng, meuriri ureung taboh keuraja. (Hadih Madja)
HADIH madja di atas memberikan gambaran bahwa tidak semua orang boleh dan bisa menjadi pemimpin. Sebab menjadi pemimpin memiliki tanggung jawab besar dan dahsyat. Ia tidak hanya memikul persoalan diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga memikul persoalan seluruh rakyat yang dipimpinnya. Bahkan dihadapan Ilahi bukan hanya mempertanggungjawabkan diri dan keluarganya semata, namun juga harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan kepada rakyat ketika masa kepemimpinannya.
Jika menghayati prolog di atas, mungkin itulah yang membuat para pemimpin Islam masa silam menangis ketika disumpah dengan jabatan mereka. Bahkan ungkapan yang keluar dari mulut mereka setelah disumpah bukan alhamdulillah, sebagai bentuk syukur kepada Allah Swt karena telah mendapatkan jabatan. Namun ungkapan yang keluar dari mulut mereka adalah: Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Padahal istirja’ diungkapkan oleh seorang muslim ketika ditimpa musibah dan mengingat kepada Allah Swt. Ini artinya, para pemimpin Islam masa silam mengungkapkan istirja’ setelah disumpah itu menunjukkan bahwa jabatan dan persoalan kepemimpinan adalah sebuah musibah, ujian dan cobaan kepada mereka.
Sebab menjadi pemimpin tidak lebih mudah daripada menjadi rakyat. Menjadi imam tidak lebih enak dari pada menjadi makmum. Menjadi atasan tidak lebih luarbiasa dari pada menjadi bawahan. Menjadi bos tidak lebih megah dari pada menjadi karyawan. Karena pemimpin, imam, atasan, dan bos memiliki tanggung jawab besar dihadapan manusia, serta bahkan dihadapan sang Pencipta. Di akhirat Allah Swt tidak hanya menguliti aib pribadi mereka, namun juga akan menguliti tentang kepemimpinan mereka. Di saat itulah mereka merasa kesepian, di mana tidak ada seorang pun yang akan peduli dengan mereka kecuali apa yang telah mereka lakukan.
Namun demikian, bukan pula berarti semua orang harus menjadi rakyat, makmum, bawahan, dan karyawan. Sehingga tidak ada yang menjadi pemimpin, imam, atasan, dan bos. Akan tetapi, itulah kehati-hatian seorang pemimpin dalam menjalankan pola kepemimpinan mereka. Pemimpin tidak boleh serakah, tamak, ujub, menipu, dan benci kepada rakyat. Ketika seseorang menjadi pemimpin, maka ia berada di atas pribadi, keluarga, dan golongan. Artinya ia harus menjadi pemimpin semua golongan tanpa membedakan profesi, suku, ras, agama, status sosial, dan kelompok yang mereka ikuti.
Hidup toleran
Itulah yang diajarkan dalam kepemimpinan profetik (kenabian). Ketika Islam menguasai Yatsrib (Madinah) dan Rasulullah saw diangkat menjadi pemimpin. Padahal penduduk Madinah ketika itu sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku dan agama. Lantas tidak membuat Rasulullah saw berbuat semena-mena kepada non-Muslim. Bahkan lahir dari kepemimpinan Islam sebuah kesepakatan dengan seluruh para kabilah dan agama, dikenal dengan piagam Madinah. Sehingga penduduk Madinah hidup berdampingan dan toleran, serta membayar pajak untuk pembangunan bangsa mereka.
Keadaan Madinah waktu itu “mirip” dengan Aceh saat ini. Penduduk Aceh yang sangat heterogen terdiri dari berbagai kelompok dan golongan, suku, bahasa daerah, bahkan agama. Maka heterogenitas ini harus menjadi kekuatan dalam pembangunan dan pemajuan Aceh ke depan. Jangan sampai malah heterogenitas membuat Aceh pecah-belah disebabkan ketiadaan figur pemimpin profetik. Sehingga tidak mampu mengelola heterogenitas dan pluralitas penduduk Aceh menjadi sebuah modal sosial (social power) dalam pembangunan dan pemajuan.
Di samping itu, pola kepemimpinan profetik juga sangat ramah dan peka terhadap persoalan rakyat. Bukankah Rasulullah saw pernah menyusuri sebuah sudut kampung di Madinah, lalu beliau melihat seorang Yahudi tuna netra dan miskin sedang kelaparan. Lalu beliau sendiri menyuapi berkali-kali makanan ke mulut Yahudi itu. Walaupun yang beliau terima adalah kata-kata kasar dari Yahudi tersebut setiap makanan disuapi. Maka ketika Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq mendatangi Aisyah ra lalu bertanya: Wahai Aisyah, apakah amalanku selama ini sudah sesuai seperti Rasulullah? Aisyah menjawab: Sudah, tapi satu yang belum engkau lakukan, yaitu menyuapi makanan seorang Yahudi tunanetra di sudut kota Madinah.
Kemudian, Abu Bakar bergegas langsung menuju ke tempat Yahudi tersebut. Abu Bakar mencoba menyuapi sendiri makanan untuk Yahudi itu. Namun apa yang terjadi Yahudi tersebut sangat marah dan murka, karena menurutnya cara Abu Bakar menyuapi makan sangat kasar berbeda dengan orang yang menyuapi sebelumnya. Sehingga Abu Bakar membuka rahasia kepada Yahudi tersebut, bahwa orang yang menyuapinya selama ini baru saja wafat dan ia adalah Rasulullah saw. Mendengar hal tersebut membuat si Yahudi tunanetra dan miskin itu menyesal, karena telah berkata-kata kasar kepada Rasulullah saw yang menuapinya selama ini dan akhirnya Yahudi tunanetra itu pun masuk Islam.
Begitulah pola kepemimpinan profetik sangat ramah dan lembut dalam melayani rakyat walaupun rakyat terus mencaci-maki mereka. Namun cacian dan makian tidak membuat mereka putus asa dan cepat menyerah dalam berbuat yang terbaik kepada rakyat. Kepemimpinan profetik adalah pola kepemimpinan seorang pemimpin ketika mendatangi rakyat merasa bagian dari pada rakyat itu sendiri. Ia tidak merasa dirinya sebagai pemimpin dan atasan, akan tetapi ia datangi rakyat sebagai bagian dari rakyat, karena ia juga lahir dari rakyat. Rakyat yang memilih dan memikulkan jabatan kepadanya, tidak elok mendatangi rakyat dengan sinis, anarkis, dan sok berkuasa.
Momentum pilkada
Karena itu, pada Pilkada 2017 mendatang masyarakat Aceh kembali akan memilih pemimpin. Diharapkan pada pilkada tersebut lahir pemimpin profetik yang menjalankan misi-misi kenabian dalam menyelenggarakan pemerintahan. Bukan hanya untuk melakukan pemajuan Aceh dalam konteks duniawi, akan tetapi juga ukhrawi. Sehingga masyarakat Aceh ke depan adalah kumpulan orang-orang yang memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bukan kumpulan orang-orang yang apoh-apah di dunia dan malapetaka di akhirat.
Sebab itu, Ramadhan tahun ini adalah momentum terbaik untuk “mengasah” para kontestan yang akan bertarung pada Pilkada mendatang. Para kontestan akan “diasah” menjadi pemimpin profetik. Yaitu pemimpin yang menjalakan pemerintahan senada dan seirama dengan misi-misi kenabian, semisal mampu mengayomi seluruh golongan tanpa diskriminasi, ramah dan penuh kelembutan dalam melayani rakyat, serta mendatangi rakyat sebagai bagian dari rakyat itu sendiri. Karena hanya ditangan kepemimpinan profetik Aceh akan mampu bangkit mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang baik pendidikan, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan agama.
Oleh karena itu, tidak semua konstestan layak diangkat menjadi pemimpin pada Pilkada mendatang. Ingat; meuriri uroet ta ikat beunteung, meuriri ureung taboh keuraja (tidak semua rotan dapat kita jadikan sebagai pengikat, dan tidak semua orang layak diangkat menjadi raja). Hanya kontestan yang memiliki kepemimpinan profetik yang layak dan pantas untuk diangkat menjadi pemimpin. Ramadhan akan “mengasah” mereka menjadi calon-calon pemimpin profetik. Semoga!
* Adnan, S.Kom.I., M.Pd.I., alumnus pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: adnanyahya50@yahoo.co.id