Lomba Bersedekah di Tanah Haram
JAM sudah pukul 22.30 Waktu Saudi saat bus yang membawa rombongan kami dari Madinah, memasuki Kota Mekkah
JAM sudah pukul 22.30 Waktu Saudi saat bus yang membawa rombongan kami dari Madinah, memasuki Kota Mekkah, Senin (21/4). Meski sudah tengah malam, Mekkah masih sibuk dengan aktivitas.
Keramaian semakin terasa saat bus menyusuri jalan Ibrahim Khalil yang mengarah ke Masjidil Haram. Keharuan menyelimuti seisi bus saat lantunan kalimat Talbiyah mengiringi bus yang berjalan pelan, merayap membelah lautan manusia di Jalan Ibrahim Khalil.
Oleh pihak travel, kami yang sudah berpakaian ihram sejak di Bir Ali (tempat mengambil miqat, 450 km dari Mekkah), diberikan waktu dua jam untuk makan dan membereskan barang bawaan ke kamar hotel.
“Pukul 00.30 kita sudah berkumpul di lobi hotel untuk bersama-sama ke Masjidil Haram untuk berumrah,” tour leader Iqbal Nyak Umar, memberi aba-aba kepada jamaah.
Tak lupa pula, Iqbal mewanti-wanti jamaah untuk selalu ingat dengan larangan-larangan selama berihram. Pukul 00.30 kami pun berjalan kaki ke Masjidil Haram. Hotel tempat kami menginap hanya berjarak sekitar 200 meter dari Masjidil Haram.
Saya yang baru pertama kali melaksanakan umrah, selalu menempel ketat mutawwif (pembimbing), mulai dari memasuki masjid, melaksanakan tawaf, hingga tuntasnya sai dan tahallul.
Selain karena masih perlu bimbingan dalam melaksanakan rukun umrah, saya juga diliputi kekhawatiran dengan banyaknya cerita seputar pencopetan, pencurian, hingga penipuan yang dialami jamaah haji dan umrah asal Aceh di seputaran Masjidil Haram. Sepanjang malam itu, saya tak pernah memisahkan diri dari rombongan. Bahkan, untuk ke toilet pun, harus membuat janji dengan beberapa kawan.
Keadaan mulai berubah pada hari kedua berada di Mekkah. Ditemani seorang kawan, saya habiskan waktu hingga tengah malam, dengan menyusuri halaman hingga beberapa sudut terdalam di Masjidil Haram.
Apa yang saya alami ternyata berbanding terbalik dengan cerita-cerita yang saya dengar sebelumnya. Hati terasa sangat nyaman saat melihat banyak orang beriktikaf, berzikir, membaca Alquran, dan mengikuti halaqah di hampir setiap sudut Masjidil Haram.
Tak jarang pula terdengar banyak orang bertengkar saat berebutan mencium Hajar Aswad atau saat masuk ke area Hijir Ismail. Padahal, beberapa dari mereka terlihat berpakaian Ihram.
Saya pun berupaya menghindar ke sisi luar lingkaran tawaf. Di posisi ini, saya melihat orang-orang lebih kusyuk berdoa di sepanjang tawafnya. Ada juga sejumlah orang yang membagi-bagikan tisu atau air zamzam kepada jamaah tawaf. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Ke luar dari masjid, tiba-tiba saya didekati seorang pria berpakaian mirip pelayan restoran. Ia berbicara dalam bahasa Arab. Cerita tentang orang yang minta sedekah dengan berbagai dalih sontak terlintas ketika pria itu meminta 100 riyal. Katanya, untuk makan fakir dan anak yatim. Saya pun cepat-cepat mengibaskan tangan sembari geleng kepala. Lalu mempercepat langkah agar segera tiba di hotel.
Saya teringat cerita tentang seorang yang meminta sedekah. Ketika kita berikan, maka yang lain secara beramai-ramai akan merapat mengepung untuk juga meminta sedekah.
Namun, alangkah terkejutnya saya ketika pengalaman ini saya ceritakan kepada teman seperjalanan dari Aceh. “Itu pegawai restoran, mereka meminta sumbangan 100 riyal untuk memberikan makanan kepada 40 fakir dan miskin,” ujar Zul Anshary. Ia pernah beberapa kali pergi di Mekkah ketika masih menempuh studi di Al Azhar Kairo, Mesir.
“Tidak semua orang mendapat tawaran itu. Sebaiknya kalau ada tawaran lagi, ambil saja. Biar merasakan bagaimana nikmatnya bersedekah di depan Masjidil Haram ini,” imbuhnya.
Benar saja, esoknya, Rabu (26/4), usai Ashar, saya yang kini semakin berani keluyuran seorang diri di kawasan Masjidil Haram, kembali menyusuri jalan itu, berharap pegawai restoran kemarin kembali menawarkan paket bersedekah. Namun, si pegawai restoran hanya cuek saja saat saya melintas di depannya, di antara ribuan jamaah lain.