Opini
Urgensi Kemitraan Orang Tua dan Sekolah
SEWAKTU saya mengajar di program sertifikasi guru, seorang guru senior mengungkapkan penyesalannya
Oleh Jarjani Usman
SEWAKTU saya mengajar di program sertifikasi guru, seorang guru senior mengungkapkan penyesalannya yang tak terlupakan. Suatu ketika, beliau menyuruh murid-muridnya untuk mengangkat tangan tinggi-tinggi, tapi ada seorang anak yang tak mau melakukannya. Kedua tangannya malah dimasukkan ke bawah meja. Walau sudah diperintahkan berkali-kali, ia tetap mengelak walau sangat ketakutan.
Bapak guru itu pun semakin geram dan mendatangi muridnya itu untuk memaksanya. Anak itu semakin takut. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba sang guru itu terenyuh sedih seraya menitikkan air mata, menyesal telah memaksa anak itu. Rupanya ia melihat kedua tangan muridnya itu tak memiliki jari-jari. Makanya ia malu untuk mengangkat tangannya.
Itulah sebuah kisah nyata akibat kurangnya pemahaman pihak guru atau tim sekolah terhadap perbedaan pribadi murid-muridnya (individual differences). Pihak sekolah perlu memahami secara total keadaan murid-muridnya, agar tidak salah dalam bertindak mendidiknya. Semua itu bisa dilakukan dengan kemitraan pihak sekolah dengan orang tua murid.
Sejumlah peneliti (seperti Hindin, 2010; Hirpin, 2010; Prianto, 2016; Sumarsono, Imron, Wiyono, Arifin, 2016; Wilder, 2017; Zhang, 2015) telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa peran orang tua sangat signifikan dalam mendongkrak keberhasilan belajar anak-anak dan menyelesaikan permasalahan keseharian mereka. Misalnya, orang tua menjadi lebih mengerti dan menyadari tentang peran pentingnya dalam pendidikan anak, yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada pihak sekolah.
Celah kemitraan dengan orang tua ini perlu dimanfaatkan oleh pihak sekolah, lebih-lebih boarding school. Di boarding school, anak-anak jauh dari orang tuanya dan jarang bertemu. Kalau memang telah dilakukan, perlu dievaluasi efisiensi dan efektivitasnya demi memaksimalkan manfaatnya.
Sebagai orang tua yang pernah mengalami langsung manfaat besarnya kemitraan itu. Sewaktu di Australia, saya dan seluruh orang tua dari berbagai negara yang menyekolahkan anak-anaknya di Clayton North Primary School, Melbourne, sangat sering dilibatkan dalam kegiatan sekolah, baik langsung maupun tak langsung. Bahkan disediakan sebuah ruangan di sekolah yang khusus untuk para orang tua yang berkesempatan hadir.
Dalam ruangan tersebut, orang tua bisa saling bertukar pendapat tentang perkembangan belajar anak-anaknya, di samping bersilaturrahmi antar orang tua dan pihak sekolah. Bahkan, ada program-program khusus yang melibatkan dan mengakrabkan orang tua, guru, dan murid-murid. Contohnya, masak-masak bersama. Makanya tidak mengherankan, ketika suatu kali datang mengantar makanan untuk anak-anak, seorang guru yang kebetulan sedang melintas langsung menyapa, “Mau kasih untuk Haikal, kan?” Saya kaget bercampur haru. Rupanya, walau bukan guru kelas anak saya, ia hafal nama anak dan orang tuanya. Itu tentunya tak terlepas dari program kemitraan sekolah-orang tua.
Urgensinya bagi Aceh
Program kemitraan itu perlu dan urgen mengingat banyak anak di Aceh mengalami masalah di sekolahnya, sehingga memerlukan bantuan orang tua. Misalnya, pertama, untuk saling berkomunikasi tentang permasalahan anak-anak. Tak jarang pihak sekolah terkadang pasrah dengan “anak-anak bermasalah”, sedangkan orang tua mengira anak-anaknya tak bermasalah. Kalaupun pihak sekolah memanggil orang tua hanya untuk melaporkan, bukan untuk berkolaborasi dalam rangka memikirkan dan mengikuti perkembangan anak-anak.
Kedua, kehadiran (sebagian) orang tua di sekolah bisa membuat proses belajar mengajar berlangsung baik. Hal ini pernah dilakukan di sebuah SD di Aceh Besar, sewaktu masih ada program DBE (Decentralized Basic Education). Bila ada guru yang suka tidak hadir, langsung disuruh pindah. Memang kadang-kadang, ada jam pelajaran tanpa ada yang mengajar, karena gurunya tak hadir atau guru itu tergolong tipe bermasalah. Akibatnya, anak-anak berkeliaran di luar dan membuat kegaduhan, sehingga mengganggu proses belajar-mengajar di kelas lain. Kalau dilihat orang tua, guru-guru tak mungkin membiarkan jam pelajaran kosong.
Ketiga, kehadiran orang tua juga mempermudah komunikasi tentang perbedaan keadaan murid. Ada murid yang memang memiliki riwayat penyakit tertentu yang membutuhkan perhatian orang tua. Ada juga yang secara fisik lemah, sehingga rentan terhadap penyakit bila terlalu lelah beraktivitas fisik. Karena tidak punya informasi tentang keadaan murid yang sesungguhnya, sebagian guru menyamakan semua anak, sehingga tak jarang anak yang tiba-tiba jatuh sakit dan mengganggu belajar murid tersebut dalam jangka waktu lama.
Keempat, kehadiran orang tua juga bisa membuat pihak sekolah lebih mengenal keadaan sesungguhnya tiap-tiap orang tua muridnya. Ada orang tua yang ekonominya sangat lemah, lemah juga pendidikannya. Ada orang tua yang kaya, tapi sangat sibuk sehingga tak sempat memperhatikan keadaan anak-anaknya dengan baik. Ada orang tua yang menganggap sekolah segalanya, sehingga tak perlu lagi ikut mendidik anak-anaknya. Keadaan orang tua yang beragam, tentunya memerlukan pendekatan yang berbeda-beda pula dalam membicarakan perkembangan anak-anak.
Kelima, hukuman terhadap murid juga akan terkontrol dan bersifat edukatif kalau ada sebagian orang tua di sekolah. Sebagian guru latah menghukum muridnya dengan cara-cara yang berbahaya. Misalnya, disuruh berlari-lari di terik matahari dalam jangka waktu lama saat sedang berlangsung proses belajar mengajar. Tujuannya agar murid kapok dan tak mengulangi lagi kebandelannya. Padahal bila dikomunikasikan dengan orang tua, bisa dipikirkan cara-cara alternatif. Apalagi sebagian orang tua memang punya latar belakang pendidikan tinggi juga, yang mungkin lebih tinggi dari pendidikan guru. Apalagi hukuman bukan tujuan untuk menyakiti, tetapi untuk mendidik.
Keenam, untuk boarding school, kehadiran orang tua bisa memberikan efek positif bagi pembelajaran dan kesehatan anak. Sebahagian pemilik boarding school terlalu berorientasi bisnis, sehingga makanan yang disediakan tidak memenuhi syarat kesehatan. Akibatnya, walaupun pintar, anak-anak sering mengalami sakit karena tak mau makan, apalagi aktivitas siang hingga tengah malam banyak.
Ada juga akibat permainan oknum. Diceritakan oleh seorang pengelola boarding school, ia pernah menemukan sendiri “permainan” oknum yang bertugas dalam pengadaan bahan makanan untuk santri. Si oknum mengambil keuntungan dari setiap pembelian yang dilakukan, sehingga kualitasnya dikurangi oleh penjual. Hal ini diketahui dari inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukannya. Sang pengelola datang langsung ke dapur dan ikut makan bersama santri. Ternyata makanannya tidak memenuhi syarat kesehatan, sehingga oknum tersebut dipecat.