UU Pemilu Satukan Lembaga Pengawas
Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh, Indra Milwady, turut mengomentari persoalan pencabutan
* Jumlah Komisioner Mengacu Jumlah Penduduk
BANDA ACEH - Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh, Indra Milwady, turut mengomentari persoalan pencabutan pasal 57 dan 60 UUPA melalui Undang-Undang (UU) Pemilu. Dua pasal itu mengatur tentang kelembagaan KIP dan Panwaslih Aceh.
Menurutnya, pencabutan tersebut telah membawa manfaat bagi Aceh. Selain itu, pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu juga menjadi lebih baik. “Sebenarnya pencabutan itu ada manfaat positifnya. Tapi kita kan hanya menyorot sisi negatifnya saja. Pengaturan kelembagaan sepertinya sudah baik,” kata Indra kepada Serambi, Rabu (26/7).
Dijelaskan, pada Pasal 557 ayat 2 UU Pemilu disebutkan bahwa kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan undang-undang ini. Yang dimaksud dengan kelembagaan, kata Indra, sebenarnya lebih kepada pengaturan Bawaslu/Panwaslih, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Misalnya, komisioner Panwaslih kabupaten/kota yang selama ini berstatus ad hoc karena mengacu UUPA, akan berubah menjadi permanen berdasarkan UU Pemilu. Selain itu juga menyelesaikan permasalahan pengawasan, karena selama ini di Aceh ada dua lembaga pengawas, yaitu Bawaslu dan Panwaslih. Dengan UU Pemilu, lembaga pengawas tersebut kini menjadi satu.
“Jadi dengan adanya pasal ini, menjadi solusi, di mana hanya ada satu lembaga pengawas yang masa tugasnya selama 5 tahun untuk mengawasi pelaksanaan Pileg, Pilpres, dan Pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” ujar Komisioner KIP Banda Aceh ini.
Keuntungan dari disatukannya lembaga pengawas itu, salah satunya adalah dari sisi penganggaran. Selama ini, sebut Indra, anggaran Panwaslih ditanggung oleh pemerintah daerah. Tetapi dengan UU Pemilu, biaya gaji pegawai dan komisioner serta belanja rutin lembaga akan menjadi beban pemerintah pusat.
Selain itu, dengan diberlakukannya masa tugas komisioner selama lima tahun, akan membuat figur pengawas lebih berintegritas dan lebih profesional dibandingkan dengan yang masa tugasnya 10 bulan. Sehingga diharapkan, peningkatan ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas Pemilu/Pilkada di Aceh.
“Menurut saya pengaturan kelembagaan ini tidak termasuk pengaturan proses rekrutmen. Karena pasal-pasal mengenai rekrutmen anggota KIP baik provinsi maupun kabupaten/kota pada pasal 56 UUPA tidak diganggu gugat dalam UU Pemilu ini. Namun yang menjadi masalah pengaturan rekrutmen panwas tidak diatur seperti halnya KIP,” paparnya.
Seperti diketahui, di dalam lampiran UU Pemilu disebutkan, jumlah Komisoner KIP Aceh berjumlah lima orang, berkurang dari sebelumnya tujuh orang. Sedangkan KIP kabupaten/kota menjadi tiga orang, berkurang dari sebelumnya lima orang. Penentuan jumlah komisioner KIP tersebut disesuaikan dengan penduduk.
Ketua KIP Aceh, Ridwan Hadi yang ditanyai Serambi, membenarkan hal itu. “Ya kalau kita melihat draf UU Pemilu itu, anggota KIP Aceh lima orang memang,” kata Ridwan Hadi.
Penentuan jumlah komioner KIP Aceh itu menurutnya disamakan dengan mekanisme di seluruh provinsi di Indonesia, yakni berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. “Apabila jumlah penduduk 10 juta atau di bawah 10 juta, maka jumlah komisioner KIP Aceh sebanyak lima orang. Sedangkan untuk kabupaten/kota, kalau penduduk berjumlah 500 ribu atau di bawahnya, itu sebanyak tiga orang, kalau lebih dari 500 ribu baru lima orang,” sebutnya.
Namun kata Ridwan Hadi, jumlah itu bisa saja bertambah jika memang luas wilayah lebih besar. “Seperti Papua, itu jumlah penduduknya nggak banyak, tapi anggota KPU di sana tujuh orang, karena wilayahnya sangat luas,” sebutnya.
Sementara itu, Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD asal Aceh hingga kemarin terus menuai kritikan, menyusul lemahnya upaya mereka mengawal UUPA di Senayan.
Pengamat politik, Taufik A Rahim, mengatakan, Anggota DPR RI asal Aceh belum mampu mengatasi berbagai persoalan Aceh di tingkat pusat, seperti pencabutan pasal-pasal dalam UUPA melalui Undang-Undang Pemilu. Menurutnya, para Anggota DPR asal Aceh lebih memilih membela kepentingan partai ketimbang daerah.