Opini

Buruknya Investasi Pertambangan di Aceh

PERTAMBANGAN sumber daya alam (SDA), selalu memiliki efek buruk, bukan saja bagi lingkungan hidup, tapi juga bagi peradaban manusia

Editor: hasyim
SERAMBI/MASRIZAL BIN ZAIRI
Senator Aceh, Sudirman alias Haji Uma (tengah) berbicara dalam pertemuan dengan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Akmal Husen di kantornya, Banda Aceh, Senin (7/8/2017). 

Oleh Muhammad Nur

PERTAMBANGAN sumber daya alam (SDA), selalu memiliki efek buruk, bukan saja bagi lingkungan hidup, tapi juga bagi peradaban manusia. Gilang-gemilang Aceh Utara dengan gas yang dikelola oleh PT Arun, adalah bukti paling sahih, bahwa pertambangan tidak memberikan efek positif bagi warga tempatan. Mereka hanya menjadi penonton dari balik pagar, sedangkan yang menikmati semua keuntungan hanyalah pendatang yang katanya lulusan sekolah tinggi, serta para petinggi negeri.

Bukanlah kabar bohong (hoax) jika di semua daerah yang kaya SDA, kerap memiliki catatan hitam penegakan hukum. Aksi-aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kisah sukses yang dikabarkan media oleh kinerja baik perusahaan tambang. Kisah tersebut bahkan yang masih bisa kita lihat hari ini, misalnya, Freeport di Papua. Warga tempatan mayoritas hanya penonton, yang acap harus pula kehilangan keluarga, karena konflik bersenjata berkepanjangan di sekitar lokasi tambang.

Kalau ingin melihat kawasan yang sudah rusak dan tidak bisa lagi dipulihkan, maka datanglah ke Bangka Belitung, kawasan yang dikenal sangat kaya itu di era lampau, kini hanya menyisakan kepiluan. Orang-orang tempatan kini mewarisi lingkungan yang rusak dan kemiskinan yang membelenggu. Sedangkan para pemilik modal pertambangan, bahkan hartanya mungkin tak habis dimakan oleh tujuh turunan. Lalu, apakah pertambangan selamanya akan buruk bagi warga tempatan?

Andaikan semua aturan negara dipatuhi, dan tidak ada aparatur yang bermain mata, sungguh pertambangan akan memberikan efek positif. Tentu kita tidak menutup mata bahwa pertambangan merupakan satu sektor penopang ekonomi negara. Tapi, pertambangan pula yang menyebabkan banyaknya lahir kisah berurai air mata di kalangan akar rumput yang lahir dan tumbuh besar di sekitar kawasan. Ibarat kata pepatah, “Orang lain bermata air, penduduk tempatan berair mata”. Mereka memiliki alam yang kaya, tapi bukan milik mereka.

Pemahaman sempurna
Publik, khususnya di Aceh, harus diberikan pemahaman yang sempurna tentang pertambangan yang benar, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk Aceh. Sebagai acuan dasar tentu pedoman umumnya haruslah merujuk UU No.32 Tahun 2009 tentang Pengendalian Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pada Pasal 26 UU tersebut disebutkan bahwa kewajiban mengurus dokumen Amdal. Selanjutnya UU Pertambangan, UU Kehutanan No.41 Tahun 1999, dll.

Publik juga harus memahami PP No.27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, PP No.23 Tahun 2010 tentang Wajib Lelang WIUP, Permen ESDM No.33 Tahun 2015 tentang Tatacara Pemasangan Tapal Batas, Permen KLHK No.5 Tahun 2012 tentang Jenis Usaha Wajib Amdal, dan P.50/Menlhk/setjen/kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Selain itu, Qanun Aceh No.19 Tahun 2013 tentang RTRWA 2013-2033, yang mengatur tentang kewajiban mendapatkan rekomendasi kesesuaian ruang dari BKPRD atau BKPRA. Kemudian Qanun Kehutanan Aceh No.7 Tahun 2016 wajib mendapatkan rekomendasi DPRA, dalam rangka pemanfaatan hutan lindung. Semua aturan tersebut tidak boleh ada yang diabaikan. Apalagi di Aceh, sebagai daerah yang memiliki kewenangan khusus, penghormatan terhadap qanun merupakan kewajiban.

Akan tetapi dalam kenyataannya, seperangkat aturan hukum itu kerap kali diabaikan oleh investor atau penggiat bisnis pertambangan. Mereka lebih memilih membiayai backing, ketimbang patuh pada aturan. Mereka lebih suka “membayar” sejumlah pemilik kebijakan ketimbang memenuhi semua kriteria yang sudah ditetapkan.

Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang merupakan top leader pada isu kebencanaan, harusnya juga memiliki kajian khusus tentang hubungan antara kehadiran pertambangan dengan bencana alam yang saban tahun menyambangi berbagai daerah di Aceh. Mulai dari longsor, banjir dan sebagainya. Apakah memang murni karena bencana itu sendiri, atau karena lemah daya dukung lingkungan hidup oleh perusakan (degradasi kualitas) yang diakibatkan oleh kehadiran investasi yang mengubah kawasan hutan menjadi perkebunan sawit dan areal pertambangan?

Perbaikan pengelolaan lingkungan sangat tergantung dari penyajian data dan informasi yang lengkap dan konprehensif, tanpa kesengajaan dengan upaya membalikkan fakta lapangan. Sehingga perbaikan lingkungan hidup benar-benar berangkat dari kejadian lapangan. Petinggi negeri ini mengusulkan program kerjanya yang berkontribusi pada kebutuhan ruang, bukan suka-suka karena alasan mencari yang enak dikerjakan dan banyak saving.

Jika hal ini tidak dilakukan, maka ancaman bencana ekologis akan selalu menghampiri Aceh setiap bulan hingga tahunan. Dalam catatan Walhi Aceh di akhir tahun, Aceh mengalami kerugian mencapai Rp 1,4 triliun yang disebabkan oleh bencana alam. Angka ini diperoleh dengan cara menghitung aset warga terkena dampak, infastruktur yang rusak hingga kerugian nyawa manusia yang menjadi korban keganasan alam, karena perilaku buruk manusia mengelola alam semesta ini.

Untuk lebih spesifik, mari kita belajar pertambangan yang dilakukan oleh PT Lhoong Setia Mining, di Lhoong, Aceh Besar, dengan luas 6.000 ha, atau PT Mifa di Meulaboh dengan luas 3.134 ha, dan PT Emas Mineral Murni (EMM) di atas area seluas 10.000 ha di Nagan Raya, serta banyak perusahaan tambang lainnya yang beroperasi di negeri ini. Perilaku perusahaan itu hampir sama, antara lain; membuat warga susah dengan udara yang kotor, air yang tercemar, ruang petani jadi sempit bahkan hilang, pengelolaan limbah yang amburadul, hingga masalah tak terbukanya informasi perusahaan hingga dana reklamasi tak jelas dikelola siapa dan kemana.

Fakta di atas menunjukan pengelola negeri ini belum punya niat memperbaiki masalah lingkungan hidup dan sosial. Akibat dari ketidakpedulian tersebut, emneybabklan para penanam investasi jumawa. Mereka selalu menisbatkan para pengkritik sebagai provokator yang menghambat investasi. Setiap aksi protes dan perlawanan rakyat atas ketimpangan yang lahir sejak investasi masuk, selalu dikait-kaitkan dengan upaya provokasi.

Perlunya investasi
Kita menyadari bahwa tanpa investasi, sebuah daerah akan sangat sulit maju, bahkan berpeluang untuk tidak akan maju. Karena private sector merupakan satu stakeholder yang memiliki sumber daya untuk membuka lapangan kerja, serta memiliki modal yang cukup untuk memodali pengambilan kekayaan alam yang kemudian dipergunakan sebagai komoditas di pasar.

Untuk itu, hemat penulis, mengelola SDA Aceh yang sangat kaya ini, perlu diperhatikan hal-hal antara lain: Pertama, pengelola negara melalui dinas teknis jangan pernah main uang pelicin dalam mengurus kelengkapan hukum yang dibutuhkan dalam suatu usaha. Banyak kasus sumber daya alam menjadi temuan KPK, seharusnya menjadi pembelajaran bagi siapa saja, bahwa melanggar hukum akan berefek hukum. Bayangkan berapa banyak kasus yang sama belum ditemukan, artinya peluang korupsi dalam proses perizinan terbuka lebar.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved