Opini

Keluarga Rentan Ancam Masyarakat Aceh

SAAT ini kerentanan keluarga di Aceh telah menimbulkan kegelisahan. Beberapa masalah sosial seperti remaja dan narkoba, prostitusi anak

Editor: hasyim
SERAMBINEWS.COM/IDRIS ISMAIL
Bupati Pidie, Roni Ahmad atau Absyik (Kiri) bersama Unsur Muspida Plus membakar Barang Bukti (BB) ganja sebanyak 411 Kg yang disita dari lima pelaku, Rabu (21/3/2018) di halaman Sat Narkoba Polres Pidie. 

Oleh Rasyidah

SAAT ini kerentanan keluarga di Aceh telah menimbulkan kegelisahan. Beberapa masalah sosial seperti remaja dan narkoba, prostitusi anak, pergaulan bebas, pornografi-pornoaksi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain, dianggap terkait erat dengan lemahnya ketahanan keluarga.

Keluarga yang memiliki ketahanan yang baik, berpotensi menjadi ruang komunikasi, dan kontrol yang saling menguatkan bagi anggotanya. Sebaliknya, keluarga yang rentan tidak mampu menjadi benteng, dan anggotanya gampang terpapar pengaruh buruk, saling menyalahkan dan mencari pelarian sebagai alternatif kebahagian.

Ketahanan keluarga
Menurut pakar keluarga, Chapman, lima tanda ketahanan keluarga adalah: Adanya sikap melayani sebagai tanda kemuliaan; Keakraban suami istri menuju kualitas perkawinan yang baik; Orang tua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif, konsisten, dan mengembangkan keterampilan; Suami istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih sayang; Anak anak yang mentaati dan menghormati orang tuanya.

Sementara menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) No.6 Tahun 2013, ada lima dimensi pengukur ketahanan keluarga, yaitu: (1) landasan legalitas dan keutuhan keluarga, (2) ketahanan fisik, (3) ketahanan ekonomi, (4) ketahanan sosial psikologi, (5) ketahanan sosial budaya.

Jika kita melihat bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Aceh, maka kekhawatiranlah jawabannya, karena ternyata kondisi keluarga di Aceh adalah rentan. Kerentanan terkait tertib administrasi; menurut data Profil Perkembangan Kependudukan Aceh 2017, dari 2.142.007 jumlah perkawinan di Aceh hanya 20% yang memiliki Akta Perkawinan. Padahal Akta Perkawinan menjadi prasyarat bagi setiap keluarga untuk mendapatkan haknya, serta layanan pembangunan yang terkait dengan status perkawinan.

Selain itu, kepemilikan Akta Lahir di Aceh juga rendah, hanya 38%. Sama halnya dengan kepemilikan Akta Perceraian. Pada 2016, hanya 7.032 penduduk (2,76%) dari penduduk berstatus cerai yang memiliki Akta Perceraian. Rendahnya kepemilikan Akta Nikah, Akta Kelahiran dan Akta Perceraian mengindikasikan rentannya landasan legalitas keluarga.

Selain keluarga terhalang mendapatkan haknya, kondisi ini juga berpeluang menimbulkan kesemrawutan status pernikahan, yang memungkinkan baik perempuan atau laki-laki menelantarkan tanggung jawabnya di satu keluarga, dan memulai keluarga lainnya secara sirri. Fakta menunjukkan, banyak keluarga yang terlantar karena suami atau istri meninggalkan perkawinan dan melepaskan tanggung jawabnya, untuk kemudian menikah lagi dengan status lajang.

Fenomena lainnya adalah tingginya persentase pernikahan dini di Aceh. Menurut data, Aceh Dalam Angka 2016, terdapat 3,08% perempuan yang menikah di usia 15 tahun, dan 19,53% yang menikah di usia 16-18 tahun. Ini berarti ada 23% pernikahan yang terjadi adalah pernikahan anak, di mana perempuannya berusia 18 tahun ke bawah. Jumlah ini tergolong banyak dan identik dengan pernikahan yang rentan perceraian. Pernikahan dini juga berkonstribusi memperpanjang siklus kemiskinan, khususnya pada kasus married by accident. Di mana baik suami dan istri yang sama-sama usia anak, terpaksa putus sekolah dan serta-merta menjadi ayah dan ibu di usia yang seharusnya masih menikmati kasih sayang sebagai seorang anak, dan tergantung secara ekonomi.

Kerentanan keluarga di Aceh juga terindikasi dari diharmonisasi keluarga. Menurut data Profil Gender di Aceh 2017: empat bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) yang paling dominan terjadi selama dua tahun terakhir adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini mengindikasikan rumah tangga menjadi lokasi terjadinya kekerasan yang paling tinggi.

Padahal sejak 2004, telah ditegaskan dalam UU No.23 Tahun 2004, bahwa “penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Namun setelah 13 tahun penerapannya, KTP di rumah tangga masih menjadi jenis kekerasan yang paling banyak.

Menurut data Profil Gender 2017, diketahui bahwa pada 2016, setiap dua hari, ada satu perempuan di Aceh yang mengalami KDRT. Hal ini berdampak langsung terhadap ketahanan keluarga. Harapan banyak pasangan dan doa karib-kerabat agar pernikahan mencapai kebahagiaan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, serta-merta menjadi mimpi.

Hasil kajian, juga mengetengahkan fenomena perselingkuhan di beberapa daerah yang nyaris tidak tersinggung kontrol sosial. Istri di rumah menerima suami orang lain untuk sekadar bercerita, atau suami yang berangkat dari rumah dengan niat bekerja, tetapi mampir di rumah atau café tertentu dengan istri orang lainnya. Karena banyak terjadi, lalu menjadi biasa dan nyaris dianggap benar. Miris memang mengetahuinya dan berharap informasi ini salah, tetapi realitasnya ini ada di tengah kita.

Modus selingkuh di perkantoran juga muncul. Istilah kunci seperti “bochi” atau bobok siang, menggambarkan realitas perselingkuhan di kantor ketika siang hari, di saat sebagian pegawai istirahat pulang. Untuk penyamaran, ada pula kasus pasangan selingkuh yang memarkirkan kendaraannya di masjid-masjid atau rumah sakit, lalu berangkat ke tempat tertentu dengan kendaraan lain, bahkan pindah kota dengan pesawat.

Autis sosial
Kerentanan lainnya adalah kondisi keluarga dengan autis sosial. Keluarga autis sosial yang dimaksud adalah lemahnya kondisi bersosial keluarga di dunia nyata karena gadget. Negara Asia Tenggara adalah negara yang paling banyak menghabiskan waktu dengan media sosial, yaitu 5 jam perhari. Masyarakat Aceh juga konsumen gadget dengan penggunaan waktu yang cukup tinggi. Sehingga meski anggota keluarga berada pada saat bersamaan di rumah, tetapi interaksi tidak terjadi. Maka komunikasi terputus dan masing-masing anggota keluarga, sesungguhnya sedang saling menjauh satu sama lain. Orang tua menjadi awam dengan masalah yang dihadapi anaknya, dan anak menjadi canggung berkomunikasi dengan orang tuanya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved