Opini
Memutus Mata Rantai Prostitusi
IBARAT simbiosis mutualisme, prostitusi tersembunyi melakukan aksinya tanpa diketahui oleh warga setempat, bahkan bertahan hingga setahun lamanya
Oleh Trisna Wati
IBARAT simbiosis mutualisme, prostitusi tersembunyi melakukan aksinya tanpa diketahui oleh warga setempat, bahkan bertahan hingga setahun lamanya. Begitulah yang terjadi baru-baru ini di tanah nanggroe, Meulaboh, Aceh Barat. Aksi prostitusi tercium setelah adanya laporan dari warga setempat.
Tak ayal pelaku pun terciduk sesuai dugaan. Di mana pasangan suami istri SN (41) dan SR (38) berperan sebagai mucikari dan R (15) sebagai pemberi jasa seks. Tidak ada paksaan semua peran dijalankan sesuai keinginan (AJNN.net).
Berdasarkan pengakuan SR bahwa kegiatan ini “prostitusi” berjalan karena R membutuhkan uang dan ditawarkan untuk menjadi pekerja seks komersial (PSK). Tanpa menolak dengan tanpa paksaan R menerima tawaran tersebut.
Tak hanya sekali dua kali kegiatan ini pun berjalan lancar karena ada yang mengingginkannya. Ya... ada yang menginginkannya. Mereka para lelaki yang haus akan nafsu setan dengan hanya mengandalkan uang Rp 500.000, kegiatan itu pun berjalan mulus tanpa ketakutan akan dosa dan siksa akhirat.
Mucikari, PSK dan lelaki hidung belang ibarat mata rantai yang tak terpisahkan satu sama lain. Merasa saling menguntungkan satu sama lain, dan masing-masing merasa tidak ada yang dirugikan.
Tidak gampang
Memutus mata rantai prostitusi tidak segampang membalikkan telapak tangan. Kemaksiatan ini akan terus berulang ketika tidak ada hukum yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelakunya dan pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan hal serupa.
Dibutuhkan tiga unsur pemutus mata rantai prostitusi, yaitu: Pertama, ketakwaan individu. Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt sejatinya akan menjadi pencegah individu untuk melakukan kemaksiatan. Ia menjaga dan memelihara diri dari siksa dan murka Allah Swt dengan jalan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi semua larangan-Nya.
Menjauhi semua kemaksiatan dan taat kepada Allah Swt baik dalam keadaan sembunyi dan terang-terangan. Orang tua memiliki kewajiban untuk memahamkan anaknya tentang iman dan taqwa sehingga anak bisa terhindar dari kemaksiatan. Sehingga tidak gampang terjerumus kekubangan zina hanya karena rupiah.
Kedua, kontrol masyarakat. Masyarakat memiliki peranan yang sangat urgen dalam memutus mata rantai prostitusi. Tentu dengan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapa saja yang berisiko melakukan kemaksiatan. Masyarakat harus memiliki perasaan dan pemikiran, serta peraturan yang sama dalam hal memandang kemaksiatan, sehingga segala bentuk perbuatan yang melanggar hukum Islam akan senantiasa di amar ma’rufi.
Dan, ketiga, negara. Negara memiliki fungsi sebagai penjaga, yaitu menjaga umat agar terhindar dari perbuatan melanggar syariat Allah Swt, dengan menjalankan fungsi syariah yang seharusnya sebagai jawabir (penebus dosa akhirat) dan jawazir (pencegah terulangnya kemaksiatan) yang keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar dari hukum Islam.
Perbuatan zina diharamkan dalam syariat Islam, termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini. Firman Allah Swt, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isrâ: 32).
Dan zina dihukumi berbeda sesuai statusnya belum menikah atau telah menikah. Allah Swt berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 2).
Dalil lainnya, dari Abu Hurairah ra bahwasanya “Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhari).
“Rasulullah saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina: Apakah engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab: Ya. Kemudian Nabi bersabda lagi: Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR. Bukhari Muslim).