MaTA Pegang Janji Irwandi untuk Transparansi Proyek

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendukung komitmen Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang akan melaksanakan lelang proyek

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto MaTA Pegang Janji Irwandi untuk Transparansi Proyek
ALFIAN, Koordinator MaTA

* APBA 2018 Efisien dari Sisi Jumlah Rugi dari Nilai Riil

BANDA ACEH - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendukung komitmen Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang akan melaksanakan lelang proyek APBA 2018 secara transparan, akuntabel, tanpa intervensi, dan bebas fee.

“Idealnya memang harus seperti itu. Kita pegang janji dan komitmen Gubernur Irwandi,” kata Koordinator MaTA, Alfian kepada Serambi, Jumat (23/3) menanggapi pernyataan Irwandi Yusuf yang akan melaksanakan sistem terbuka dalam lelang maupun penetapan pemenang proyek APBA 2018.

Alfian mengatakan, tata kelola pemerintahan yang tertutup cenderung membangun dinasti korup. Buktinya, sudah banyak gubernur, bupati/wali kota, anggota legislatif dan pengusaha jadi sasaran operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap dan korupsi oleh KPK.

Pernyataan gubernur mempersilakan DPRA, LSM, dan masyarakat untuk mengawasi lelang proyek dan pelaksanan di lapangan, menurut Alfian itu menjadi kewajiban, terutama bagi DPRA. Lembaga lain yang memiliki fungsi pengawasan adalah BPK, BPKP, Inspektorat. Jika terindikasi ada dugaan tindak pinada korupsi, menjadi kewenangan jaksa, Polri, dan KPK untuk meneruskannya sampai ke pengadilan.

“Yang menjadi pertanyaan adalah pernyataan ketua dan anggota DPRA yang akan mengawasi secara ketat pelaksanaan APBA 2018. Jadi lucu dan tertawaan, apakah selama ini anggota DPRA tidak mengawasi atau karena dipergubkan dan aspirasinya tidak masuk langsung emosi dan menyatakan akan mengawasi secara ketat,” tandas Alfian.

MaTA berharap kepada DPRA agar menjalankan tugas dan fungsi yang diamanahkan rakyat dengan jujur dan ikhlas. Sedangkan kepada Gubernur Aceh dan SKPA, juga diharapkan bekerja jujur dan ikhlas dalam melayani masyarakat agar masyarakat bisa tersenyum menikmati hasil pembangunan.

Rugi
Pengamat ekonomi regional, Rustam Efendi menilai Aceh rugi dari sisi nilai riil menyangkut akumulasi APBA 2018. Kerugian itu minimal dari sisi prediksi kenaikan inflasi yang biasanya mencapai 10 persen. “Intinya secara riil, nilai uang yang ada tak setara lagi dengan nilai APBA 2017, karena terjadi pertambahan nilai pada harga di lapangan,” kata Rustam saat menjadi narasumber program ‘Cakrawala’ membedah Salam Serambi ‘Pergub APBA, Akan Efisienkah?’ di Radio Serambi FM 90,2 MHz, Jumat, kemarin.

Menurut Rustam, kerugian nilai riil itu setidaknya sebesar nilai inflasi. Seharusnya keputusan Mendagri untuk melegitimate APBA melalui dasar hukum Pergub itu juga memakai pertimbangan prediksi inflasi. Dengan cara itu, bisa jadi angka Rp 230 miliar yang ‘dipangkas’ oleh Kemendagri justru masuk dalam besaran APBA 2018.

Seperti diberitakan, Mendagri Tjahjo Kumolo telah menyetujui usulan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang APBA 2018 dengan pagu belanja total Rp 15,194 triliun.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA), Jamaluddin melalui harian ini merincikan, belanja pembangunan tahun 2018 yang disetujui Mendagri sebesar Rp 15,194 triliun, lebih besar dari pagu belanja RAPBA-P 2017 Rp 14,911 triliun. Ini disebabkan karena tahun ini ada sumber penerimaan dana transfer pusat untuk Aceh yang bertambah jumlahnya, antara lain dana otsus.

Menurut Rustam, diakui atau tidak, tereliminasinya angka Rp 230 miliar itu juga karena ‘lemah’nya posisi tawar para pengusul anggaran itu sendiri. Namun diakui jika pergub tersebut memang untuk saat ini adalah solusi terakhir yang tepat, walau tetap saja bukan yang terbaik. “Bagaimanapun, jika selama APBA masih dalam ketidakpastian, rakyat di level akar rumput mendesah kepayahan, sedangkan para elite hanya gelisah,” tutur Rustam dalam nada bersayap.

Ditambahkan, angka APBA pada posisi Rp 15,1 triliun juga membuat Aceh makin susah dalam mengefektifkan sasaran anggaran. Karena kondisi Aceh yang masih butuh akumulasi anggaran dalam jumlah besar. Misalnya untuk pembenahan dan pembangunan infrastrutur dasar, keterbatasan lowongan kerja, hingga maksimalisasi sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan.

Dari sisi lain mengingatkan semua pihak di Aceh untuk membangun komunikasi yang lebih cair. Karena hal itu bukan hanya dibutuhkan untuk pengesahan anggaran, namun lebih jauh untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik, bermartabat serta sejahtera di kemudian hari. “Jika memang tetap saja gagal, jangan malu memakai mediator dari orang orang yang dituakan di Aceh. Bukankah kita masih memiliki figur seperti itu, bukan justru melibatkan pihak yang tak punya kultur keacehan itu sendiri,” demikian Rustam Efendi.(her/nur)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved