Opini

Yarusalem, Salib, dan Maulid

SEBAGAI kota yang menyimpan banyak sejarah, Yarusalem selalu menjadi daerah perebutan bagi tiga agama

Editor: bakri
MAHASISWA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry melakukan aksi unjuk rasa di Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (12/12). Dalam aksi itu mereka mengecam serta tidak akan pernah setuju pengakuan Yerussalem sebagai ibu kota Israel oleh Donald Trump. 

Oleh Miksalmina Budiman

SEBAGAI kota yang menyimpan banyak sejarah, Yarusalem selalu menjadi daerah perebutan bagi tiga agama (Islam, Yahudi, dan Nasrani). Ini merupakan hal yang wajar, kerena di sana ketiga agama tersebut mempunyai asal-usul lahir dan berkembangnya. Bahkan menurut catatan sejarah, kota Yarusalem pernah berjaya, dihancurkan, dan kemudian dibangun kembali. Penyebabnya tidak lain adalah karena didorong oleh keinginan untuk menguasai kota tersebut secara sepihak.

Setelah raja sang penakluk, Sultan Al-Malik Al-Nashir --nama yang masyhur bagi Salahuddin Al-Ayyubi-- merebut Yarusalem dari tangan Richard dalam Perang Salib, sekitar 1192 M, perebutan tehadap Yarusalem seakan telah berakhir. Para pemeluk ketiga agama dapat hidup damai dengan perjanjian-perjanjian yang ditangani antara Richard dan Salahuddin, hingga kemudian zaman terus berkembang dan Yarusalem berada dalam walayah teritorial Palestina.

Harmonisasi dan damai di antara pemeluk agama mulai terusik, ketika Yahudi yang terusir dari Barat mulai menggarap kepingan tanah Timur, yang terus diperluas dengan cara merampas atau klaim paksa dari tangan orang Islam yang merupakan penduduk Palestina, hingga akhirnya sampailah kepada Yarusalem, kota yang diidam-idamkan sejak lama.

Klaim terhadap Yarusalem oleh Yahudi menjadi topik hangat dalam berbagai surat kabar ternama di dunia, setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mendukung dan mengakui kota suci tersebut sebagai ibu kota Israel. Tentunya, ini merupakan musibah dan pelecehan terhadap umat Islam, sehingga muncul berbagai reaksi penolakan dari umat Islam di berbagai belahan dunia. Jika terus dipaksa, bukan tidak mungkin reaksi penolakan akan lebih dalam, dan sejarah Perang Salib akan kembali terulang.

Perang Salib
Dalam sebagian catatan sejarah, awal mula munculnya Perang Salib mendapat kesamaan antara yang dilakukan oleh Yahudi yang mendapat dukungan dari Trump, dengan apa yang dilakukan oleh Paus Urbanus II pada 1095, yang menyerukan perang suci untuk Yarussalem dari tangan Dinasti Seljuk dari kekuasan Fatimiyah di Mesir, dan didukung oleh sejumlah pemuka Kristen, baik yang ada di Roma maupun di Jerman.

Meskipun pada awalnya perang suci yang diserukan oleh Paus dengan imbalan penghapusan dosa, namun tidak dapat mengalah semangat ummat Islam mati syahid dan imbalan surga indah, biar pun perang yang berjalan lebih kurang dua abad, sempat terjadi kelemahan dan sempat dipukul mundur, namun semangat itu tetap tumbuh disetiap saat hingga akhir Perang Salib menjadi catatan terburuk bagi orang-orang Eropa dan barat yang beragama Yahudi dan Nasrani.

Perang Salib adalah tragedi buruk yang tidak pernah terlupakan sejarah perjalan agama Yahudi dan Nasrani, dan itu parut yang membekas yang surut dihapuskan. Tentunya, mereka tidak ingin mengulangi luka dengan parut yang sedemikian buruk, sudah dapat diprediksi. Perebutan Yarussalem yang sedang berlangsung, telah direncanakan dengan sangat matang dan Perang Salib yang telah lalu adalah sebagai guru rujukan bagi Yahudi.

Begitu juga sebaliknya, kita umat Islam sejatinya tidak ingin parut telah membekas pada kaum sebelah, menimpa pada kita. Yang terjadi dewasa ini, saudara kita di Palestina, yang notabe sebagai tuan rumah dari tempat suci itu sudah sangat tercabik-cabik oleh ulah kaum Yahudi. Secara tidak langsung, apa yang dirasakan oleh mereka merupakan rasa yang sama yang harus kita rasakan, kehilangan Yarusslasem (Al-Quds) adalah kehilangan marwah kita seagama.

Sebagai kota tua, kita juga mengakui bahwa di sana telah terjadi penyakralan dengan bentuk yang beragam, termasuk dengan ritual suci pada fase kenabian sebelum Nabi Muhammad saw. Namun setelah Alquran turun, semua ibadah yang dipraktikkan oleh para Nabi sebelumnya disempurnakan dalam Alquran. Tidak ada lagi penyakralan selain ajuran Alquran, dengan simbol masjid sebagai tempat peribadatan. Maka tidak heran jika kita melihat semangat melawan masyarakat, melebihi dari semangat membela negeri.

Sebagai umat yang beragama sama, sudah barang pasti kita tidak ingin hanya berdiam saja. Dari lubuk hati yang dalam, tentunya kita punya keinginan untuk berjuang bersama dengan saudara kita yang ada di Palestina. Namun terlalu banyak halangan, di samping jarak antara Yarussalem dengan kita, dan kemampuan yang kita miliki. Kata hati memang tetap tidak bisa dibendung. Lalu bagaimana kita bisa memperoleh kejayaan?

Ada sebuah statemen dari para pakar agama Islam, bahwa sebelum kiamat kubra tiba, perang antara Yahudi dan Muslim akan terjadi. Yahudi akan hilang dari muka bumi, dengan kemanangan akan memihak kepada Islam. Saya rasa kita juga pernah mendengarnya pada ceramah atau dakwah yang disampaikan dengan dalih yang sahih. Sepertinya apa yang pernah kita dengar mulai berwujud nyata, namun tidak dijelaskan secara rinci tentang proses peperangan itu sendiri.

Ungkapan yang juga sering kita dengar, bahwa umat Islam itu harus bersatu. Berbagai tawaran disodorkan baik dalam bentuk klasik maupun modern. Namun belum ada satu pun yang menandingi upaya yang dilakukan Salahuddin Al-Ayyubi, menyatukan umat Muslim merebut Yarussalem dan memenangkan Perang Salib. Hingga saat ini nama Salahuddin tidak hanya menjadi keagungan bagi umat Islam, Saladin (panggilan Salahuddin bagi orang Barat) telah menjadi monster yang menyeramkan bagi non Muslim.

Spirit maulid Nabi
Menurut catatan sejarah, sebelum Perang Salib dimenangkan oleh umat Islam, barisan pejuang pernah mengalami kelemahan dan kocar-kacir, kekuatan tidak tersusun rapi. Jika kondisi yang demikian terus berlangsung, maka umat Islam akan sangat sulit memperoleh kemenangan. Apalagi harus melawan pasukan yang dipimpin Godfrey of Bouillon, satu pasukan militer yang terorganisir secara rapi.

Salahuddin yang memahami pasukan lawan, tentunya merasa khawatir dengan kondisi yang demikian, beliau juga sadar bahwa kekuatan Islam akan kembali pulih dengan bersatu. Secara pelan beliau kembali mengobarkan semangat dengan menyerukan umat Islam untuk berselawat atas Rasulullah saw. Upaya tersebut membawakan hasil, umat Islam kembali bersatu dan membentuk sebuah kekuatan besar yang melumatkan pasukan Godfey, yang terorganisir secara rapi.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved