Opini
Mahasiswa Cerdas
KASUS prostitusi online yang terungkap beberapa waktu lalu melibatkan mahasiswa
(Lifestyle vs Lifeskill)
Oleh Lailatussaadah
KASUS prostitusi online yang terungkap beberapa waktu lalu melibatkan mahasiswa. Lima dari tujuh yang ditangkap adalah mahasiswa dan semuanya berasal dari Aceh, Simeulue, Bireuen, Aceh Tengah, dan Kota Banda Aceh (Serambi, 24/3/2018). Mahasiswa yang terlibat dalam prostitusi rata-rata beralasan karena desakan hidup dan untuk pemenuhan kebutuhan lifestyle.
Kondisi ini memiriskan hati masyarakat Aceh dan merusak nama baik institusi pendidikan tinggi di Aceh sebagai lembaga penghasil human resources bagi masa depan Aceh. Pada tingkat yang lebih serius, hal ini dapat memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi yang ada di Aceh, karena dianggap gagal membina etika mahasiswanya.
Padahal, citra mahasiswa dua dekade lalu sangat baik di mata masyarakat. Mereka disegani karena pengetahuan dan sikap kritis yang mereka miliki. Ketika itu, mahasiswa selalu berada di garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas. Mereka pembela kebenaran dan peduli terhadap berbagai bentuk kezaliman yang dilakukan oleh kekuasaan. Runtuhnya Orde Baru yang dianggap otoriter pada 1998 merupakan karya nyata mahasiswa zaman old termasuk mahasiswa Aceh.
Pola hidup konsumtif
Mahasiswa zaman now memiliki karakter yang jauh berbeda dengan pendahulunya. Perkembangan teknologi menjadi pemicu lahirnya kehidupan hedonis yang menawarkan kemewahan dalam segala bidang yang salah satu cirinya tercermin dari pola hidup konsumtif. Sifat konsumtif adalah tindakan membeli barang tanpa perhitungan akan tingkat kepentingan barang tersebut, sehingga tak jarang berlebihan (Hotpascaman Simbolon, 2010: 3) yang dalam bahasa agama disebut mubazir.
Kemewahan dianggap berkelas dan berharga. Mahasiswa yang tidak mampu memaknai hidup dengan bijak, akan mudah terperangkap dalam iklim yang tidak islami ini, sehingga mereka lebih memilih beli handphone terkini, pakaian mahal, perhiasan bermerek, make-up ala artis, dan liburan ke luar negeri dari pada memenuhi kebutuhan kuliah yang sebenarnya lebih penting.
Karena kemewahan berharga mahal, mahasiswa yang pendek akal memilih potong kompas untuk mendulang uang banyak dan bersifat segera. Berharap pada kiriman orang tua, tentu tak semua orang tua mampu membiayai kebutuhan “kelas atas” si mahasiswa yang mencapai jutaan rupiah per bulan. Apabila berharap pada penghasilan kerja nyambi kuliah tidak mungkin terpenuhi. Sebab pekerjaan part time dengan gaji jutaan sulit didapat.
Akhirnya, mahasiswa nekad menghalalkan segala cara demi meraup uang instan untuk mewujudkan kemewahan lalu narsis di medsos dan mendapat jempol dari ratusan bahkan ribuan follower sebagai referensi gaya hidup online. Penghargaan seperti ini membuat mahasiswa tersanjung sampai ke langit ketujuh.
Maka prostitusi dianggap sebagai jalan pintas yang mampu menjamin keuntungan besar dalam waktu singkat oleh sebagian mahasiswa, agar tetap eksis dalam pergaulan offline maupun online. Jalan lain yang juga kerap dijadikan objek pekerjaan mahasiswa adalah aksi penipuan. Sebagian mahasiswa memanfaatkan kecantikan dan kegantengannya untuk mengeruk uang lawan jenis yang menyukai mereka melalui berbagai modus operasi.
Beberapa teman saya telah menjadi korban kenakalan model ini. Hal ini tentu saja tidak patut dilakukan oleh kaum terpelajar seperti mahasiswa karena kampus mendidik mereka untuk mampu memilah antara yang hak dan batil.
Kenakalan mahasiswa baik berupa praktik prostitusi maupun praktik penipuan, tidak lantas bermakna kampus di Aceh telah kehilangan fungsinya. Sejak didirikan sampai sekarang, kampus masih menjalankan fungsinya sebagai tempat mendidik generasi agar dewasa dalam berpikir, berpengetahuan dan beretika. Tidak ada satu pun kampus yang mengajari mahasiswa untuk berprilaku hedonis maupun materialis. Sebab, kedua sikap tersebut bukan hanya bertentangan dengan agama, melainkan merusak nilai budaya bangsa (Koentjaraningrat, 1982).
Mahasiswa sejatinya mampu memaknai posisinya sebagai generasi penerus bagi masa depan Aceh. Baik tidaknya Aceh ke depan tergantung dari apa yang mereka tanam hari ini sebagai bekal masa depan. Orang Arab mengatakan man yazra’ yahshul. Siapa yang menanam akan menuai. Apabila mahasiswa menanam hedonisme, masa depan Aceh akan hedonis. Demikian pula jika mahasiswa menanam pengetahuan dalam dirinya, niscaya peradaban Aceh masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang telah hilang akan kembali di masa depan.
Sembilan kecerdasan
Setidaknya, ada sembilan kecerdasan yang harus dimiliki mahasiswa agar terhindar dari prilaku negatif seperti prostitusi dan menipu. Merujuk Mac Gilchist, et al (2004), kesembilan kecerdasan tersebut adalah: Pertama, kecerdasan etika. Kecerdasan ini menjunjung tinggi kebenaran, adil, hormat kepada orang lain dan bertanggung jawab; Kedua, kecerdasan spiritual. Ia berupa mencari makna hidup hakiki, berakhlak mulia termasuk iman dan takwa; Ketiga, kecerdasan kontekstual yaitu memahami lingkungan lokal, regional, nasional dan global;
Keempat, kecerdasan operasional berpikir strategis, mengembangkan perencanaan, mengatur manajemen, dan mendistribusikan kepemimpinan; Kelima, kecerdasan emosional: mengenal diri sendiri, mengenal diri orang lain, mampu mengendalikan emosi, dan mengembangkan kepribadian. Jika merujuk pada hadis siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal penciptanya; Keenam, kecerdasan kolegal; komitmen terhadap tujuan bersama, mengetahui kreasi, pembelajaran multilevel dan membangun kepercayaan;
Ketujuh, kecerdasan reflektif: menyediakan waktu untuk refleksi, evaluasi diri, mempelajari secara mendalam, dan menerima umpan balik untuk perbaikan; Kedelapan, kecerdasan pedagogik: memantau dan menilai setiap kebijakan yang diberikan dalam pengambilan keputusan sebagai penyelenggaraan pendidikan Nasional, dan; Kesembilan, kecerdasan sistematik: memberi contoh model mental, berpikir sistem, mengorganisasi diri sendiri, dan mengefektifkan jaringan kerja.