Aceh Masih Butuh Lembaga Wali Nanggroe
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah MT angkat bicara terkait polemik keberadaan Lembaga Wali Nanggroe
BANDA ACEH - Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah MT angkat bicara terkait polemik keberadaan Lembaga Wali Nanggroe yang baru-baru ini mencuat di media. Nova meminta para pihak untuk menahan diri dan tidak menafsirkan sendiri-sendiri keberadaan dan kiprah Lembaga Wali Nanggroe.
“Saya imbau untuk tidak menafsirkan sendiri-sendiri. Kalau menafisrkan sendiri-sendiri seseorang merasa tafsirnyalah yang paling benar dan nanti bisa berakibat lain, semisal konflik regulasi, Jadi, saya pikir, tahan diri dulu,” kata Nova saat diwawancarai Serambi seusai meninjau pelaksanaan ujian CAT DPNS di Gedung ITLC Banda Aceh, Jumat (16/11).
Terkait akan berakhirnya masa jabatan Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud Al-Haythar dan isu-isu yang sedang mencuat, Nova mengaku sudah berkomunikasi dengan Wali Nanggroe. Dan, kemarin sore Plt Gubernur dan sejumlah pejabat terkait juga menggelar pertemuan di Istana Wali Nanggroe.
“Kita sudah komunikasi dan kita sepakat untuk menyamakan persepsi. Nanti sore (kemarin-red ) di Istana Wali Nanggroe kita duduk membahas itu. Dan pagi ini di pendopo wagub kita sedang menelaah aturan-aturannya, mudah-mudahan nanti ada kesimpulan atau kesepakatan atau kesepahaman tentang aturan,” kata Nova.
Masih butuh
Ditanya Serambi apakah Lembaga Wali Nanggroe masih dibutuhkan di Aceh, mengingat Senator Aceh, Ghazali Abbas Adan berpendapat lembaga tersebut tak dibutuhkan lagi. Nova menegaskan bahwa Aceh masih butuh Lembaga Wali Nanggroe.
“Saya pikir ya (masih diperlukan). Kita harus bangga dengan lembaga ini, satu-satunya provinsi yang punya lembaga ini ya kita. Jadi, kita harus bangga dengan lembaga ini,” kata Nova.
Hanya saja, katanya, tinggal saat ini bagaimana Lembaga Wali Nanggroe benar-benar bisa berfungsi optimal dan benar-benar bisa dibanggakan. “Kalau kita baca Qanun Wali Nanggroe tentu belum semua fungsi yang ada di qanun itu terpalikasi secara efektif. Tapi itu kan wajar karena ini baru pertama, menurut saya, tidak salah dengan lembaganya tinggal apakah kita mampu mengoptimalkan fungsi lembaga itu,” jelasnya.
Nova mengakui, ada beberapa pasal dalam Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang kontradiktif dan bisa ditafsirkan beragam, lebih dari satu. Oleh sebab itu, saat ini pihaknya sedang menelaah pasal-pasal tersebut. “Ini yang mau kita bicarakan dengan Wali Nanggroe, ada pasal-pasal di qanun yang kontradiktif satu sama lainnya, sehingga menimbulakn multitafsir,” demikian Plt Gubernur Aceh.
Bukan reaktif
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam MA mengatakan, respons setiap orang terhadap keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) atau sosok yang menjabat sebagai WN sebaiknya dikembalikan ke inti yang dipersoalkan.
Orang-orang yang merasa bahwa WN itu tidak fungsional, perlu memberi argumen yang konkret dan solutif. Orang-orang yang merasa bahwa LWN tidak boleh dihapus, juga perlu memberikan alasan-alasan yang komprehensif dan logis.
Dengan kata lain, setiap respons sebaiknya bersifat substanstif, bukan bersifat reaktif. “Dengan respons yang substantif maka kita semua mungkin merasa perlu untuk melihat kembali tugas dan fungsi serta kewenangan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan yang kemudian yang diatur dalam Qanun tentang WaliNanggroe,” ujarnya kepada Serambi di Banda Aceh kemarin.
Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala ini menduga, jangan-jangan keadaan seperti saat ini adalah karena kekurangan elite Aceh dulu dalam mengatur lembaga itu dalam UUPA dan kemudian di dalam qanun. “Jika itu masalahnya maka wacana diarahkan saja kepada revisi peraturan per-UU-an yang mengatur WN,” saran Saifuddin.
Di dalam aturan itu, lanjut Saifuddin, sebagaimana diketahui bahwa juga diatur seleksi WN dan syarat-syarat menjadi seorang WN. Demikian juga mengenai fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada WN. “Nah, coba kaji kembali, apakah syarat-syarat untuk menjadi seorang WN sudah mencukupi, apakah aturan tentang tim seleksi cukup mampu untuk menyeleksi calon-calon yang memiliki kemampuan, atau berbagai hal yang terkait dengan pencalonan?” katanya.
Selama ini, lanjut Saifuddin, juga jarang dibicarakan tentang pertanggungjawaban dan atau pengawasan atas LWN. Setelah habis masa jabatan, misalnya, bagaimana pertanggungjawaban selama lima tahun bertugas? Bagaimana dengan akuntabilitas dan transparansi? “Saya lihat, hal-hal yang demikian juga kurang mendapat perhatian dalam beberapa hari ini,” nilai Saifuddin.
Jadi, ke depan, saran Saifuddin, fokus saja ke sana, tak perlu digiring atau ditarik-tarik ke arah akan rusaknya lagi perdamaian atau akan muncul lagi konflik baru. Sudah jelas bahwa LWN ada aturannya, yang mau menghapus dan yang mau mempertahankan, harus kembali ke aturan. “Memangnya ada yang mau menghapus LWN dengan mengeluarkan darah, lantas yang ingin mempertahankannya juga ingin dengan cara berdarah-darah? Kalau itu yang ada dalam pikiran, maka ya kita kembali ke masa kegelapan,” tukas Saifuddin Bantasyam.