Tak Punya TV, Ibunda Miftahul Jannah tak Tahu Awal Kisah Heroik Sang Putri
SOSOK Miftahul Jannah, atlet judo asal Aceh Barat Daya (Abdya) yang memutuskan batal mengikuti pertandingan di Asian Para Games 2018
SOSOK Miftahul Jannah, atlet judo asal Aceh Barat Daya (Abdya) yang memutuskan batal mengikuti pertandingan di Asian Para Games 2018 karena lebih memilih memegang teguh prinsipnya untuk tidak melepas hijab, semakin fenomenal.
Pemerintah Aceh secara khusus mengapresiasi sikap Miftahul Jannah dengan menyatakan bahwa keputusan gadis yang akrab disapa Miftah itu untuk memilih tidak bertanding adalah bentuk keteguhan mempertahankan keyakinan, apapun konsekwensinya.
“Miftahul adalah pahlawan serta duta Aceh dalam mensosialisasikan penegakan syariat Islam di level international,” kata Staf Ahli Gubernur Aceh, Iskandar AP kepada wartawan ketika mengantar keberangkatan ibundanya, Darwiyah ke Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, Kamis (11/10). Darwiyah bersama dua buah hatinya, Muhammad Rayyan dan Rayhan Farhana ke Jakarta untuk bertemu Miftah, putri sulungnya.
Iskandar didampingi Kepala Dinas Sosial Drs Alhudri MM dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Drs Darmansyah mengatakan, Pemerintah Aceh memfasilitasi orangtua Miftah berangkat ke Jakarta karena dalam kondisi saat ini Miftah butuh pendampingan dan advokasi dari orang-orang terdekat serta para stakeholder. “Pak Plt Gubernur menitip salam. Beliau sangat mengapresiasi dan bangga atas keteguhan sikap Miftah,” kata Iskandar.
Kadis Sosial Aceh, Alhudri tak mampu menyembunyikan rasa bangga terhadap anak-anak penyandang disabilitas baik yang berada di Aceh maupun di luar Aceh, termasuk sosok Miftahul Jannah.
Menurut Alhudri, Pemerintah Aceh melalui Dinas Sosial akan terus menggali potensi penyandang disabilitas melalui Panti Asuhan UPTD Rumoh Beujroh Meukarya yang merupakan tempat pembinaan penyandang disabilitas di Ladong, Aceh Besar.
“UPTD Rumoh Beujroh Meukarya sudah banyak melahirkan alumni berprestasi bahkan sudah banyak yang hidup mandiri. Seorang alumninya bernama Juariah adalah qariah terbaik tingkat nasional,” ungkap Alhudri.
Kadispora Aceh, Darmansyah menambahkan, sikap ksatria Miftahul Jannah mempertahankan keyakinannya pantas mendulang apresiasi dari berbagai kalangan. “Prinsipnya, bertanding mempertahankan gelar belum tentu menang, tapi bertanding mempertahankan akidah sudah pesti berbuah manis,” kata Darmansyah.
Bukan kebetulan
Keteguhan hati Miftah dalam menjalankan syariat Islam meski berkecimpung di olahraga beladiri bukanlah suatu kebetulan.
Miftah kecil, kata Darwiyah, dididik dengan pendidikan agama yang kuat. Ia mengajarkan sendiri ilmu agama kepada Miftah hingga ia memutuskan merantau ke Jawa dari tanah kelahirannya di Abdya.
Sebelum bersekolah di Sekolah Menengah Luar Biasa (setingkat SMA) di Bandung, Jawa Barat, Miftah sudah lebih dulu sekolah di SLB Jantho, Aceh Besar. Setelah menyelesaikan pendidikan di Jantho, Miftah pulang ke Susoh minta izin melanjutkan kuliah di Bandung. Orangtuanya yang hidup pas-pasan sempat khawatir studi Miftah tak bakal selesai.
Darwiyah hanyalah seorang ibu rumah tangga sedangkan ayahnya, Salimin berprofesi sebagai guru. Karena begitu kuatnya keinginan sang putri, akhirnya Darwiyah bersama suaminya mengizinkan Miftah melanjutkan pendidikan di Universitas Pasundan, memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Agar tak terlalu membebani keluarganya, Miftah berlatih olahraga prestasi yaitu taekwondo. Belakangan ia menekuni judo sebagai olahraga yang kemudian mengharumkan namanya hingga ke tingkat internasional dan membuat ia kini menjadi salah satu mahasiswi yang meraih beasiswa atlet dari pemerintah. “Latihannya sangat keras,” kata Darwiyah.
Tak punya televisi
Darwiyah masih ingat ketika Miftah menghubungi dirinya pada malam sebelum bertanding di kejuaraan Asian Para Games 2018. Saat itu, Miftah memang sudah melaporkan; esok ia akan bertanding dengan mengenakan jilbab.
“Dia bilang kemungkinan akan dilarang main karena aturannya nggak boleh pakai jilbab,” kata Darwiyah. “Saya merestui keputusan Miftah. Saya bilang pertahankan jilbabnya,” kata Darwiyah, terharu.
Apa yang disampaikan Miftah kepada sang ibu terbukti. Esoknya, ia didiskualifikasi sebelum bertanding di kelas 52 kg dengan Gantulga Oyun dari Mongolia.