Gempa Palu Sulawesi Tengah
Kisah Syahrul Fahmi Selamatkan Istri Hamil Saat Gempa & Tsunami Palu, "Allah Perlihatkan Kuasanya"
Kisah Syahrul Fahmi menyelamatkan keluarganya dari bencana Gempa Palu dibagikan di media sosial.
SERAMBINEWS.COM - Kisah Syahrul Fahmi menyelamatkan keluarganya dari bencana Gempa Palu dibagikan di media sosial.
Hingga Senin (1/10/2018), postingan mantan jurnalis di Makassar ini menuai banyak reaksi dari sahabat-sahabatnya.
Perjuangan Syahrul Fahmi saat gempa melanda Kota Palu dan perjuangannya menyelamatkan istrinya yang sedang hamil besar, mama, dan anaknya dibagikan di Facebook.
Berikut tulisan lengkapnya:
Coretan Kecil Mengingat Peristiwa Gempa Palu
Laa ilaaha illallah, astagafirullahulazim, menjadi kalimat tauhid yang tak pernah putus saya ucapkan sejak hari Jumat, 28 September. Padahal kalimat itu sangat jarang saya ucapkan.
Ini mungkin menjadi titik balik buat saya dalam mengingat sang pencipta. Sebab, saya yang selama ini masih terbuai oleh dunia dikagetkan dengan bencana yang hampir merenggut nyawa saya beserta anak istri dan mama.
Bagaimana tidak, pasca kejadian bencana alam Gempa Bumi dengan kekuatan mencapai 7,7 SR sehingga menghasilkan tsunami di Kota Palu menjadi kisah paling menakutkan dan mencekam dalam hidupku. Mungkin Rasa itu tidak bisa saya buang jauh. Masih teringat jelas peristiwa yang telah merenggut nyawa Ribuan orang tersebut.
Kejadiannya pun tepat suara Adzan tengah berkumandang di Masjid-majid. Saat kejadian saya pun, tengah melakukan aktifitas membakar ikan untuk menjamu pelanggan saya. Sebab saya baru merintis usaha kuliner di kota palu. Istri yang tengah hamil tua, anak, dan mama pun saat itu masih di kamar. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari bawah tanah.
Ratusan pengendara motor yang lalu lalang di jalan raya tiba-tiba ambruk sendiri dan listrik langsung padam. Seketika itu pun tanah bergetar. Yang pertama terasa pijakan kakiku seperti turun kemudian tanah naik dan disusul goyangan yang durasinya pun sangat panjang, lebih dari lima menit.
Seketika itu saya teringat keluarga saya yang ada di kamar. Mungkin istilah penerbangan selamatkan diri sendiri lebih utama baru selamatkan nyawa orang lain tak berlaku lagi buat saya. Sebab dalam fikiranku, lebih baik saya mati bersama keluargaku daripada meninggalkan mereka dalam ruko yang masih bergetar akibat guncangan kuat tersebut.
Teriakan orang yang melarang saya untuk tidak masuk dalam rumah. "Pak jangan masuk, bahaya pak. Oi pak di luar saja." itu teriakab orang kepaku yang saya sendiri tidak tahu darimana asalnya.
Sesampai depan pintu kamar, saya berusaha meraih mama, anak dan istriku. Saya tak ingat bagaimana saya bisa meraih mereka dan mengefakuasi mereka keluar rumah. Mungkin fikiran jernih sudah tak ada dalam kepalaku, yang hanya ada dalam fikiranku untuk menolong mereka semua.
Dengan sekuat tenaga, saya menuntun mereka keluar dari rumah. Kami berjalan perlahan dari kamar yang jaraknya 20 meter menuju pintu masuk, meski badan tidak bisa mengimbangi kuatnya getaran tanah. Sesekali kami terpental ke tembok. Tapi kami terus berusaha untuk keluar rumah.
Alhamdulillah mereka semua selamat hingga keluar rumah. Di pinggir jalan kami menyaksikan sendiri bangunan-bangunan bergerak kenarah tidak jelas, kiri kanan ke depan dan belakang. Orang-orang tergeletak di jalanan dengan teriakan histeris.