Breaking News

Abdullah Puteh Perjelas Status Wakaf Baitul Asyi

Gubernur Aceh periode 2000-2004, Dr Abdullah Puteh MSi merasa terpanggil menjelaskan status wakaf Baitul Asyi

Editor: bakri
SERAMBITV.COM
Abdullah Puteh 

* Harus Diurus Nazir sampai Kiamat

BANDA ACEH - Gubernur Aceh periode 2000-2004, Dr Abdullah Puteh MSi merasa terpanggil menjelaskan status wakaf Baitul Asyi setelah mencuat polemik tentang

keinginan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Indonesia untuk ikut berinvestasi dalam pengelolaan wakaf Aceh berupa Baitul Asyi di Mekkah.

Menurutnya, yang berhak mengelola wakaf rumah-rumah Aceh di Mekkah, Arab Saudi, adalah nazir (orang atau badan hukum yang bertugas memelihara dan mengurus benda wakaf) yang ditunjuk pihak pewakaf.

“Nah, yang mengurus wakaf Aceh di Mekkah itu adalah nazir dan itu dilakukan secara turun-temurun sampai kiamat tiba,” kata Abdullah Puteh yang menghubungi khusus Serambi via telepon dari Jakarta, Selasa (13/3) sore.

Frasa “sampai kiamat tiba”, menurut Abdullah Puteh, ia temukan dalam sarakata setebal tiga halaman yang diperlihatkan Syekh Abdurrani Asyi kepadanya tahun 2002 di Mekkah. Saat itu Puteh berhaji. Ia memboyong Prof Alyasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam Aceh saat itu) dan Abu Madinah yang keduanya mahir berbahasa Arab sebagai pendamping merangkap penerjemah.

Setelah dilakukan lobi, mereka bertiga akhirnya diterima nazir Baitul Asyi saat itu, yakni Syekh Abdurrani Asyi, di rumahnya. Dia keturunan Aceh, sedangkan istrinya orang Madinah. Sang nazir itulah yang menerangkan kepada Puteh–melalui penerjemah, Abu Madinah–bahwa rumah wakaf Aceh di Mekkah tidak hanya satu. Rumah-rumah itu diwakafkan oleh Habib Abdurrahman Al-Habsyi atau Habib Bugak Asyi. Sedangkan para nazir merupakan keturunan Habib Bugak yang mengemban amanah itu secara turun-temurun sampai kiamat.. “Jadi, kalau kini ada pihak lain yang ingin mengambil alih pengelolaannya, sangatlah tidak mungkin,” imbuh Puteh.

Kepada Puteh juga diterangkan oleh Syekh Abdurrani Asyi bahwa tanah wakaf Habib Bugak itu awalnya sangat dekat dengan Masjidil Haram. Kapling tanah itu bahkan terkena perluasan Masjidil Haram, tepatnya saat koridor untuk sa’i dibangun. Pemerintah Arab Saudi akhirnya memberikan ganti rugi (kompensasi) terhadap tanah tersebut. Lalu pihak nazir membeli persil tanah baru di tempat lain, tapi tetap tak begitu jauh dari Masjidil Haram.

Saat Puteh bertemu Syekh Abdurrani Asyi tahun 2002, pria berdarah Aceh itu sedang menjabat Sekretaris Bulan Sabit Internasional. Dialah yang dilobi Puteh agar menyetujui untuk memberikan dana kompensasi penginapan bagi jamaah haji asal Aceh yang dananya bersumber dari pengelolaan Baitul Asyi. “Nah, dana Baitul Asyi itu kemudian dibagikan kepada setiap jamaah haji asal Aceh meski bukan lagi pada masa saya menjabat gubernur,” kata Abdullah Puteh.

Dari sarakata yang dibacakan Syekh Abdurrani Asyi kepadanya, kata Puteh, tahulah dia bahwa wakaf Aceh itu bukanlah wakafnya Indonesia. Bahkan ketika diwakafkan Habib Bugak pada 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 Masehi), Indonesia saja belum merdeka.

Berdasarkan data yang tertera dalam sarakata itu, ungkap Puteh, Habib Bugak Asyi datang kepada hakim Mahkmah Syar’iyah Mekkah, lalu di depan hakim ia nyatakan keinginannya mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat: rumah tersebut dijadikan tempat tinggal bagi jamaah haji asal Aceh (biladil Asyi) yang datang ke Mekkah dan tempat tinggal orang asal Aceh (mukimin min biladil Asyi) yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk berhaji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar Jawi (muslimin Asia Tenggara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari muslimin Asia Tenggara pun tak ada lagi yang belajar di Mekkah, maka rumah wakaf diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.

Nah, dari ikrar wakaf itu, ulas Puteh, sangatlah jelas bahwa Baitul Asyi itu diperuntukkan pertama-tama bagi jamaah haji asal Aceh. “Jadi, tak ada celah bagi BPKH dan pemerintah pusat untuk mengambil alih hak pengelolaannya. Lagi pula selama ini pengelolaannya oleh nazir Aceh di Mekkah sudah cukup baik,” tukas Puteh.

Tapi, seperti diungkapkan Puteh, ia juga tahu bahwa niat dari Koordinator BPKH RI, Anggito Abimanyu sebetulnya bukanlah untuk mengambil alih pengelolaan wakaf Aceh di Mekkah, melainkan untuk ikut menyertakan modal dalam pengelolaan Baitul Asyi.

“Niat itu sebetulnya baik untuk meningkatkan keuntungan usaha. Menurut saya, peluang itu ada, tapi tidak bisa langsung. Haruslah menggunakan jasa dan atas persetujuan nazir. Ya semacam sharing sahamlah. Tapi itu harus menurut ketentuan hukum Arab Saudi,” kata Abdullah Puteh.

Suami Marlinda Purnomo itu sekitar enam tahun lalu mengaku dapat kabar duka bahwa Syekh Abdurrani Asyi yang pernah ditemuinya di Mekkah itu, meninggal dunia. Status nazirnya kemudian dialihkan kepada Syekh Muhammad Asyi yang pernah menjabat Menteri Wakaf Arab Saudi.

Kemudian Puteh juga mendapat kabar lain bahwa rumah-rumah wakaf Aceh yang tahun 2002 lalu masih berupa losmen kelas melati dua, kini satu per satu berubah menjadi hotel yang menjulang tinggi dan mampu menampung ribuan penginap. Di antaranya Hotel Ramada dan Hotel Elaf. Tak heran kalau BPKH RI tertarik berinvestasi di sini. (dik)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved