Aktivis dan Warga Tolak Proyek PLTA Tampur
Aktivis lingkungan bersama warga di Kabupaten Aceh Tamiang menolak pembangunan mega proyek pembangkit listrik tenaga air
* Langgar Aturan Perizinan
* Ancam Keberlangsungan Hidup Manusia dan Satwa
KUALASIMPANG - Aktivis lingkungan bersama warga di Kabupaten Aceh Tamiang menolak pembangunan mega proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Tampur yang telah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan di Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Pembangunan PLTA yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu dinilai akan mengganggu hajat hidup warga di sekitar proyek yang hidup dari hasil mencari ikan di sungai Tamiang, dan akan merusak habitat gajah Sumatera serta flora/fauna di KEL, dan lebih parah lagi proyek ini ternyata melanggar aturan perizinan.
Riswan Zein, Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) menyampaikan bahwa mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer. Sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan flora/fauna di kawasan itu. Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
“Lembah Sungai Lesten akan digenangi air bendungan PLTA itu merupakan koridor jelajah satwa yang sangat penting, khususnya untuk kawanan Gajah Sumatera. Jika digenangi air, koridor tersebut akan putus total dabn mendorong semakin banyak kawanan gajah yang turun ke permukiman warga, dan populasi gajah berpotensi punah,” kata Riswan.
Selain dampak ekologis, ia menambahkan beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA. Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yang dikeluarkan oleh PT Kamirzu selaku perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 Ha. Untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun. “Dalam waktu tersebut, bisa dipastikan 50 persen desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan yang sangat parah,” ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault), menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter itupun berpotensi jebol, dan bisa menelan banyak korban jiwa, hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir. “Di wilayah ini tercatat telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan. Karena itu, semakin tinggi tekanan air terhadap bendungan, akan semakin berisiko untuk jebol. Kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan seperti yang sering terjadi,” ujar Riswan.
Rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. M Fahmi, Tim Legal dari Yayasan HAkA mengungkapkan bahwa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan oleh PT Kamirzu, tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya terkait lingkungan hidup dan kehutanan.
Karena berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh menteri terkait berdasarkan permohonan. Dalam aturan tersebut, menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non-komersial dengan luas paling banyak lima hektare. Sedangkan proyek ini sudah dipastikan menggunakan kawasan hutan lebih dari lima hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat nonkomersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
Dalam jangka waktu yang sudah diberikan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak Surat Keputusan Gubernur Aceh diterbitkan, PT Kamirzu juga belum dapat menunjukkan data pendukung yang ditentukan. Sehingga izin pinjam pakai kawasan hutan yang dijaukan setahun lalu itu seharusnya batal dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Oleh karena itu, izin pinjam pakai kawasan hutan ini sudah seharusnya dicabut dan pemegang izin dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan, karena pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam izin ini.
“Kami juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terkait pembangunan PLTA Tampur. Selain itu, bersama dengan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH), kami juga akan menempuh jalur pidana apabila dalam masa tidak berlakunya IPPKH masih ditemukan adanya aktivitas penebangan pohon ataupun pengangkutan alat berat di wilayah proyek PLTA Tampur,” jelas M Fahmi.
Masyarakat yang tinggal di hilir Sungai Tamiang kini juga mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur. “Kami masyarakat Tamiang sudah trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang tahun 2006. Bukannya kami anti dengan pembangunan. Hanya saja kami minta itu dibangun di tempat lain yang, sehingga tidak menimbulkan kecemasan bagi kami yang sering tertimpa musibah ini,” ungkap Matsum, warga Aceh Tamiang.
Bentuk penolakan warga ini juga ditunjukkan dengan petisi “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” di laman change.org, pada tautan change.org/TolakPLTATampur yang kini sudah mendapatkan lebih dari 5000 dukungan dan terus bertambah hingga kemarin.(rel/yat)