VIDEO - Mengintip Dapur Penggilingan Mi Aceh, Kuliner yang Siap Bikin ‘Goyang Lidah’
Meskipun harganya ikut merangsek naik karena dollar melambung, namun tak mengurangi jumlah penikmatnya. Gurihnya bisnis mi Aceh.
Penulis: Hari Mahardhika | Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Mi telah sekian lama akrab dengan lidah masyarakat. Sebagai negara konsumsi mi terbesar setelah Cina, Indonesia mempunyai rupa-rupa varian mi.
Satu di antaranya yaitu mi Aceh. Makanan berbahan dasar tepung di sini mempunyai bentuk khas yaitu berwarna kuning, berukuran besar, dengan tekstur kenyal.
Meskipun harganya ikut merangsek naik karena dollar melambung, namun tak mengurangi jumlah penikmatnya. Gurihnya bisnis mi Aceh.
Serambi menyambangi salah satu produsen mi di Kawasan Peunayong, Banda Aceh, Rabu (17/10). Suara mesin penggilingan menyambar telinga.
Menderu bersama remah-remah tepung yang berceceran di tempat yang mengambil lokasi di sebuah gang yang didominasi oleh etnis Tionghoa. Ya, Peunayong dikenal sebagai Kawasan Pecinan sekaligus jantung perdagangan di kota itu.
Enam orang pekerja terlihat berkutat dengan pekerjaannya. Ricky (33) tahun, pekerja kepercayaan sang tauke, terlihat cekatan meracik.
Baca: Banyak Orang Tak Tahu, Ini 5 Fakta Mengejutkan Tentang Mie Instan
Tangannya menaburkan garam, membubuhkan gincu, mengucurkan air, dan menuangkan tepung dari bersak-sak karung yang menempel di sisi dinding. Bangunan sempit itu berbagi ruang antar mesin penggilingan, kompor, dan meja.
Sebuah mesin penggilingan sederhana berfungsi untuk mengaduk bahan, memadatkan menjadi tepung, hingga memotong-motong menjadi batangan mi. Dari mesin penggilingan, gundukan mi kemudian dicemplungkan ke dalam wajan besar berisi air mendidih.
Direbus beberapa saat sebelum akhirnya diangkat dan diurai di atas meja. Pekerja lainnnya menciprati dengan minyak goreng sambil diangin-anginkan dengan bantuan kipas.
Baca: Mau Aman Makan Mi Instan? Begini Cara Hilangkan Kandungan MSG-nya
Proses produksi dengan menggunakan mesin penggilingan ini hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja. Beda dengan produksi mi dengan cara manual yang memakan waktu hingga 1 jam.
Ricky mengatakan, tepung yang digunakan untuk mi Aceh adalah tepung gandum yang didatangkan dengan cara diimpor.
Pihak produsen mi harus membayar Rp 15 ribu lebih mahal dari biasanya, sementara pedagang mi siap saji menaikkan harga Rp 2 ribu per porsi.
“Naiknya harga dollar tidak pengaruh terhadap permintaan mi Aceh. Justru kalau musim hujan lebih banyak lagi yang laku,” ujar pria asal Jawa Tengah ini.
Baca: Rutin Konsumsi Mi Instan, Pelajar Ini Menderita Kanker Perut dan Kehilangan Nyawanya
Seorang pekerja lainnya dengan sigap menenteng berplastik-plastik besar mi siap pakai, untuk diantarkan kepada para pelanggan mereka. Pelanggannya adalah penjual mi yang berjumlah hingga 50 orang dan tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Jika anda berminat menjajal lidah, cobalah mampir ke Mie Razali, Peunayong. Warung mi Aceh legendaris yang berdiri sejak 1967 itu kerap disambangi tokoh-tokoh penting negeri ini hingga menjadi langganan wisatawan.