Breaking News

Jurnalisme Warga

Peran Ahli Gizi Dalam Penyelenggaraan MBG

Tak terbantahkan bahwa penyediaan MBG merupakan investasi jangka panjang sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia ke depan

Editor: mufti
IST
SRI MULYATI MUKHTAR, M.K.M., Promotor Kesehatan Masyarakat pada Instalasi Gizi RSU Cut Meutia Aceh Utara dan Anggota Persagi, melaporkan dari Instalasi Gizi RSU Cut Meutia, Aceh Utara 

SRI MULYATI MUKHTAR, M.K.M., Promotor Kesehatan Masyarakat pada Instalasi Gizi RSU Cut Meutia Aceh Utara dan Anggota Persagi, melaporkan dari Instalasi Gizi RSU Cut Meutia, Aceh Utara

Reportase ini saya tulis terinspirasi dari pengamatan terhadap penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berlangsung di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, serta maraknya berita kasus keracunan makanan dari program MBG di berbagai daerah.

Kini MBG telah menuai pembicaraan hangat di ranah publik dari berbagai kalangan. Tak terbantahkan bahwa penyediaan MBG merupakan investasi jangka panjang sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) ke depan dengan menekan kejadian stunting (tengkes) dalam memperkuat daya saing bangsa.

Di sisi lain, berbagai persoalan muncul di balik penyelenggaran MBG ini. Sejatinya setiap penyelenggaraan makanan skala besar memiliki risiko tinggi terjadi pencemaran makan dan berakibat terjadinya keracunan, diare, mual, dan muntah. Hal ini disebabkan jika terjadi pencemaran pada salah satu rantai makanan bisa saja terjadi mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan pangan, pengolahan hingga saat distribusi makanan.

Di sinilah perlunya melibatkan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), yaitu para ahli gizi. Peran ahli gizi sangat krusial sejak perencanaan menu sesuai dengan standar gizi seimbang sampai monitoring dan evaluasi penyelenggaraan makanan.

Kurangnya keterlibatan ahli gizi pada setiap lini ini akan berujung pada masalah kualitas dan keamanan pangan, ketidaksesuain antara menu dengan selera anak, serta kesulitan dalam pengawasan dan distribusi yang baik. Peran ahli gizi dalam program ini tidak bisa dianggap remeh. Keahlian mereka sangat dibutuhkan dalam menjaga standar mutu layanan.

Selain itu, para ahli gizi juga ditugaskan untuk memilih bahan makanan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Makanan bersumber pangan lokal menjadi prioritas agar program ini tidak hanya menyehatkan masyarakat, tapi juga ikut menjaga Bumi.

Peran lainnya dari ahli gizi adalah dapat mengurangi ‘food waste’ (limbah makanan) dan dapat memanfaatkan keahliannya untuk mendidik masyarakat tentang strategi efektif meminimalkan limbah atau sampah makanan tersebut. Misalnya, dengan memberikan panduan tentang teknik penyimpanan makanan yang tepat untuk memperpanjang umur simpan barang yang mudah busuk.

Selain itu, juga tentang perencanaan makan dan kontrol porsi untuk mencegah pembelian berlebihan dan limbah berikutnya.

Ahli gizi tentunya paham betul tentang proses penyelenggaraan makanan, dari sejak pemilihan bahan makanan. Keracunan bisa terjadi mulai dari pemilihan bahan makanan, pengolahan, hingga distribusi makanannya. Potensi peluang kasus keracunan ada pada titik kritis dalam proses pemasakan dan pendistribusian. Higienitas sanitasi penjamah makanan, peralatan, bangunan dan sanitasi lingkungan juga memegang peranan penting.

Tentu saja memasak dalam jumlah besar perlu dibarengi dengan peralatan yang besar dengan proses memasak sekali masak, sehingga makanan tidak terlalu lama waktu tunggu sampai dengan distribusi kepada siswa. Durasi ‘holding time’ (lama waktu penyimpanan makanan) juga menjadi titik kritis, di mana lama waktu penyimpanan maksimal empat jam, lebih dari itu sebaiknya dipanaskan ulang.

Makanan panas yang langsung ditutup pun juga meningkatkan risiko makanan karena adanya uap panas yang terjebak di dalam wadah dan akan terbentuk air embun. Kondisi ini menyebabkan suhu dalam wadah makanan akan turun secara perlahan dan pada suhu berbahaya  <60>

Selain itu, seorang ahli gizi akan menerapkan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) untuk mencegah, mengandalikan, dan meminimalkan risiko bahaya keamanan pangan.

Pemeriksaan rutin sampel makanan yang disimpan selama 24—48 jam untuk antisipasi adanya kejadian luar biasa (KLB) terkait cemaran mikrobiologis dan kimia pada makanan

Penyimpanan bahan makanan juga dilakukam sesuai sifat bahan dengan prinsip pada First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO). Pengolahan bahan makanan yang higienis sampai matang (>75 oC). Distribusi dan penyajian yang aman (<5>60 oC untuk makanan panas). Dilakukam juga pengambilan sampel makanan untuk antisipasi adanya KLB.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved